Pemerintah dan bank sentral di sejumlah negara tentu ingin ekonomi segera pulih. Namun, nilai uang juga harus dijaga agar tidak tergerus inflasi. Upaya mencari keseimbangan menjadi seni tersendiri bagi kebijakan moneter.
Oleh
MIRZA ADITYASWARA
·5 menit baca
Ekonomi dunia sedang dihadapkan pada masalah yang cukup rumit. Di satu sisi ada harapan terhadap berlanjutnya pemulihan ekonomi karena krisis akibat pandemi Covid-19 sudah mereda. Di sisi lain, ada bahaya kenaikan harga (inflasi) makanan dan energi yang semakin signifikan dan berdampak negatif pada negara-negara miskin serta masyarakat tertinggal di negara berkembang.
Perang Rusia-Ukraina membuat situasi semakin kompleks. Rusia dan Ukraina sebagai penghasil komoditas tambang dan pertanian tidak bisa mengirim produknya yang sangat dibutuhkan oleh negara Eropa. Akibatnya, harga komoditas tambang dan pertanian naik semakin tinggi.
Harga batubara naik 99 persen pada periode Januari-April 2022 menjadi 314 dollar AS per ton, bahkan pernah mencapai 430 dollar AS per ton pada Maret. Harga nikel naik 58 persen pada periode yang sama menjadi 33.144 dollar AS per ton dan harga minyak sawit mentah (CPO) naik 33 persen menjadi 6.465 ringgit per ton.
Untuk Indonesia, kenaikan harga komoditas ini menguntungkan ekspor. Pada 2022, walaupun ada akselerasi impor, diperkirakan Indonesia masih bisa mencatat surplus ekspor-impor barang dan jasa sekitar 1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Ini berdampak positif terhadap stabilitas kurs rupiah.
Pada 2022, walaupun ada akselerasi impor, diperkirakan Indonesia masih bisa mencatat surplus ekspor-impor barang dan jasa sekitar 1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Ini berdampak positif terhadap stabilitas kurs rupiah.
Sementara itu, pemulihan ekonomi China terhambat karena kebijakan ”zero covid policy”. China saat ini masih melakukan isolasi di beberapa kota besar. Melambatnya ekonomi China tentu berpengaruh besar pada ekspor negara berkembang ke negara tersebut. Karena lockdown di beberapa kota, pertumbuhan ekonomi China diperkirakan turun dari 4,8 persen pada triwulan I-2022 ke 3,0 persen pada trwulan II-2022. Akan tetapi, diharapkan pada semester II ekonomi China akan mengalami akselerasi kembali.
Mencari keseimbangan
Pemerintah dan bank sentral di sejumlah negara tentu ingin ekonominya segera pulih. Akan tetapi, nilai uang juga harus dijaga agar tidak tergerus oleh inflasi. Upaya mencari keseimbangan ini menjadi seni tersendiri bagi kebijakan moneter.
Demi mengendalikan inflasi dan menyerap ekses likuiditas, beberapa bank sentral dunia sudah menyikapi hal ini dengan mulai menaikkan suku bunga secara perlahan dan menaikkan Giro Wajib Minimum. Uniknya, China justru melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan giro wajib minimum karena ekonominya melemah.
Di saat ekonomi sedang berada dalam krisis akibat pandemi Covid-19, saham teknologi (ekonomi digital) melejit karena masyarakat melakukan aktivitas secara daring. Laba perusahaan teknologi pun meningkat. Ditopang oleh suku bunga yang sangat rendah, biaya spekulasi jadi murah, berbagai saham teknologi naik harganya walaupun perusahaan belum memiliki laba.
Akan tetapi, dengan mulai terjadi kenaikan suku bunga di beberapa negara, terjadi kenaikan cost of capital (biaya modal). Investor saham mulai lebih selektif, mereka mulai melihat fundamental perusahaan teknologi, apakah perusahaan itu memiliki laba atau tidak. Karena itu, sekarang penting sekali bagi manajemen perusahaan teknologi untuk memberikan rencana detail bagaimana peta jalan perusahaannya untuk mulai mencetak laba.
Di Amerika Serikat, saham raksasa teknologi dengan laba besar, seperti Amazon, Microsoft, Apple, dan Alphabet (Google), harganya turun dibandingkan dengan awal tahun, berkisar 10 persen-16 persen. Saham Meta (Facebook) pun turun lebih dalam, 38 persen. Bahkan, saham perusahaan film Netflix turun 43 persen.
Perusahaan Indonesia yang sudah atau akan go public tentunya harus memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi volatilitas pasar keuangan saat ini, yaitu risiko kenaikan suku bunga The Fed serta risiko kenaikan inflasi akibat harga komoditas.
Di Asia, cerita yang sama terjadi. Pada periode Januari-April, saham dua perusahaan raksasa teknologi Tiongkok, Alibaba dan Tencent, turun 17 persen. Bahkan, induk perusahaan Shopee (SEA Ltd) jatuh 52 persen. Perusahaan Indonesia yang sudah atau akan go public tentunya harus memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi volatilitas pasar keuangan saat ini, yaitu risiko kenaikan suku bunga The Fed serta risiko kenaikan inflasi akibat harga komoditas.
Redanya krisis Covid membuat terjadinya pemulihan ekonomi global. Pemulihan ekonomi berarti bank diharapkan akan mengakselerasi pemberian kredit. Di Indonesia, diperkirakan pertumbuhan kredit mencapai 7 persen-9 persen pada tahun ini.
Akan tetapi, karena inflasi di AS meningkat signifikan, dikhawatirkan kenaikan suku bunga bank sentral AS juga dipercepat. Inflasi di AS sudah menembus 8 persen, padahal dalam situasi normal, inflasi AS di bawah 2 persen.
Kekhawatiran terhadap inflasi tecermin di yield surat utang Pemerintah AS (tenor 10 tahun) yang meningkat sangat tajam dari 1,62 persen ke 2,82 persen pada periode awal Januari-April 2022. Artinya, walaupun suku bunga jangka pendek The Fed hanya meningkat 0,25 persen pada Maret, suku bunga jangka panjang sudah lompat tinggi 1,2 persen atau 120 basis poin.
Yield SBN Indonesia (tenor 10 tahun) juga sudah naik 0,6 persen dari 6,3 persen ke 6,9 persen pada periode Januari-April 2022. Walaupun tampaknya inflasi Indonesia masih rendah, tetap menunjukkan tren kenaikan.
Inflasi bulanan pada Maret 2022 adalah 0,66 persen, lebih tinggi daripada inflasi Maret 2021 yang hanya 0,08 persen. Secara tahunan, inflasi Maret 2022 adalah 2,64 persen, bandingkan dengan inflasi Maret 2021 yang 1,37 persen. Selain itu, perlu dimonitor juga inflasi perdagangan besar karena lebih tinggi daripada inflasi harga konsumen.
Inflasi perdagangan besar pada Maret 2022 adalah 3,54 persen, disebabkan inflasi barang pertambangan 7,71 persen dan inflasi barang industri 4,33 persen. Adanya kenaikan di harga barang perdagangan besar biasanya akan diteruskan ke harga jual produk ke konsumen. Menjadi sangat penting menyediakan kecukupan stok bahan pokok.
Adanya kenaikan di harga barang perdagangan besar biasanya akan diteruskan ke harga jual produk ke konsumen. Menjadi sangat penting menyediakan kecukupan stok bahan pokok.
Berbeda dengan di AS dan banyak negara yang inflasinya sudah naik tinggi akibat kenaikan harga energi dan makanan, di Indonesia inflasi masih relatif terkendali. Hal ini disebabkan oleh harga BBM (bahan bakar minyak) dan listrik yang tidak naik karena adanya subsidi BBM dan listrik. Akan tetapi, beban subsidi APBN akan semakin tinggi.
Oleh karena itu, untuk mengendalikan defisit APBN yang harus turun ke bawah 3 persen PDB di tahun depan, pengeluaran non-prioritas harus dikendalikan. Menteri Keuangan, minggu lalu, menyatakan, pemerintah merancang defisit APBN tahun 2023 di kisaran 2,81 persen-2,95 persen PDB. Membengkaknya defisit APBN pada 2020-2021 disengaja untuk menolong masyarakat dan usaha kecil selama krisis akibat pandemi Covid-19 melalui program pemulihan ekonomi nasional.
Sejalan dengan berakhirnya krisis Covid, pemerintah berhasil secara bertahap menurunkan defisit APBN dari 6,1 persen PDB tahun 2020 menuju ke bawah 3,0 persen tahun 2023. Artinya, tambahan utang juga akan turun.
*Mirza Adityaswara, Direktur Utama LPPI (Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia)