Menunda Pemilu 2024 akan menjadi pintu masuk otoritarianisme yang mengakibatkan bangsa dan negara porak-poranda.
Oleh
J Kristiadi
·3 menit baca
Gagasan kocak penundaan Pemilu 2024 menuai kritik pedas dan tingkat resistensi tinggi dari masyarakat sipil, akademisi, tokoh masyarakat, dan beberapa partai politik. Bahkan, Presiden Joko Widodo sejak awal (2019) berkali-kali menolak keras agenda tersebut. Ia sengaja mengartikulasikan penolakannya secara lugas karena ingin meyakinkan publik bahwa ia taat dan patuh terhadap konstitusi serta menjaga martabat dan marwah nilai-nilai demokrasi.
Menunda Pemilu 2024 akan menjadi pintu masuk otoritarianisme yang mengakibatkan bangsa dan negara porak-poranda. Sayangnya, masih cukup banyak petinggi negara dan politisi mempercantik logika pembenaran proposisi sesat yang dapat mengakibatkan demokrasi semakin ringkih sehingga publik meragukan ketegasan penolakan Presiden.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hikmahnya, usul asal-asalan tersebut justru menyingkapkan adanya fenomena bawah sadar para pejabat, elite politik, dan segelintir masyarakat yang ternyata masih mendambakan orang ”kuat” mengemudikan kuasa daulat rakyat. Delusi semacam itu sesekali muncul dalam kompetisi politik dengan membangkitkan kedigdayaan palsu Orde Baru yang notabene tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga mendominasi kebenaran.
Padahal, sejarah membuktikan banyak negara yang mengidamkan dan mengagumi pemimpin superhero gagal mengelola pemerintahan yang demokratis. Penyebabnya, rakyat mudah tersihir sosok berperilaku dan berpenampilan gagah, cerdik berakrobat kata-kata, mengumbar retorika serta bertingkah laiknya seorang pahlawan. Makhluk jenis ini tidak akan pernah kompeten mengelola kerumitan politik, terlebih apabila disertai kobaran ambisi kekuasaan. Pemimpin yang hanya mempunyai logika komando, jalan pintas disertai kekerasan apabila kebijakannya dikritik rakyat.
Lazimnya, sindrom tersebut muncul bilamana masyarakat gelisah menghadapi masalah pelik dan mendesak sehingga perlu segera diselesaikan. Impian semakin indah apabila publik merasa tidak berdaya dan ditelan ketakutan tak berujung sehingga memerlukan pelindung.
Pada titik ini publik berfantasi mempunyai pemimpin laiknya Rambo, jagoan imajiner mahasuper yang dapat menyelesaikan semua persoalan.
Mengingat medan politik adalah ranah benturan kepentingan yang spektrumnya mulai dari aspirasi mulia sampai niat durhaka, arsitektur kekuasaan negara demokratis tidak membutuhkan superhero, tetapi figur yang tekun, sabar, telaten, dan mampu mengontrol eksekusi kebijakan agar benar-benar dilaksanakan. Perangkat kompetensi yang diperlukan mengelola dan mengatasi permasalahan yang ruwet, tingkat kompleksitas tinggi dan dilematis.
Awalnya adalah harapan membuncah karena keberhasilan masyarakat sipil menumbangkan rezim Orde Baru. Harganya sangat mahal. Tragedi bernuansa kebencian rasial yang mengancam kebangkrutan peradaban bangsa. Jumlah korban meninggal dan luka diperkirakan ratusan hingga ribuan orang. Tragisnya, pengorbanan mereka tetap menjadi misteri abadi.
Seiring perjalanan waktu, reformasi yang tidak disertai roh dan konsep mendalam tentang arsitektur kekuasaan yang demokratis mengakibatkan proses transformasi politik tergagap-gagap. Elan reformasi meredup diterpa badai politik uang dan dinasti politik.
Konsekuensinya, terjadi kekosongan kelembagaan yang kompeten menampung dan mengelola berbagai kepentingan dan aspirasi masyarakat. Negara tidak dikendalikan oleh institusi, tetapi dikontrol para bandar dan makelar politik yang diduga mempunyai dana siluman tidak terbatas jumlahnya. Demokrasi tanpa tuntunan cita-cita dijamin akan membuat ruang publik gaduh, pengap dengan ilusi, delusi, dan prasangka buruk yang berlebihan terhadap orang lain.
Reformasi hanya menjadi logo maya memproduksi agen-agen oligarki sehingga demokratisasi mengalami kejumudan dan semakin lama semakin rapuh; yang tertinggal hanya romantika demokrasi. Kelompok masyarakat tercerai-berai mencari kanal dan caranya sendiri menyalurkan timbunan harapan, potensi demokrasi terjebak anarki.
Apesnya, romantika memicu rangsangan sensasi berdaya pikat memukau. Setiap orang membayangkan demokrasi sesuai dengan selera dan imajinasinya. Tidak mengherankan demokrasi dipeluk dan dicumbu banyak negara. Namun, memeluk dewi demokrasi ongkos dan syaratnya sangat mahal, terutama kemampuan para elite politik menyuburkan kesetaraan, tingkat empati yang tinggi, kerja ekstrakeras, tekun, cermat, dan penuh dedikasi mewujudkan kebahagiaan bersama.
Polemik penundaan Pemilu 2024 memberikan pelajaran, mimpi sesat pemimpin ”kuat” masih bersemayam di bawah sadar di berbagai kalangan. Upaya membangun arsitektur dan struktur kekuasaan yang beradab adalah agenda mendesak. Apabila para elite politik dan masyarakat sipil bekerja sama dan menghasilkan kerangka utuh sistem politik Indonesia ke depan, takdir pun akan tersenyum.