Berbagai asosiasi ecoprint global didominasi anggota dari Indonesia. Teknik mencetak motif, memanfaatkan khazanah tetumbuhan domestik, dan membubuhkan warna itu juga kian berkembang. Mata dunia kini tertuju ke Nusantara.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Pelaku busana ecoprint semakin melaju dengan teknik yang tak henti berkembang. Perajin di Nusantara terus tumbuh, bahkan sudah mendominasi jumlah praktisi mode tersebut di dunia. Beraneka rancangan diluncurkan lewat pemberdayaan kekayaan flora lokal dengan tampilan yang kian berbeda.
Inen Kurnia (49) dengan semangat berbagi pengetahuan. Ia menunjukkan bahan-bahan membuat ecoprint. Tegeran, tingi, jalawe, secang, dan simplokos terlihat diwadahi piring atau mangkuk. ”Simplokos dibuat dari daun loba. Pohonnya banyak tumbuh di Nusa Tenggara Timur. Hanya daun yang rontok diambil karena loba makin langka,” ujarnya.
Ia beralih memandangi tiga buku tentang ecoprint. Kiprah peserta pelatihan, perempuan praktisi ecoprint, dan pegiat lanjut usia, tetapi karyanya tetap bermutu dituangkan dalam karya-karya tersebut. ”Paling tua 83 tahun. Hampir setiap tahun, diterbitkan buku dengan tema-tema berbeda,” kata Inen di Jakarta, Kamis (7/4/2022).
Di sela Ecoprint Fashion Week 2022 itu, Inen tampak tak pernah penat berkeliling. Ia menyapa desainer, anak didik, dan rekan-rekannya yang berpameran dengan ramah. ”Ibu belum ujian? Belajar bisa di mana saja. Sabar, ya,” kata pemilik Inen Signature itu kepada muridnya.
Segudang kiprah Inen berbanding lurus dengan dinamika ecoprint yang terus berkembang. Pendiri dan Ketua Ikatan Desainer Ecoprint (IDE) Indonesia itu menebar energi sembari menunggu peragaan busana. Sekitar pukul 16.00, ia turut memamerkan pakaiannya di antara sembilan desainer lain.
Inen menyuguhkan kreasi yang jauh berbeda dibandingkan karya-karya sebelumnya. Rancangan berani ditunjukkan dengan lima koleksi bergaya klasik maskulin. Corak militer diaplikasikan pada linen mentah atau greige yang sangar. Ia mendobrak pakem romantisisme femininnya yang sangat kuat.
Terlebih, Inen menggabungkan baju-bajunya dengan topi pet dan bot kulit. Sekelumit, impresi gagah memancar, tetapi ia dengan lihai memadupadankan pakaian sehingga tetap cantik. Kombinasi tiga potongan disuguhkan dengan kemeja berdetail lipatan, rompi, dan celana tiga perempat.
Di ujung lengan, ia menyematkan tali sebagai aksen. Serasi dengan motif flora serupa loreng, mode retro disajikan lewat bahan yang kokoh. Inen masih konsisten membubuhkan cetakan satu rupa daun. Kali ini, lembaran-lembaran jambu mete dicantumkan dengan pewarna dari ketapang.
Didominasi Indonesia
Antusiasme Inen bukan tanpa tolok ukur. Jumlah anggota berbagai asosiasi ecoprint global sekitar 12.000 orang yang didominasi pegiat Tanah Air. ”Mata dunia kini tertuju ke Indonesia dengan jumlah total anggota komunitas dalam negeri mencapai 13.000 orang,” katanya.
Riilnya, pelaku ecoprint jauh melampaui itu karena banyak dari mereka yang tak tercatat dengan menggeluti sektor informal. Pelaku ecoprint juga sibuk saat pandemi. Mereka, misalnya, mengikuti Inacraft 2022 di Jakarta pada Maret lalu. ”Oktober nanti, kami bikin program internasional di Borobudur,” kata Inen.
Tika Kartikasari (42) ikut memajang busana berbeda dengan mengusung fashionready to wear yang kasual dan simpel. Ia menjajal desain baru untuk memperlebar pasar dengan harga lebih terjangkau. Dikombinasikan dengan kain polos, motif ecoprint hanya ditempatkan di ujung lengan, dada, atau bawah celana.
Tak heran, pakaian tersebut lebih sederhana namun motif ecoprint tetap menonjol. Ia menggunakan bahan kain dari serat alam seperti linen dan katun yang cocok untuk iklim tropis. Beberapa busana terlihat berupa terusan midi berlengan pendek maupun panjang dengan potongan longgar.
Apabila memerlukan aksen tambahan, Tika lewat jenama Saraé itu hanya menggunakan sedikit lipatan di dada tanpa detail berlebihan. Ia memvariasikan laburan kainnya, tak hanya warna tanah, tetapi juga biru yang dihasilkan dari daun indigofera, atau merah berbahan kayu secang.
”Bahan baku ecoprint alami. Ide besarnya, fashion yang berkelanjutan. Seminimal mungkin meninggalkan limbah,” kata Tika. Mordan dari unsur logam seperti tawas atau zat besi (tunjung) digunakan berulang. Bahkan, larutan itu sering terserap habis karena dibuat sesuai berat kain.
Tika menambahkan penjelasannya soal ecoprint domestik yang jauh lebih variatif. Ia mencontohkan tali jam tangan, gantungan kunci, gelang, sepatu, kotak tisu, dan dompet. ”Di negara lain, mentoknya baju, tas, dan syal. Bahannya kebanyakan hanya sutera dan wol,” ujarnya.
Tika lantas menunjukkan foto-foto ecoprint mancanegara lewat gawainya. Rilisan modiste Irlandia umpamanya, sederhana dengan cetakan monoton yang disapu warna pucat. Kontras dengan pusparagam sentuhan pegiat Indonesia yang lebih tegas hingga urat daunnya.
Sementara, Aminah Tri Astuti (65) bermain dengan warna-warni menyenangkan dipadu akrobatik patchlock atau tambal sulam. Lapisan kain disematkan pada lurik sebagai dasar dengan warna kuning bersemu krem yang dipercantik garis-garis coklat dan merah bata.
Aminah mempersembahkan lima koleksinya. Pemilik Qani’a Craft Ecoprint itu mengharmonisasikan baju muslim yang didominasi kulot. Gaya yang kasual, nyaman, dan tak terlalu formal merentangkan segmen pemakainya mulai remaja hingga ibu muda.
Ia mengaplikasikan pewarna berbahan tegeran untuk melaburi daun-daun jati dan lanang yang diramu bunga kenikir. Aminah yang menggandrungi satin viscose itu juga mengetengahkan atasan panjang dengan potongan asimetris, tali rumbai, dan topi bundar atau bucket hat.
Tujuan pembangunan
Pesatnya progresivitas ecoprint diindikasikan teknik yang semakin luas. Semula, hanya daun jati yang bisa dimanifestasikan berkat tingginya kadar tanin. ”Sejak tahun 2015 bahkan sebelumnya, percobaan terus dilakukan,” ucap Ketua Umum Asosiasi Ecoprinter Indonesia (AEPI) Puthut Ardianto.
Kini, daun apa pun bisa dimanfaatkan. Teknik botanical print yang marak diimplementasikan sejak tahun 2017 memungkinkan desainer tak hanya menggunakan kain putih. ”Warna-warna dasar lain yang alami juga dipakai. Maka, ecoprint sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang dicanangkan PBB,” ucapnya.
Ecoprint bisa dimasukkan dalam beberapa sasaran, utamanya konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab. Metode itu juga mengakomodasi penanganan perubahan iklim. ”Jadi, berlanjut dan berkelanjutan. Berlanjut karena bisnis, teknik, dan pelaku yang terus tumbuh. Berkelanjutan dari sisi lingkungannya,” ujarnya.
Seiring kebanggaan akan batik yang telah melingkupi Sabang sampai Merauke, pelaku ecoprint pun mengutarakan asa membawa karyanya hingga setara dengan warisan budaya tersebut. ”Kekayaan Indonesia dieksplorasi lewat kecantikan bermacam daun yang tersebar di daerah-daerah untuk dijadikan motif,” ucap Puthut.