Kolaborasi Menuju Ekonomi Hijau
Di Indonesia, transisi energi menyangkut aspek yang sangat kompleks, dari ilmu pengetahuan dan teknologi sampai dengan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Seluruh negara, terlebih negara berkembang, didorong untuk lebih agresif mengganti bahan berbasis fosil menuju energi hijau yang tidak menghasilkan karbon.
Padahal, persoalan setiap negara memiliki tantangan dan kebutuhan yang berbeda dalam mentransformasikan sistem energi mereka.
Di Indonesia sendiri, transisi energi menyangkut aspek yang sangat kompleks, dari ilmu pengetahuan dan teknologi sampai dengan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Kompleksitas urusan transisi enegi di Tanah Air terlihat dari rencana pemerintah dalam menyusun renjana jangka panjang transisi energi, mulai dari menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Hijau 2021-2030 hingga menjalankan komitmen ”Net Zero Carbon” 2060.
Secara umum ada tiga tantangan besar dalam transisi energi yang perlu mendapatkan perhatian para pemangku kepentingan energi.
Pertama, terkait dengan akses energi bersih, tidak semua warga dunia memiliki akses pada energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern.
Tantangan kedua adalah terkait masalah pendanaan. Proses transisi membutuhkan dana yang sangat besar, transisi energi membutuhkan proyek-proyek baru, artinya juga dibutuhkan investasi yang baru. Karena itu, dibutuhkan eksplorasi mekanisme pembiayaan yang tepat agar tercipta keekonomian, harga yang kompetitif, dan tidak membebani masyarakat.
Tantangan ketiga adalah dukungan riset dan teknologi. Dalam transisi energi diperlukan peran ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan lebih kompetitif sehingga bisa menurunkan biaya dan meningkatkan nilai tambah pada produk industri energi baru terbarukan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah diperlukan juga persiapan berbagai kompetensi dan keahlian dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi sehingga tersedia sumber daya manusia yang unggul untuk mendukung transisi energi.
Baca juga: Transisi Energi Hijau, Jalan Mereduksi Dampak Krisis Iklim
Di tengah kondisi ini, pemerintah menyadari bahwa proses transisi energi harus berlangsung secara inklusif serta kolaboratif. Artinya, negara yang memiliki beban berat untuk transisi energi harus dibantu dan diberikan kemudahan. Sebaliknya, negara yang sudah siap bisa jalan terlebih dahulu sambil membantu negara lain yang belum mampu.
Karena itu, Indonesia akan mengoptimalkan momentum presidensi G-20 untuk mendorong sinergi antara negara berkembang dan maju guna mempercepat proses transisi energi ini. Kolaborasi dibutuhkan untuk mempermudah akses layanan energi yang terjangkau, menciptakan inovasi teknologi dan terobosan pendanaan, merumuskan strategi yang konsisten dan berkelanjutan.
Sejumlah peluang dapat dipastikan akan terbuka lebar terkait masalah ini. Kemampuan dunia mengatasi tantangan transisi energi akan membuka peluang baru dan lapangan kerja baru, hingga terbukanya peluang ekonomi baru, yaitu ekonomi hijau.
Keluar jebakan
Transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau menjadi salah satu strategi Indonesia untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah. Dengan demikian, ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan sosial dengan tetap menjaga kualitas lingkungan.
Untuk menggenjot ekonomi hijau, pemerintah mengobral berbagai fasilitas fiskal dan keuangan guna menggaet minat para investor. Kehadiran instrumen fiskal dan peran aktif industri jasa keuangan amat dibutuhkan untuk mengakselerasi implementasi ekonomi hijau di Indonesia.
Kementerian keuangan siap memberikan insentif fiskal, seperti tax holiday, tax allowance, dan pembebasan bea masuk impor. Selain itu, akan diberlakukan juga pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) Ditanggung Pemerintah (DTP), hingga pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Dengan berbagai insentif fiskal tersebut diharapkan beban dunia usaha untuk berinvestasi di ekonomi hijau terutama energi baru terbarukan (EBT) dapat berkurang dan mampu berakselerasi.
Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan beragam insentif maupun stimulus sebagai katalis pengembangan ekonomi hijau yang menjadi tindak lanjut Paris Agreement on Climate Change 2015-2030 serta hasil pertemuan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-26 (COP-26).
Peran pihak swasta memang krusial karena Indonesia membutuhkan anggaran jumbo untuk mengurangi emisi karbon di Tanah Air. Kementerian Keuangan mengalkulasi, untuk mengejar target penurunan karbon 2030, setiap tahun Indonesia membutuhkan anggaran Rp 266 triliun. Jika dihitung sejak 2017, secara total Indonesia membutuhkan anggaran Rp 3.460 triliun.
Pemerintah telah mampu mengidentifikasi tantangan transisi energi. Apa yang perlu dilakukan saat ini adalah memanfaatkan Presidensi G-20 dengan membangun lebih banyak kolaborasi untuk mempermudah akses layanan energi yang terjangkau, menciptakan inovasi teknologi dan terobosan pendanaan, merumuskan strategi yang konsisten dan berkelanjutan.
Sekali lagi perlu ditekankan bahwa negara yang bebannya berat harus dibantu dan diberikan kemudahan. Negara yang sudah siap bisa jalan terlebih dahulu sambil membantu negara lain yang belum mampu.