Konflik Rusia-Ukraina dan Deglobalisasi
Pandemi dan krisis geopolitik di Eropa saat ini telah membawa dunia lebih ke arah deglobalisasi. Namun, belum diketahui apakah ini fenomena permanen atau sementara.
Dalam waktu sepekan invasi Rusia ke Ukraina telah mengubah apa yang dikenal selama ini sebagai perekonomian global. Globalisasi telah memungkinkan terjadinya pembagian kerja antara negara-negara di dunia yang menekan biaya produksi global.
Negara-negara sekutu Barat melakukan strategi sanksi ekonomi untuk mengucilkan Rusia dari perekonomian global. Dalam matematika dikenal istilah keseimbangan lokal yang stabil, tetapi secara dinamis belum tentu akan bertahan jika terdapat kejutan yang cukup besar terhadap sistem (Chiang; 2004).
Buku TheGreat Reversal (Goohart dan Pradhan; 2019) memprediksi bahwa tidak ada pesta yang tidak berakhir. Buku ini menyampaikan pesan bahwa deglobalisasi dengan turunannya seperti inflasi, perlambatan pertumbuhan produktivitas, serta pengangguran akan kembali sebagai keseimbangan baru.
Dengan kata lain, globalisasi kemungkinan besar adalah fenomena multiple equilibria. Akselerasi globalisasi terjadi setelah perang dingin antara negara-negara Barat dan blok Timur dengan berakhirnya Uni Soviet pada tahun 1990. Walaupun tidak sedikit yang gagal, banyak negara memanfaatkan globalisasi untuk menciptakan pertumbuhan yang tinggi, inflasi yang terkendali, dan pengangguran yang rendah.
Deglobalisasi dengan turunannya seperti inflasi, perlambatan pertumbuhan produktivitas, serta pengangguran akan kembali sebagai keseimbangan baru.
Perang dagang AS-China pada masa pemerintahan Presiden Trump, pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada 25 Februari lalu membuat dunia mencari strategi baru untuk berjaga-jaga jika keseimbangan bergerak kembali ke arah deglobalisasi.
Hal lain yang harus diwaspadai adalah point of no return. Konflik ini mempunyai risiko benturan langsung antara negara adidaya yang dapat membawa ke arah situasi MAD (mutually assured destruction), satu istilah dari Perang Dingin tahun 1950 sampai 1980-an. Sistem aliansi banyak membawa negara-negara yang sebenarnya tidak punya urusan langsung terjun ke dalam konflik.
Barbara Tuchman, pemenang hadiah Pulitzer dua kali, salah satunya melalui buku The Gun of August yang menceritakan situasi di bulan-bulan pertama Perang Dunia I tahun 1914. Risiko ini tampaknya juga disadari oleh negara-negara dalam aliansi NATO. Oleh karena itu, satu per satu menyatakan secara terbuka tidak akan menerjunkan pasukan secara langsung ke Ukraina.
”Gajah sama gajah berkelahi pelanduk terkena getah”
Bagi Indonesia, transmisi inflasi global ke perekonomian dalam negeri adalah melalui harga minyak dan gas, komoditas pertanian termasuk agribisnis dan berbagai bahan baku, penolong dan barang setengah jadi yang digunakan industri.
Konflik di atas menambah tekanan inflasi global yang sudah ada karena Rusia adalah termasuk produsen energi fosil terbesar dunia, dengan pangsa dunia kira-kira 10 persen untuk minyak mentah dan 17 persen untuk gas alam.
Risiko geopolitik tampaknya telah terbaca oleh bursa berjangka komoditas internasional. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) adalah salah satu contohnya. Pergerakan harga dari 68 ke 80 dollar AS per barel didasarkan persepsi tentang pemulihan ekonomi dunia. Sementara dari 80 dollar AS ke 90 dollar AS adalah karena premium risiko geopolitik dengan peningkatan ketegangan pra-invasi ke Ukraina. Sisanya dari 90 dollar AS ke 110 dollar AS karena pecahnya konflik bersenjata.
