Dengan landasan pertumbuhan di triwulan I-2022, pola belanja belum menimbulkan tekanan inflasi yang berlebihan dari sisi permintaan. Inflasi dapat dikendalikan tanpa harus secara langsung menyentuh suku bunga acuan.
Oleh
ARI KUNCORO
·5 menit baca
Dampak kenaikan harga dapat diuraikan menjadi dua bagian, yaitu efek substitusi dan efek pendapatan. Dampak kenaikan harga yang paling ekstrem adalah hilangnya permintaan atau demand destruction akibat efek substitusi dan efek pendapatan yang membuat konsumsi suatu barang menjadi tidak terjangkau lagi.
Kenaikan harga suatu barang punya batas. Jika terlalu tinggi di atas keinginan membayar, pelanggan akan berhenti membeli dan beralih sepenuhnya pada alternatif lain. Hal ini merupakan mekanisme yang membuat kenaikan harga tidak berkembang menjadi hiperinflasi. Prinsip ini digunakan otoritas moneter di dunia untuk mendinginkan perekonomian yang overheating melalui kebijakan disinflasi melalui berbagai instrumen. Sebagai otoritas, mereka juga mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan antisipatif (to move ahead of the curve).
Perubahan perilaku
Akibat serangan Rusia ke Ukraina, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) mencapai 123 dollar AS per barel. Harga minyak WTI kemudian turun drastis ke 99 dollar AS per barel walaupun situasi geopolitik yang belum menentu membawanya kembali ke sekitar 107 dollar AS per barel.
Faktor-faktor lain yang menahan harga minyak WTI untuk berada di kisaran 100-110 dollar AS per barel adalah kekhawatiran dampak penguncian (lockdown) di China dan potensi resesi di Amerika Serikat (AS).
Tampaknya para pedagang di bursa berjangka minyak mulai mengerti bahwa permintaan akan rontok dengan sendirinya jika harga tidak terjangkau. Namun, tetap saja para spekulan di pasar komoditi berjangka membutuhkan fluktuasi harga untuk memperoleh keuntungan.
Hanya saja sekarang mereka hanya dapat menggorengnya pada kisaran harga di atas. Efek perubahan perilaku ini adalah pasar minyak berfluktuasi pada kisaran harga yang lebih sempit dibandingkan pada awal konflik Ukraina-Rusia.
Walaupun demikian, kisaran itu tampaknya belum dapat menenangkan harga bahan bakar minyak (BBM) di AS. Di tingkat SPBU rata-rata harga BBM melonjak ke 4,37 dollar AS per galon atau 1,19 dollar AS atau setara Rp 17.255 per liter. Hasil Maru Public Opinion Survey pada akhir April 2022 menunjukkan, 66 persen responden mengubah perilakunya dalam penggunaan kendaraan pribadi. Sementara 34 persen sisanya menyatakan baru akan mengubah perilaku jika harga BBM melebihi 5 dollar AS per galon.
Dari 66 persen responden itu, kendaraan umum menjadi pilihan 35 persen responden. Kendaraan hanya digunakan untuk belanja kebutuhan sehari-hari atau pergi ke dokter (62 persen), tangki bensin tidak pernah diisi penuh atau hanya seperlunya (41 persen), dan membatalkan liburan musim panas dengan menggunakan mobil (29 persen).
Kenaikan harga BBM itu, ditambah kenaikan harga kebutuhan sehari-hari sebesar 10,8 persen pada April, menyebabkan inflasi di AS tetap tinggi, yakni 8,3 persen pada April 2022, setelah mencapai puncaknya 8,5 persen di Maret 2022.
Secara paradoks, demand destruction ini diperlukan untuk menurunkan tekanan inflasi walaupun akibatnya adalah pertumbuhan yang negatif di triwulan I-2022, yakni minus 1,4 persen. Namun, Bank Sentral AS menganggap tingkat inflasi ini masih terlalu tinggi sehingga perlu menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada 4 Mei 2022. Langkah itu dibarengi dengan pengurangan kepemilikan surat berharganya sebesar 95 miliar dollar AS per bulan.
Kasus anekdotal perubahan perilaku lain terjadi di Inggris sebagai akibat konflik Ukraina-Rusia dan sanksi ekonomi terhadap Rusia yang membuat harga energi dan pangan melambung. Sudah beberapa lama masyarakat merasakan impitan kenaikan biaya makanan dan energi. Harga makanan meningkat 7 persen per tahun, bahkan diprediksi mencapai 10 persen per tahun di waktu mendatang.
Survei YouGov pada akhir April 2022 menemukan bahwa 14 persen dari 10.674 responden terpaksa mengurangi frekuensi makan sehari-hari dari 3 kali menjadi kurang dari itu. Jika pun tetap makan 3 kali sehari, mereka mengurangi porsinya. Untuk menghemat tagihan listrik dan gas, sebagian masyarakat juga beralih ke makanan siap saji beku karena memasak sendiri dari bahan mentah menjadi mahal.
Ketatnya anggaran menyebabkan mereka memotong belanja untuk barang tahan lama, seperti perlengkapan rumah tangga dan kendaraan. Akibatnya, pertumbuhan month to month pada Maret 2022 terkontraksi 0,1 persen. Yang membuat kontraksi tidak terlalu parah adalah sektor jasa agen reservasi dan operator perjalanan wisata. Perilaku ini menarik karena masyarakat berusaha menghemat setiap poundsterling terakhir dari anggaran kebutuhan sehari-hari dan belanja barang tahan lama agar dapat melakukan perjalanan wisata.
Mudik dan pertumbuhan ekonomi
Tingginya minat mudik Lebaran pada awal Mei 2022 menggambarkan permintaan yang tertahan dua tahun akibat pandemi Covid-19. Faktor yang mendukung adalah harga BBM yang belum memasuki zona destruksi permintaan.
Menurut Jasa Marga, antara 22 April dan 1 Mei 2022, tercatat rekor baru, 1,7 juta jumlah kendaraan melintas atau 9,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan angka sebelum pandemi.
Dari segi keuangan, masyarakat tampaknya sudah mempersiapkan mudik beberapa bulan sebelumnya. Menurut Bank Indonesia (BI), proporsi pendapatan yang ditabung meningkat dari 15,9 persen pada Maret menjadi 16,4 persen pada April. Sementara indeks pembelian tahan lama pada Maret sudah melambat yang merupakan indikasi daya beli diarahkan pada perjalanan mudik.
Pada saat cuti Lebaran berakhir pada 8 Mei 2022, 46 persen pemudik diperkirakan belum kembali sehingga berpotensi memperbesar daya ungkit mudik pada pertumbuhan ekonomi. Data BPS terbaru menunjukkan, pertumbuhan ekonomi triwulan I-2022 mencapai 5,01 persen secara tahunan, tidak jauh berbeda dari 5,02 persen pada triwulan IV-2021. Hal ini merupakan indikasi jalur ekuilibrium pertumbuhan jangka panjang sudah sangat dekat atau bahkan sudah tercapai kembali.
Dengan landasan pertumbuhan seperti itu, pola belanja seperti itu tampaknya belum menimbulkan tekanan inflasi yang berlebihan dari sisi permintaan. Inflasi pada April tercatat 3,47 persen, naik dari 2,67 persen pada bulan sebelumnya. Tekanan inflasi lebih berasal dari sektor produksi dan inflasi yang diimpor, di mana makanan, minuman, dan tembakau mempunyai sumbangan 46 persen, diikuti sektor transportasi 29 persen.
Angka inflasi masih dalam kisaran 3 plus minus 1 persen sehingga pengendalian inflasi masih dapat dilakukan dengan pengendalian likuiditas tanpa harus secara langsung menyentuh suku bunga acuan.
Hal yang harus diwaspadai adalah inflasi yang diimpor yang berasal baik dari harga komoditas maupun penguatan dollar AS yang berimbas pada pelemahan rupiah. Saat ini, indeks dollar AS sudah berada pada angka 104 sebagai akibat konflik Ukraina-Rusia, kenaikan suku bunga The Fed, dan penguncian di China.