Di saat tingkat inflasi tinggi semakin tak terkendali, serta harga umum barang dan jasa mengalami kenaikan, bank sentral umumnya akan membuat kebijakan menaikkan suku bunga untuk meredam risiko inflasi.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Pada saat dunia belum pulih benar dari pandemi Covid-19, kecamuk konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang berlangsung sejak pengujung Februari 2022 makin menambah ketidakpastian global karena memicu kenaikan harga komoditas pangan dan energi dunia. Hal ini berimbas pada meningkatnya laju inflasi di sejumlah negara.
Lonjakan inflasi, apalagi bila tak terkendali dan berlangsung lama, sangat merugikan perekonomian negara dan memperlebar ketimpangan. Kenaikan harga barang dan jasa tanpa diiringi peningkatan pendapatan akan menggerus daya beli masyarakat. Kelompok berpenghasilan rendah akan bertambah miskin. Selain itu, inflasi akan menyebabkan nilai mata uang menurun sehingga kehilangan kredibilitasnya.
Kenaikan suku bunga akan membuat biaya pinjaman menjadi mahal. Kondisi ini akan menekan permintaan masyarakat terhadap pinjaman sehingga jumlah pinjaman menurun.
Untuk mengendalikan inflasi, bank sentral umumnya akan menaikkan suku bunga acuan. Namun, saat perekonomian belum sepenuhnya pulih seperti saat ini, kenaikan suku bunga akan menjadi kontraproduktif bagi pemulihan ekonomi itu sendiri.
Kenaikan suku bunga akan membuat biaya pinjaman bank menjadi mahal. Kondisi ini akan menekan permintaan kredit dari dunia usaha dan masyarakat sehingga geliat ekonomi yang baru bangkit dari pandemi Covid-19 akan turun kembali.
Namun, faktanya, banyak negara yang tak punya banyak pilihan untuk mengendalikan inflasi selain menaikkan suku bunga.
Fenomena meredam inflasi melalui pengetatan kebijakan moneter telah terjadi di pelbagai belahan dunia. Bank sentral di sejumlah negara telah menaikkan suku bunga acuan mereka pada periode Maret-April 2022.
Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve, telah menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 0,5 persen pada Maret 2022 guna meredam laju inflasi tahunan yang telah mencapai 8,5 persen pada Maret lalu.
Bank sentral Kanada dan Selandia Baru sama-sama kompak mengerek suku bunga acuan mereka sebesar 50 basis poin untuk pertama kali dalam 22 tahun, masing-masing menjadi 1 persen (Kanada) dan 1,5 persen (Selandia Baru).
Bank sentral Sri Lanka bahkan menaikkan suku bunga acuannya 700 bps menjadi 13,5 persen untuk memerangi inflasi tahunan yang telah mencapai 18,8 persen pada Maret 2022.
Bagaimana di Indonesia? Kondisi ini tentu menjadi dilema bagi Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter di Indonesia. Sejauh ini, dengan pelbagai strateginya, BI masih percaya diri untuk tidak menaikkan suku bunga. Pada Rapat Dewan Gubernur yang berlangsung 18-19 April 2022, BI mempertahankan suku bunga acuannya di level 3,5 persen untuk yang ke-14 kalinya.
Dalam situasi seperti ini, BI perlu meracik strategi pengetatan kebijakan yang ideal disertai komunikasi yang solid sehingga langkah yang ditempuh tidak menimbulkan distorsi di kalangan pelaku pasar dan dunia usaha.
Kalaupun BI pada akhirnya harus menaikkan suku bunga, perlu dipastikan kenaikannya bersifat minimal dan tidak terlalu mengganggu pemulihan ekonomi. Namun, strategi ini perlu kolaborasi dengan otoritas fiskal. Kebijakan moneter tentu tidak bisa bekerja sendirian untuk meredam efek rembetan inflasi global ke pasar dalam negeri. Artinya, pengetatan moneter perlu diiringi dengan rasionalisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk memastikan tidak terjadi perlambatan ekonomi akibat penurunan daya beli.
Dalam aspek perlindungan sosial, pemerintah perlu mengalkulasi dan memproyeksi krisis energi dan pangan global bakal mendorong lonjakan harga seberapa lama lagi. Jika pandangan ini masih suram, tentu alokasi anggaran untuk perlindungan sosial wajib ditingkatkan sehingga konsumsi masyarakat tetap terjaga dan memiliki daya dorong terhadap ekonomi.
Pada kondisi saat ini, pemulihan ekonomi lebih membutuhkan intervensi atau penanganan jangka pendek, seperti penanganan kenaikan harga bahan pangan, lonjakan inflasi, hingga krisis energi.
Rasionalisasi APBN patut dilakukan guna melengkapi arah kebijakan bank sentral. Salah satu strategi yang bisa diterapkan oleh pemerintah ialah dengan mendesain APBN untuk tetap memprioritaskan sektor penopang pertumbuhan.
Langkah itu bisa dilakukan dengan intervensi terhadap harga barang di pasaran, memberikan proteksi daya beli melalui pelbagai program perlindungan sosial, hingga menurunkan alokasi belanja untuk proyek infrastruktur yang tidak mendesak.
Dalam aspek perlindungan sosial, pemerintah perlu mengalkulasi dan memproyeksi krisis energi dan pangan global bakal mendorong lonjakan harga seberapa lama lagi.
Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2022, pemerintah telah menetapkan target sasaran pembangunan tahun depan meliputi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen-5,9 persen, tingkat pengangguran terbuka antara 5,3 persen dan 6 persen, serta gini rasio sebesar 0,375.
Ketidakpastian global akan menjadi tantangan paling berat untuk mencapai target sasaran pembangunan 2023. Mulai saat ini keterpautan dan sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter akan diuji dalam rangka menghalau risiko global yang diproyeksi lembaga-lembaga ekonomi dunia memuncak pada 2023.