Dampaknya ke Indonesia terlihat dari perbedaan harga BBM dan LPG non-subsidi yang mendorong substitusi ke produk-produk yang disubsidi. Dampak terbesar berikutnya adalah pada harga pangan dunia. Ukraina sendiri adalah penghasil gandum yang dijuluki sebagai gudang roti dunia dengan pangsa 25 persen. Bersama Rusia menghasilkan 30 persen dari pasokan dunia.
Akibat konflik dan sanksi ekonomi, terjadi kenaikan harga gandum tertinggi sejak 2008. Dalam waktu seminggu setelah invasi harga sudah melonjak 40 persen. Yang paling menderita adalah negara-negara yang mengandalkan gandum sebagai bahan pangan utama, terutama negara-negara di Afrika Utara.
Situasi yang penuh ketidakpastian ini menyebabkan timbulnya perilaku menimbun. Beberapa negara dengan makanan pokok hasil olahan dari gandum sibuk membeli gandum, baik pada pasar spot maupun future untuk memperkuat cadangan strategisnya. Kenaikan harga ini juga menjalar ke produk-produk pangan yang lain, baik melalui efek subsitusi/komplemen maupun karena spekulasi di bursa berjangka komoditas dunia.
Gandum juga digunakan untuk pakan ternak. Kenaikan harganya mendorong substitusi ke kedelai sehingga harga kedelai ikut naik. Kenaikan harga daging dan kedelai bahan tahu-tempe baru-baru ini merupakan dampak dari situasi geopolitik di Eropa. Selain itu, gandum dan kedelai juga merupakan feedstock untuk bioenergi sehingga ikut menambah kompleksitas transisi ke arah energi terbarukan.
Dengan tekanan inflasi global seperti di atas, publikasi BPS menunjukkan bahwa inflasi Indonesia masih merayap dengan deflasi 0,02 persen di bulan Februari. Namun, dengan pemulihan ekonomi, mendekatnya bulan puasa dan hari raya Lebaran dan juga inflasi global akibat konflik di Eropa inflasi diperkirakan akan semakin mendekati inflasi jangka panjang Indonesia yang berkisar di angka 3 persen.
Implikasi
Ungkapan bijak crises begets reformsmenjadi relevan untuk menyikapi krisis geopolitik di Eropa ini. Di masa lalu Indonesia menggunakannya untuk melakukan transformasi struktural. Kenaikan harga minyak di tahun 1970-an sebagai akibat konflik di Timur Tengah telah menghasilkan restrukturisasi perekonomian ke arah sektor-sektor nonmigas seperti manufaktur padat karya dan jasa.
Baca juga: Pertumbuhan di Tengah Resurgensi
Pandemi dan krisis geopolitik di Eropa saat ini telah membawa dunia lebih ke arah deglobalisasi. Namun, belum diketahui apakah ini fenomena permanen atau sementara. Meminjam istilah Game Theory, dalam situasi transisi yang belum jelas end game-nya, kebijakan yang optimal adalah strategi bauran (mixed strategy).
Pandemi dan krisis geopolitik di Eropa saat ini telah membawa dunia lebih ke arah deglobalisasi. Namun, belum diketahui apakah ini fenomena permanen atau sementara.
Indonesia tidak dapat memalingkan diri dari ekonomi global karena pandemi memberi kesempatan untuk masuk lebih dalam ke rantai pasokan internasional (ekspor). Namun, pada saat yang sama, Indonesia harus menjaga pertumbuhan dan mengendalikan inflasi dengan memperkuat sisi produksi dalam negeri melalui prioritas pertanian dan industri turunannya, serta energi melalui penggunaan sumber-sumber energi terbarukan seperti tenaga air dan angin, geotermal, arus laut, tenaga surya, biogas dan lain-lain.
Seperti yang terlihat dari pola pemulihan dari triwulan I sampai triwulan IV-2021, dengan disiplin protokol kesehatan, dari sisi permintaan Indonesia dapat memanfaatkan kelas menengah yang pola belanjanya semakin terkuak akibat pandemi, yaitu ke arah sektor-sektor yang berbasis mobilitas seperti perdagangan, pariwisata, akomodasi, dan relaksasi keluarga. Semua ini mempunyai daya ungkit dan kaitan dengan sektor UMKM.