Penderitaan tidak terasa, karena terbiasa menjalaninya. Penderitaan juga terasa sebagai bukan penderitaan lagi, karena tidak ada akses guna mengetahui bahwa keadaan itu merupakan salah satu akibat dari praktik kejahatan.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
Kami urung mendaki sampai ke puncak Merapi pada malam itu. Saya, Jay, dan Daniella, mahasiswa dari Belanda, akhirnya singgah di pondok petani di lereng gunung untuk beristirahat. Pondok tersebut berlantai tanah. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu. Beberapa langkah dari pintu masuk ada tungku menyala. Sepanci air tengah dijerang.
Tahun itu 1994. Beberapa bulan sebelum pendakian kami, para petani Kepuharjo, desa di lereng Merapi, menggelar aksi menolak pembangunan lapangan golf yang mengancam lahan pertanian mereka. Pemilik pondok juga ikut aksi. Puluhan mahasiswa dari berbagai kota Pulau Jawa bergabung dalam aksi itu di muka gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Yogyakarta. Namun, lapangan golf tetap dibangun.
Dini hari kami sudah berada dalam truk menuju pasar Umbul Harjo, duduk di bak belakangnya bersama ibu-ibu petani yang memeluk bakul-bakul berisi sayur-mayur untuk dijual. Meski jalanan menurun tajam dan truk berkali-kali terguncang keras, ibu-ibu tampak tenang dan sesekali tersenyum. Apakah mereka bahagia? Penderitaan tidak terasa, karena terbiasa menjalaninya dari waktu ke waktu. Penderitaan juga terasa sebagai bukan penderitaan lagi, karena tidak ada akses untuk mengetahui bahwa keadaan itu merupakan salah satu akibat dari praktik kejahatan. Melalui esai ”Trickledown Revolution”, Arundhati Roy menyatakan bahwa rakyat yang selalu serba kekurangan tentu tidak membayangkan uang mereka telah dicuri dalam skala besar dan bahkan tidak terpikir itu uang mereka, yang lalu digunakan politisi korup untuk memenangi pemilu agar tetap berkuasa. Esai ini dimuat dalam buku Roy, Walking with the Comrades, yang berisi kritik terhadap praktik pemerintahan di India, kriminalisasi terhadap orang miskin, dan perusakan ekologi atas nama pembangunan. Di Indonesia, Roy lebih dikenal melalui novelnya, The God of Small Things.
Pemerintah India sering menuduh aksi protes terhadap proyek penambangan, pembangunan bendungan, jalan tol, dan apa saja digerakkan kaum Maois atau komunis. Padahal, protes dilakukan berbagai kalangan, seperti petani, buruh, masyarakat adat, dan warga kampung. Orang-orang yang bergabung dengan pasukan gerilya Maois di hutan-hutan pun dipicu beragam alasan. Seorang gerilyawan menuturkan kronologi pelariannya dari rumah kepada Roy. Dia perempuan korban patriarki. Di kampung si gerilyawan, perempuan tabu memanjat pohon. Jika ketahuan, akan didenda seekor ayam betina. Perempuan juga terlarang makan telur ayam. Daging terbaik hewan buruan adalah hak laki-laki. Jika perempuan dipukul laki-laki, lalu membalas pukulan itu dia wajib menyerahkan seekor kambing.
Pengetahuan pertama saya tentang perlawanan petani berasal dari ibu saya, yang menjalani sekolah menengah di saat perang global melawan komunisme berlangsung sengit. Ibu mengisahkan pemberontakan petani di Filipina, Hukbalahap, yang dianggap pemberontakan komunis. Dia mengetahuinya dari guru sejarah. Ketika menyiapkan esai ini, saya teringat kisah Ibu dan membaca buku Benedict John Kerkvliet, The Huk Rebellion: A Study of Peasant Revolt in the Philippines. Kerkvliet adalah profesor emeritus di Jurusan Perubahan Politik dan Sosial, Australian National University.
Berdasarkan penelitian Kerkvliet dan hasil wawancaranya dengan mantan Hukbalahap, pendukung pemberontakan, dan pemukim di Luzon Tengah selama pemberontakan terjadi, Hukbalahap bukan gerakan perlawanan kaum komunis. Gerakan ini berakar pada perlawanan petani penggarap terhadap tuan tanah di desa-desa Luzon Tengah pada 1930-an, yang bertransformasi menjadi gerakan terorganisasi dan bersenjata. Hukbalahap turut melawan fasisme Jepang dan pasca-Perang Dunia II, juga melawan rezim kolonial Amerika (Serikat) dan Pemerintah Filipina. Kerkvliet menjelaskan tujuan pemberontakan itu, ”Selain reformasi agraria [….], para pemberontak di Luzon Tengah menginginkan diakhirinya penindasan terhadap anggota organisasi tani, mantan gerilyawan Hukbalahap, dan penduduk kampung pada umumnya. Mereka tidak memberontak dengan harapan menggulingkan pemerintah atau membangun sistem politik revolusioner.”
Pemberontakan petani di Indonesia masa kolonial diteliti oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo untuk menulis magnum opusnya, Pemberontakan Petani Banten 1888. Basis pemberontakan berada di distrik Anyer, Jawa Barat. Sartono mengaitkan pemberontakan petani Banten dengan serangkaian pemberontakan di Pulau Jawa pada abad ke-19, ketika ”kaum bangsawan yang sudah menjadi miskin dan pemimpin-pemimpin agama lalu merupakan kekuatan-kekuatan yang melawan penguasa kolonial”. Dia amat berhati-hati menggunakan dokumen kolonial, mengingat bias dan prasangka para pejabat kolonial terhadap Islam. Sartono menulis, ”Hal itu tercermin dalam penafsiran-penafsiran mereka. Perasaan takut terhadap fanatisme dan terhadap komplotan-komplotan orang Islam mencerminkan suatu suasana mental yang meluas di kalangan orang-orang Eropa.”
Penguasa boleh berganti. Zaman telah berubah. Nasib petani tetap kelabu. Suara ibu-ibu petani Kendeng, petani Wadas, dan petani di berbagai tempat di negeri ini seakan tertiup angin lalu. Mengapa? Roy memberitahu kita penyebabnya dalam kasus India. Katanya, itu lantaran kekuasaan dipegang sekelompok oligarki, yang dikendalikan beberapa perusahaan. Politisi antarpartai kelihatan bersaing untuk dilihat publik, katanya, tetapi persaingan nyata mereka adalah persaingan bisnis antarperusahaan.***