Kapabilitas dan Agensi Perempuan Melewati Pandemi Covid-19
Perempuan merupakan kelompok rentan yang terdampak, tetapi menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya. Perempuan menyangga ekonomi keluarga sekaligus memikul beban ganda yang meningkat semasa pandemi.
Oleh
Saras Dewi
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Saras Dewi
Berangsur-angsur keadaan mulai menunjukkan titik cerah. Memang, tidak sepenuhnya kita lepas dari pandemi Covid-19. Kita bisa mengambil pelajaran selama 2 tahun bergumul dalam pandemi, yakni kita harus selalu berjaga-jaga. Adaptasi menjadi kunci survivalitas. Meski dalam keterpurukan ekonomi, masyarakat terus berusaha bertahan. Dibayang-bayangi kenaikan harga komoditas pangan dan energi, momen ini menjadi penting sebagai waktu pendampingan bagi masyarakat, utamanya bagi pemerintah, untuk memastikan kesejahteraan dan keadilan sosial dapat tercapai.
Selama masa pandemi, para perempuan menopang perekonomian keluarga. Menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK), juga lenyapnya lapangan pekerjaan, mendorong perempuan untuk berkreasi demi mempertahankan kesejahteraan keluarganya. Mereka memasak, berdagang, menjahit untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Melalui usaha rumahan dan juga memanfaatkan platform digital, mereka dapat memperluas usahanya.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), ada sekitar 64 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang merupakan 99 persen dari keseluruhan unit usaha nasional. Kurang lebih 64 persen (40.960.000 unit) dari UMKM tersebut dikelola oleh perempuan. Sebagian besar perempuan bekerja pada sektor usaha kuliner, kriya, dan fesyen.
Data ini menegaskan posisi penting perempuan dalam perekonomian nasional. Pada masa menghadapi krisis dikarenakan pandemi, perempuan merupakan kelompok rentan yang terdampak, tetapi di sisi lain menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya. Perempuan menyangga ekonomi keluarga, tetapi pada saat yang bersamaan pula memikul beban ganda yang meningkat semasa pandemi (INFID: 2021).
Hal ini disebabkan oleh pandangan budaya yang masih kaku terkait pembagian kerja dalam keluarga, yang menganggap pekerjaan domestik, seperti mengelola rumah tangga dan mengasuh anak, merupakan tugas perempuan saja. Sementara itu, laporan catatan kekerasan terhadap perempuan tahun 2020-2021 (Komnas Perempuan) menampilkan lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan hingga 80 persen, menjadi 338.496 kasus pada tahun 2021. Fakta ini menyedihkan, dan menjabarkan realitas kelam betapa terancamnya tubuh perempuan baik di ruang publik maupun privat.
Tidak cukup melihat data keterlibatan perempuan dalam ekonomi secara permukaan semata, kita perlu menelisik lebih dalam menggunakan pendekatan kapabilitas (Martha Nussbaum, Amartya Sen: 1993) demi memahami secara kritis partisipasi perempuan dalam sosial dan ekonomi semasa pandemi. Pendekatan kapabilitas merupakan kerangka kerja yang menekankan pada terwujudnya kesejahteraan hidup (well-being) sebagai tujuan etis, yang menggarisbawahi kondisi kebebasan seseorang dalam mencapai kesejahteraan hidup melalui kapabilitasnya (Ingrid Robeyns: 2012).
Pendekatan kapabilitas menekankan pula kebahagiaan seseorang dalam proses melakukan sesuatu, juga kesanggupannya untuk menyejahterakan dirinya. Menggunakan analisis kapabilitas, kita dapat mencermati bahwa ragam fungsi yang dimiliki seseorang dapat diaktualisasikan dalam kondisi bermasyarakat yang setara. Kemiskinan, sukarnya akses pendidikan, ketimpangan akses kesehatan, hambatan-hambatan yang muncul dari pandangan budaya dan tradisi yang diskriminatif menjadi hal-hal pokok yang dapat membatasi peluang perempuan.
Bagi Martha Nussbaum, kapabilitas terkait pula agensi perempuan untuk membuat pilihan-pilihan bagi dirinya sendiri. Itu mengapa, pendekatan kapabilitas tidak saja menyorot soal pendapatan ekonomi seseorang, tetapi juga menimbang apakah pekerjaan tersebut merupakan bagian dari pilihan bebasnya, serta mendatangkan kesejahteraan hidup (well-being). Selanjutnya, Nussbaum menitikberatkan posisi negara dalam kerangka kapabilitas, yang berarti diterjemahkannya kapabilitas seseorang menjadi hak-hak dasar yang dijamin serta dilindungi oleh negara.
Ketika berjumpa dengan Muslimah (55) dalam salah satu kegiatan pameran produk UMKM di Jakarta, saya tersentuh mendengarkan perempuan itu bercerita tentang suka duka mengembangkan usaha berdagang keripik singkong. Usaha yang ia rintis bermodalkan lima puluh ribu rupiah lambat laun berkembang, kini per harinya ia memproduksi 1-2 kuintal keripik singkong.
Meski demikian, usaha ini ia pertahankan dengan jerih payah. Pada tahun 2020 saat pandemi menghantam, ia terpaksa menghentikan berdagang. Perlahan usaha keripik Canthir bangkit, bahkan tahun ini ia mendapatkan tawaran untuk mengekspor produknya ke Turki. Walau penuh harapan, ia mengkhawatirkan kondisi ekonomi yang tak menentu, khususnya jika harga minyak goreng menjadi semakin mahal.
Selain menjalankan usahanya, Muslimah juga kerap diundang menjadi pembicara di sejumlah tempat untuk membagikan kiat sukses sebagai pelaku UMKM. Ia merasa bahagia dapat membantu orang lain. Saat ini, ia tengah membantu sesama kelompok perempuan pengusaha mikro hingga ultra mikro untuk mendapatkan modal kerja. Ia membuat komunitas bersama ratusan perempuan lainnya untuk saling bahu-membahu agar kelak dapat menjadi sandaran pada masa-masa sulit. Ia teringat masa lalunya menjalani pelatihan di LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan). Melalui lokakarya itulah ia terbantu untuk memulai usahanya. Ia mengisahkan sejumlah rintangan yang dihadapinya sebagai seorang perempuan. Ia pun selalu mendengar keluh kesah perempuan lainnya yang ingin menjadi mandiri, tetapi selalu terbentur situasi yang sarat ketimpangan dan kekerasan.
Kisah Muslimah adalah salah satu cerita di antara jutaan cerita perempuan-perempuan yang sedang berjuang untuk keluarganya dalam impitan pandemi. Kembali pada kerangka kapabilitas, pemulihan sosial ekonomi tidak dapat dilakukan setengah hati. Artinya aspek hukum, politik, dan budaya perlu beriringan demi mengupayakan kesetaraan dan keadilan jender. Berita terbaru mengenai RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang akan disahkan menjadi tumpuan terciptanya ruang yang aman bagi perempuan Indonesia untuk hidup dan berkarya penuh kebebasan.