Budaya politik yang dipahat sejengkal demi sejengkal dengan susah payah digerogoti berbagai patologi politik. Pembangunan kelembagaan menjadi terbengkalai dan saraf negara mengidap paralisis.
Oleh
J Kristiadi
·4 menit baca
Dalil keramat bentuk pemerintahan Indonesia adalah Republik. Esensinya, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi manajemen kekuasaan negara. Tujuan utamanya membangun peradaban politik yang menghargai nilai-nilai yang melekat pada kodrat manusia.
Namun, sayangnya, semakin mendekati hari merayakan kedaulatan rakyat, Pemilu 2024, proses demokrasi semakin bertambah terseok-seok terseret gelombang kleptocracy (daulat maling), politik uang serta mengerasnya oligarki politik.
Kajian multidimensi mutakhir kejumudan demokrasi di Indonesia dapat dicermati dalam buku Dari Stagnasi ke Reregresi; Usman Hamid (dkk); PT Gramedia, Jakarta; 2021. Gejala tersebut adalah fenomena global. Proses demokrasi selalu diikuti arus memutar balik ke arah otoritarian. Pola kecenderungan peristiwa seperti itu akan selalu berulang jika praktik demokrasi tanpa disertai perangkat kelembagaan yang kuat dan internalisasi cita-cita sebagai dasar kebijakan publik. Studi mengenai gelagat seperti itu, antara lain, dilakukan Samuel Huntington (The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, 1991). Ia membeberkan gelombang demokrasi di beberapa negara mulai 1974-1990.
Segudang studi empiris pada tataran global dan kajian-kajian kritis tentang demokrasi di Indonesia tidak mampu menggedor niat elite politik untuk serius menyusun strategi jangka panjang membangun tertib politik yang demokratis. Pemilu semakin lama kehilangan marwah karena didominasi para petualang dan makelar politik.
Suara rakyat sebagai wujud nyata pemilik kedaulatan hanya senilai harga kebutuhan pokok dan angka statistik. Agregasi perolehan suara rakyat sekadar sarana tawar-menawar kekuasaan para elite. Dalam perspektif rakyat, pemilu hanya fatamorgana, kelihatan, tetapi tidak nyata hasilnya bagi rakyat kecil. Padahal, rakyat adalah pemilik sah kekuasaan negara.
Pesta rakyat yang seharusnya memuliakan kepentingan rakyat justru menggusur nilai-nilai peradaban yang melekat pada karakter ”Republik”. Budaya politik yang dipahat sejengkal demi sejengkal dengan susah payah digerogoti berbagai patologi politik sehingga pembangunan kelembagaan terbengkalai dan saraf negara mengidap paralisis.
Menjelang Pemilu 2024, jalan mundur demokratisasi semakin tancap gas dan meluncur pada titik sangat kritikal; karena mencapai sudut tikungan yang mengarah bangkitnya negara otoritarian yang zalim. Ancaman yang sangat eksistensial bagi demokrasi.
Pemicu awalnya adalah gagasan konyol yang kalap tentang tunda pemilu dan presiden tiga periode. Dalam sekejap pemikiran abal-abal tersebut mengukuhkan eksistensi dan peranannya menjadi gerakan massa yang membangun budaya kultus individu. Bentuknya, kebulatan tekad dengan memberikan predikat muluk kepada tokoh tertentu. Proyek dan manuver politik yang sangat mudah ditumpangi isu-isu sektarian.
Selain itu, polemik tanpa kewarasan memproduksi spekulasi liar yang tidak mustahil menyerang balik para penggagas dan aktor intelektualitasnya. Misalnya, mulai berkembang rumor sosok sentral penggagas mempunyai skenario sebagai berikut. Sketsa awal, yang bersangkutan menjadi calon wakil presiden; seandainya pasangan imajiner menjadi kenyataan. Skenario berikutnya satu atau dua tahun kemudian presiden dengan rekayasa politik didesak mundur dari jabatan. Otomatis yang bersangkutan menjadi presiden. Kisah yang tidak mustahil di ranah politik yang terbiasa mengakali kemustahilan.
Penegasan terbaru presiden sebagai ungkapan penolakan gagasan dangkal tersebut, ia ke sekian kalinya menekankan pemilu tetap diselenggarakan tahun 2024. Masih dipertajam lagi dengan perintah agar regulasi yang diperlukan segera diselesaikan. Ia sangat sadar ide sembarangan tersebut adalah jebakan yang dapat meremukkan demokrasi (Kompas, Senin, 10/4/2022).
Pernyataan sejenis sangat perlu berkali-kali dilakukan mengingat para penggagas, pendukung, partisan, dan perkakas politiknya sangat agresif, percaya diri, dan amat bergairah. Mungkin karena merasa mendapat dukungan dari sosok yang mempunyai kekuatan politik luar biasa. Perilakunya ibarat kuda perang; berjingkrak-jingkrak, surainya melambai-lambai di atas tengkuknya, kaki depannya bergerak maju menggali tanah dengan gembira, menandakan siap maju untuk bertempur.
Indonesia bukan republik pemilu, melainkan republik yang maksim sakralnya ditorehkan dalam Pembukaan UUD 1945, negara dibentuk untuk mewujudkan rakyat Indonesia sejahtera dan bahagia. Pemilu 2024 momentum sangat tepat melakukan pendidikan politik rakyat agar mereka paham memilih para wakil rakyat, kepala daerah, presiden, dan pejabat lain yang kompeten dan pantas menerima kehormatan dan mandat kekuasaan melaksanakan tugas mulianya.