Perkembangan Internet telah merevolusi pesan; meningkatkan kebebasan, kecepatan, dan kapasitas manipulasinya. Bisnis dan pemerintah bisa mengancam privasi dengan mengumpulkan dokumen digital besar-besaran warganya.
Oleh
Idi Subandy Ibrahim
·5 menit baca
Jika lintasan peradaban manusia bisa dilukiskan, berabad-abad silam, orang-orang tinggal di desa kecil.Penduduk saling mengenal satu sama lain.Warisan masa lalu masyarakat menjadi sumber kearifan umum.Hanya sedikit yang bersifat pribadi.Kabar atau gosip menyebar cepat ke seluruh desa.Norma-norma sosial ditegakkan dengan teguh melalui rasa malu. Hari ini kita hidup dalam masyarakat yang kompleks dan impersonal.Urbanisasi dan pertumbuhan penduduk membentuk masyarakat lebih besar dan lebih tersebar.
Transformasi kehidupan masyarakat modern membuat berbagai ikatan sosial melemah, terfragmentasi, dan tersebar. Dalam berinteraksi,kita sering miskin informasi memadai untuk saling memahami.Di ‘hutan kota’, kita seperti tersesat di tengah belantara wajah-wajah asing. Makin lumrah tidak mengenal tetangga di blok perumahan atau bahkan di sebelah rumah kita. Orang mencemaskan merosotnya kepercayaan dan kesopanan antargenerasi. Termasukkrisis dan kemerosotan norma-norma sosial dan peningkatan kekasaran dan perilaku tidak beradab.
Pada awal era komputer, kritikus mediaMarshall McLuhan telah meramalkan bahwa media elektronik baru akan membawa dunia menjadi “desa global”. Internet membuktikan ramalan tersebut. Orang-orang yang tersebar di seluruh dunia dapat berkumpul di dunia maya untuk berbagi pesan dan ide. Ironisnya, di tengah tekanan Pandemi, impian “desa global” menghidupkan kembali romantisme kehidupan di desa kecil.Desa kecil yang kini menjadi “desa global” meneguhkan kembali watak manusia untuk selalu berbagi informasi. Bahwa manusia adalah ‘makhluk pesan’ (Homo nuntius; messaging humanity); pesan adalah pembentuk spesies kita, dan pesan adalah identitas manusia. Jika para Nabi disebut sebagai Pembawa Pesan, manusia adalah pesan dari Sang Pencipta Pesan.
Dalam bukunya Nuntius: Advertising and its Future, Gilbert Russell(1926)membela ‘pesan’ iklan. Andai semua iklan ditekan, biaya hidup akan naik. Pengangguran meningkat. Semua surat kabar seperti yang dikenal sekarang tidak akan ada lagi. Pekerjaan pemerintah akan terhambat (Hartley, 2012). Russell memandang pesan menjiwai seluruh perekonomian dan politik.Di era Internet, pesan adalah tujuan yang mendasari seluruh teknologi digital.
Perkembangan Internet telah merevolusi pesan; meningkatkan kebebasan, kecepatan, dan kapasitas manipulasinya. Internet memungkinkan pesan mengalir bebas dan bisa dibagikan dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Masalah muncul bagi Homo nuntius. Bot-bot sosialdan program otomatis yang dirancang meniru interaksi manusia secara online, telah menyebar luas. Bot adalah salah satu mekanisme yang digunakan dalam kampanye propaganda komputasi, upaya otomatis yang ditopang oleh algoritme AI untuk mengubah arus informasi dan memengaruhi perilaku (Woolley & Howard, 2018).
‘Aktor sosial otomatis’tersebut sekarang umum digunakan sebagai alat interaktif dalam layanan pelanggan, jurnalisme, perawatan kesehatan, dan hiburan. Di media sosial, bot sosial biasa digunakan untuk tujuan humor, seni, komentar, olahraga, bahkan pemilihan presiden.Bot juga digunakan melalui Twitter, Facebook, dan platform lain untuk menyebarkan konspirasi dan disinformasi, sehingga perannya sangat strategis dalam komunikasi politik dan kampanye manipulasi (Badawy, Ferrara, & Lerman, 2018).
Bot sosial dan politik memicu keriuhan wacana politik di media sosial danmenyebabkan keprihatinan selama pemilu, krisis keamanan, konflik, dan bencana hingga kemerosotan reputasi pribadi atau institusi.
Penggunaan bot sosial dan politik untuk memanipulasi perbincangan politik kini menjadi fenomena global. Analisis global dari propaganda komputasi dan upaya disinformasi digital yang disponsori negara (Bradshaw & Howard, 2019) menemukan bahwa lebih dari 70 negara sekarang menggunakan taktik otomatis sebagai bagian dari strategi komunikasi online mereka (Woolley dan Kumleben, 2020). Propaganda komputasi adalah salah satu konsekuensi politik paling signifikan dari inovasi terbaru di media sosial. Bot sosial dan politik memicu keriuhan wacana politik di media sosial danmenyebabkan keprihatinan selama pemilu, krisis keamanan, konflik, dan bencana hingga kemerosotan reputasi pribadi atau institusi.
Penggunaan bot terkait penyebaran data pribadi di Internet bisa berefek mendalam. Pertama, nama baik ditempa ketika orang membuat penilaian berdasarkan mosaik informasi yang tersedia tentang kita. Nama baik dianggap sebagai salah satu aset paling berharga baik di desa kecil (masa lalu) maupun di desa global (masa kini). Sosiolog C. F. Cooley (1902), menyebut “diri yang tampak seperti kaca” (the looking glass self) sebagai metafora bagaimana konsep diri ditentukan oleh pandangan orang lain tentang kita. Teori Cooley mengingatkan bahwa reputasi atau nama baik menjadi dimensi kunci dari diri kita, sesuatu yang memengaruhi inti dari identitas kita. Tanpa rasa hormat dari orang lain, tindakan dan pencapaian kita dapat kehilangan tujuan dan maknanya.
Kedua, meski penyebaran data pribadi dinilai bisa menyingkap kemunafikan masyarakat dan memicu perubahan, tetapi gosip atau rumor tentang seseorang, misalnya, bisa membiarkan pelaku tidak bertanggung jawab atas kata-katanya dan menyebabkan kebenaran terdistorsi. Filosof tersohor Martin Heidegger, dalam Being and Time (1996) mengingatkan gosip “menyebar di kalangan lebih luas dan mengambil karakter berwibawa. Hal-hal menjadi demikian karena seseorang mengatakannya demikian. Pembicaraan kosong terbentuk dalam gosip ini dan menyebarlah berita, sebuah proses di mana kurangnya dasar awal untuk berpijak meningkat menjadi benar-benar tidak berdasar.”
Singkatnya, gosip sering didasarkan pada rumor tidak berdasar, dan orang tidak peduli untuk menggali kedalaman permasalahan. Di dunia maya, bot dapat melipatgandakan pesan seperti gosip, sehingga dapat menjadi senjata untuk melukai orang lain atau menjatuhkan reputasi organisasi.
Dunia maya telah menjadi ‘desa’ baru Homo nuntius berbagi kabar atau gosip. Ruang bagi para pemikir dan orang bijak dari berbagai aliran berbagi harapan mengenai dunia. Ruang bagi sastrawan-seniman berbagi suara dan melodi yang menyentuh sukma terdalam tentang cinta. Ruang bagi orang kreatif berbagi ide dan karya inovatif. Ruang bagi orang baik berbagi kepedulian. Juga ruang bagi orang biasa berbagi kisah mengenai hal-hal sederhana. Ruang virtual akan menjadi tempat di mana hak-hak individu terlibat dalam ketegangan di kedua sisi. Di satu sisi, melindungi privasi,di sisi lain, menjaga kebebasan berekspresi. Lalu mana yang dipilih ketika semua sepakat kita harus menghargai kedua nilai tersebut?
Dalam The Digital Person: Technology and Privacy in the Information Age, Daniel J Solove(2004) menggali bagaimana bisnis dan pemerintah bisa mengancam privasi dengan mengumpulkan dokumen digital besar-besaran tentang warganya. Dia mencemaskan privasi karena pengumpulan dan penyalahgunaan informasi seperti itu bisa mengancam kebebasan dan kesejahteraan orang, sehingga perlindungan privasi yang lebih besar kian diperlukan di era digital.