Bersiap hanya bagian dari kisah panjang kekerasan kolonial dan dekolonisasi negeri ini. Bedanya, Bersiap lenyap dari wacana resmi sejarah di Indonesia ataupun di Belanda lebih dari setengah abad.
Oleh
Ariel Heryanto
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Ariel Heryanto
Nyai adalah perempuan lokal yang digundik pria Eropa di Hindia Belanda, sebelum bernama Indonesia. Ada yang kemudian dinikahi resmi, tetapi banyak yang tidak. Keturunan mereka disebut ”Indo”.
Tidak semua Indo berkulit putih atau berambut pirang. Tak semua berbahasa Belanda. Tak semua berstatus warga ”Eropa”, kecuali yang resmi diakui sebagai anak oleh ayahnya. Kebanyakan tidak pernah menginjakkan kaki di Belanda.
Nyai paling terkenal selama 40 tahun terakhir bernama Ontosoroh. Ia tokoh fiksi dalam novel Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer. Ia sosok idola bagi Minke, tokoh utama novel itu. Di luar novel, Ontosoroh tenar sebagai sumber inspirasi pentas teater, penciptaan lagu, dan kajian skripsi.
Sebelum digundik, Ontosoroh bernama Sanikem. Demi kenaikan jabatan, ayahnya menjual Sanikem pada usia 14 tahun kepada Herman Mellema senilai 25 gulden. Ontosoroh belajar bahasa Belanda hingga mahir. Kemampuan yang mahalangka pada masa itu juga dikuasai RA Kartini.
Nyai Ontosoroh hidup lebih merdeka ketimbang RA Kartini. Ia mengelola perusahaan besar milik Mellema. Berbekal modernitas Eropa, ia menggugat tidak hanya budaya priyai Jawa dalam tulisan, tetapi juga patriarki Eropa dalam tindakan. Walau digundik Mellema, ia tegar melawan ketika pria itu bertindak jahat.
Sosok Nyai Ontosoroh tampil berhari-hari dalam benak saya pada awal tahun 2022. Gara-gara kontroversi tentang kekerasan massal di Indonesia tahun 1945-1947 yang kemudian disebut ”Bersiap”. Kontroversi itu terkait dua peristiwa di Belanda, yakni pembukaan pameran dan penelitian akademik. Keduanya bertema revolusi kemerdekaan RI.
Bersiap merupakan ledakan kekerasan meluas semasa kosongnya otoritas kenegaraan pada masa transisi. Jepang kalah Perang Dunia II tahun 1945. Belanda sebagai penguasa terdahulu belum siap kembali menggantikan Jepang. Kemerdekaan RI buru-buru diproklamasikan di depan mikrofon. Tetapi, di luar upacara resmi itu pemerintahan belum siap berjalan nyata.
Bersiap hanya bagian dari kisah panjang kekerasan kolonial dan dekolonisasi negeri ini. Bedanya, Bersiap lenyap dari wacana resmi sejarah di Indonesia maupun di Belanda lebih dari setengah abad. Pemerintah di kedua negara sama-sama menghindari topik itu dan tanggung jawab atas peristiwa itu. Sejarah nasional di kedua negara sama-sama berfokus pada heroisme pejuang bangsa sendiri melawan kejahatan bangsa lain.
Belanda mulai berubah. Pebruari lalu PM Rutte meminta maaf kepada Indonesia atas kekerasan serdadu Belanda pasca-proklamasi. Dua tahun sebelumnya Raja Belanda Willem-Alexander juga minta maaf. Mungkin semua itu tidak cukup bagi para korban. Tetapi, itu awal perubahan bersejarah.
Dalam kontroversi awal tahun ini, Bersiap dipahami sebagian pihak secara sempit. Yakni sebagai kekerasan pejuang ”kita” terhadap penjajah Belanda. Bersiap dibenarkan dengan dalih sebagai reaksi spontan rakyat terhadap niat Belanda ingin menjajah kembali. Padahal, para peneliti menunjukkan betapa majemuk pelaku, korban atapun alasan dalam kekerasan waktu itu.
Tidak semua pelakunya pejuang kemerdekaan. Tak sedikit preman jalanan. Yang lain cuma ikut-ikutan. Ada yang menjarah tanpa niat politis atau dendam rasial. Korban utamanya bukan penguasa kolonial Belanda yang sudah dihabisi Jepang tiga tahun sebelumnya.
Sebagian korbannya pejabat pribumi yang dianggap pernah dekat dengan Belanda. Tetapi, korban terbanyak adalah warga sipil dari minoritas etnis Indo, Ambon, Manado, dan Tionghoa. Termasuk perempuan, anak-anak, dan orang usia lanjut yang tidak tahu-menahu soal politik.
Banyak dari kita masih terbiasa membahas kolonialisme dengan kerangka dikotomi mutlak-mutlakan: kita/mereka, Indonesia/Belanda, benar/salah. Banyak yang campuran kedua-duanya disangkal. Apalagi yang bukan salah satu dari dua kategori itu.
Maka, ketika kontroversi Bersiap tampil di awal tahun, tak sedikit yang menganggap Bersiap itu masalah Belanda. Bukan urusan Indonesia. Mengungkit kasus Bersiap dianggap siasat Belanda menjelek-jelekkan Indonesia, sambil mengabaikan kolonialisme mereka.
Padahal, sebelum ribut awal tahun ini banyak warga Belanda tak tahu soal Bersiap. Mirip di Indonesia. Gara-gara debat belakangan lebih banyak kaum muda di kedua negara jadi tahu pertama kalinya. Di kedua negara Bersiap dibicarakan bisik-bisik sebagian keluarga penyitas, selain peneliti.
Apa kaitan semua itu dengan Nyai Ontosoroh? Ribuan korban Bersiap adalah orang-orang seperti Nyai Ontosoroh, ayahnya, suaminya, anak-anak mereka dan orang-orang lain di sekitarnya. Mereka dianggap Belanda, Indo, atau pribumi yang dekat Belanda. Ratusan ribu lain telantar sebagai pengungsi.
Bumi Manusia merupakan kritik pascakolonial. Ia menembus dikotomi kolonial/antikolonial tanpa menyangkal bisa sepenuhnya bebas dari unsur-unsur tersebut. Ia berkisah tentang lahirnya Indonesia sebagai nasion gado-gado. Mirip Indo atau Peranakan. Di situ dikotomi kita/mereka berantakan.
Indonesia dikisahkan dalam Bumi Manusia sebagai buah dari bentrok dan sekaligus kemesraan kolonial/antikolonial. Mirip sosok banyak tokoh dalam novel itu, termasuk Ontosoroh. Ia bukan gadis pribumi bernama Sanikem yang lugu. Bukan pula nyonya Belanda tulen.
Ontosoroh bukan Indo secara biologis seperti anak-anaknya. Tetapi, ia sosok Indo dalam batin, ujaran dan sepak terjangnya. Ia mendorong Minke menulis dalam bahasa Melayu, bukan Jawa atau Belanda.
Bumi Manusia merupakan kritik pascakolonial terhadap mental kolonial yang marak ketika novel itu terbit perdana pada masa Orde Baru. Juga kritik terhadap etno-nasionalisme dan militansi ”pribumi” anti-Barat yang memuliakan feodalisme lokal.
Ketika Bumi Manusia difilmkan (2019), semangat pascakolonial dalam novel itu pudar. Sebagai komoditas, film komersial itu dikemas sesuai dengan selera pasar. Yakni etno-nasionalisme yang terbingkai dikotomi kolonial/antikolonial. Maka, sebelum pertunjukan di gedung sinema, penonton diminta berdiri dan menyanyikan ”Indonesia Raya”.
Bisa dimaklumi jika banyak yang belum siap menerima Bersiap sebagai bagian sejarah nasional.
Ariel Heryanto,Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia