Sudah teramat lama negara melakukan intervensi teramat jauh ke dalam lembaga pendidikan dan penelitian. Pemerintah terbiasa mengatur ilmuwan secara sepihak. Sudah teramat lama ilmuwan terbiasa diatur.
Oleh
Ariel Heryanto
·5 menit baca
Arsip Pribadi
Ariel Heryanto
Badan Riset dan Inovasi Nasional sudah dikritik bertubi-tubi. Tidak perlu ditambah lagi di sini. Belum tampak kritik-balik atau sanggahan setimpal. Jika dibiarkan tanpa tanggapan, kritik itu pudar sendiri. Perhatian publik beralih ke kontroversi lain. Yang terlibat atau terkena dampaknya disibukkan rutinitas baru.
Jumlah dan kerasnya kritik tidak menjamin perubahan. Apa yang masih perlu dibahas, atau setidaknya diangankan, agar masalah yang sama tidak berulang terus? Mungkin introspeksi sejenak di kalangan ilmuwan ada manfaatnya.
Berbagai kritik soal Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menuduh pemerintah tak punya visi dan strategi keilmuan yang baik dan jelas. Mungkin benar. Tapi, masa sih berharap visi dan strategi keilmuan yang memuaskan kaum ilmuwan dari para politisi? Bukannya harapan begitu yang bermasalah?
Bukan tak ada pejabat pemerintah cerdas atau semuanya jahat. Masalahnya, perhatian utama mereka tidak di situ. Terlepas dari kualitasnya, sebagai politisi mereka bekerja di antara berbagai tuntutan, ancaman, dan ambisi yang berbeda dari kerja para ilmuwan ketika menekuni penelitian.
Sudah teramat lama negara melakukan intervensi teramat jauh ke dalam lembaga pendidikan dan penelitian. Pemerintah terbiasa mengatur ilmuwan secara sepihak. Sudah teramat lama ilmuwan terbiasa diatur. Ini terlepas apakah niat dan hasilnya baik atau buruk.
Maka, peneliti terbiasa berharap yang baik-baik dari pemerintah. Jika harapan itu tak terpenuhi, mereka terbiasa pasrah atau protes. Mungkin ini sumber masalah paling mendasar. Bagaimana jika peran dan tanggung jawab terbesar dalam bidang pendidikan dan keilmuan itu dialihkan kepada para ilmuwan sendiri? Secara bertahap sesuai dengan kesiapan semua pihak.
Pemerintah bisa menyediakan hibah dana ke lembaga penelitian dan pendidikan. Bukan sebagai hadiah, melainkan sesuai mandat dari rakyat yang sudah dipajak. Pemerintah boleh menetapkan secara garis besar hasil capaian yang diharapkan dari lembaga penerima dana. Namun, pemerintah tak usah langsung ikut campur mengelola dana, merekrut tenaga, atau merancang kerja pendidik dan peneliti di berbagai lembaga itu.
Mengubah tradisi yang sudah turun-temurun tidak mudah. Tak semua pejabat suka jika wewenang dan kuasa mereka dikurangi. Tak semua ilmuwan betah mengelola lembaga mandiri. Jika ada yang mau, tetapi belum siap, dapat diberi pelatihan manajemen. Lembaga otonom bisa merekrut tenaga manajer non-ilmuwan. Namun, dewan pimpinan lembaga itu tetap terdiri atas para ilmuwan.
Reaksi terhadap BRIN yang paling mencolok adalah kritik di media oleh individu. Bukan gerakan sosial komunitas akademik. Bukan diplomasi kelembagaan akademik yang mampu menekan pemerintah untuk menunda, membatalkan, atau merevisi keputusannya. Agaknya dalam hal ini, para jurnalis dan buruh pabrik lebih kuat berserikat dengan rekan seprofesi. Apalagi pengusaha batubara. Ketika dilarang ekspor batubara, dalam waktu singkat mereka mampu mematahkan larangan itu.
Banyak lembaga akademik yang sudah berprestasi hebat dalam ilmu. Yang belum tampak jelas hadirnya sebuah lembaga akademik lintas bidang disiplin yang mampu mewakili kepentingan, cita-cita, dan keresahan anggotanya menghadapi tekanan eksternal, dari pemerintah ataupun universitas.
Para pengkritik BRIN sering mengutip otonomi universitas di negara liberal sebagai teladan. Yang belum saya jumpai dari kritik mereka dan perlu lebih disimak adalah perjuangan para akademisi di negara liberal membangun serikat dan asosiasi seprofesi. Tujuannya, melindungi dan mewakili kepentingan akademisi menghadapi tekanan, baik dari pemerintah maupun dari pimpinan universitas yang otonom.
Kemerdekaan akademik merupakan utopia. Bukan khayalan kosong. Ia semacam cita-cita yang layak diperjuangkan berkelanjutan walau tak pernah tercapai sepenuhnya. Tak ada ”menara gading”.
Sejak masa kerajaan, penguasa istana di mana pun membutuhkan dan sekaligus membatasi kerja ilmuwan. Sebagian ilmuwan dipelihara di sekitar istana dengan imbalan istimewa. Yang dianggap mengancam kepentingan penguasa disingkirkan. Penguasa tak selalu berhasil dan ilmuwan tak selalu tunduk.
Sebelum abad ke-21, jurang perbedaan kondisi kerja ilmuwan di sejumlah negara tidak jadi masalah. Mereka bekerja terpisah dengan kelebihan dan kekurangan sendiri. Sejak awal abad ini, ilmuwan di beberapa negara dituntut pemerintahnya terjun dalam komunitas akademik global yang timpang didominasi negara-negara di belahan bumi utara.
Sejak itu dosen dan peneliti dipacu menerbitkan karya di jurnal ilmiah internasional dengan saringan super ketat. Kini banyak universitas bertekad menjadi world class universities. Ranking global universitas menjadi acuan nasional. Beban mahaberat menindih akademisi kita yang tidak dialami generasi sebelumnya.
Berbagai universitas raksasa di dunia menerapkan kebijakan yang disesuaikan tuntutan global. Perbedaan usia, kebangsaan, agama, ras, jender atau orientasi seksual peneliti kurang dipedulikan, kecuali berimbangnya keragaman itu. Yang paling diutamakan adalah prestasi akademik mereka.
Promosi calon profesor di satu universitas melibatkan penilaian profesor dari negara lain. Tak ada campur tangan pemerintah. Perekrutan dosen dibuka secara global, termasuk dari Indonesia. Yang berprestasi terbaik diperebutkan antaruniversitas lintas benua.
Akan timbul masalah jika negara menuntut ilmuwan berprestasi global tanpa menyediakan dana, kemerdekaan, waktu dan persiapan sesuai dengan tuntutan global. Lebih merisaukan, jika kebijakan pendidikan/penelitian berkiblat semata-mata pada program pemerintah, atau tunduk pada pertarungan antarelite politik, dan masih dicemari faktor agama, etnis atau jender.
Kebebasan akademik bisa terus ditunggu dan diminta sebagai hadiah dari pemerintah. Bisa juga dicapai lewat perjuangan sendiri dari bawah lewat pembentukan asosiasi independen atau serikat para ilmuwan. Setiap pilihan punya nilai positif dan negatif. Yang penting, secara kolektif para ilmuwan punya pilihan, biarpun kecilnya, selain pasrah atau mengeluh di media.
Ariel HeryantoProfesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia