Impian Bauran Cinta
Terkadang perjalanan cinta harus menemui tantangannya masing-masing. Kini, perbedaan justru melebur melalui cinta yang cair. Bahkan mampu berkembang mewarnai dunia dan melahirkan sentuhan budaya yang beragam.
Terkadang perjalanan cinta harus menemui tantangannya masing-masing. Ada kalanya akar budaya yang berbeda menghalangi cinta. Meski masih tersisa kisah serupa di sekitar kita, gemanya tak lagi marak. Kini, perbedaan justru melebur melalui cinta yang cair. Bahkan, mampu berkembang mewarnai dunia dan melahirkan sentuhan budaya beragam.
”Salam dari Radiena, asli Kupang. Ia menikah dengan seorang lelaki perantau asal Tegalega, Jawa Barat, bulan lalu. Mereka sedang membangun rumah di seberang rumah mertuanya dan berencana untuk memiliki satu anak saja.”Tokoh perempuan yang dinamai Radiena ini tampil dalam balutan busana perpaduan dan tenun Garut dari Jawa Barat dan tenun dari tanah NTT. Berpotongan jaket panjang sebagai luaran dengan siluet lurus gombrang, lengan gembung, serta aksen sulam warna-warni yang semarak di bagian dada. Berpadu dengan kain tenun Garut yang dikenakan sejengkal di atas mata kaki yang bersepatu gaya oxford, penampilan tokoh Radiena terlihat amat kosmopolitan. Tokoh Radiena adalah salah satu dari 12 tokoh perempuan fiksi dalam koleksi terbaru Mel Ahyar Archipelago ”Kawin Campur” yang diluncurkan desainer Mel Ahyar, akhir Maret lalu, di Astha District 8, Jakarta. Sebanyak 12 tampilan (look) busana dibawakan para model yang mewakili 12 tokoh perempuan Indonesia dari berbagai daerah. Koleksi kali ini merupakan kerja sama Mel Ahyar dengan Rabbanin Project untuk Cita Tenun Indonesia.
Kisah setiap tokoh perempuan fiksi yang diperdengarkan setiap kali model melangkah di landas peraga tadi terdengar akrab dalam kehidupan masyarakat di Indonesia selama ini. Kawin campur antar-suku, antar-agama, juga antar-bangsa merupakan cerita-cerita yang lumrah yang kerap terjadi. Terlebih di masa kini.
Dalam koleksi ini, Mel menggarap aneka 12 motif tenun khas Indonesia dari berbagai daerah, mulai dari Garut, Badui, Bali, NTT, Manggarai, Palembang, NTB, juga tenun gedog Tuban. Dari kain-kain tenun itu ia mendesain koleksi yang terdiri dari 18 macam luaran, 3 gaun panjang, dan 4 kemeja.
Ketika menekuri ide di depan kain-kain tenun aneka motif yang digelar bercampur di hadapannya, Mel lantas terpikir soal fenomena kawin campur dalam masyarakat Indonesia yang kian lumrah. Mobilitas masyarakat yang tinggi seiring modernisasi menjadikan masyarakat Nusantara bertemu dengan berbagai kelompok yang berbeda identitas. Di situlah kadang cinta tanpa bisa diatur kerap terbit dengan sendirinya di antara mereka, lalu mewujud dalam fenomena kawin campur.
”Munculnyarandom ketika lihat kain-kain ini. Seperti jodoh, kan, random sebenarnya, kita enggak pernah tahu dengan siapa. Misal di sini, ada Sumba ketemu Garut. Terus muncul gimana, ya, mereka bisa ketemu? Jadi satu keseruan tersendiri. Apalagi, in a real life, kita juga mengalami hal yang sama,” ungkap Mel ketika berbincang.Memang ketika diajak bekerja sama mengolah 12 motif tenun Indonesia, Mel mengaku tidak serta-merta langsung memikirkan rancangan desainnya. Dalam berkreasi, Mel cenderung memulainya dengan gagasan payung terlebih dahulu. Baginya, tanpa ada gagasan payung yang solid, eksekusi desain sulit terwujud dengan kuat. ”Gagasan atau temanya dulu apa, aku harus begitu. Kalau sudah dapat, desainnya seperti apa itu akan keluar dengan cepat,” ujar Mel.
Ide dengan nuansa keberagaman yang menyatukan ini bukan sekali diangkat oleh perempuan yang mengenyam pendidikan mode di Perancis ini. Nyaris di tiap koleksinya, termasuk yang dibawanya ke Dubai beberapa waktu lalu, yaitu Juxtapose, Mel mengirim pesan terkait dengan kebinekaan dan persatuan.”Itu akan selalu jadi salah satu message yang aku bawa. Terutama kalau koleksi itu tentang Indonesia. Message itu akan selalu ada karena kita hidup di era yang memang selalu ada celah untuk memecah belah. Sebisa mungkin message itu selalu ada untuk bisa jadi merapatkan celah itu,” tutur Mel.Ciri khasSejak berkolaborasi dengan Iwan Tirta pada 2018, Mel perlahan jatuh cinta pada wastra Nusantara. Kemudian ia pun masuk struktur organisasi Dewan Kerajinan Nasional pada bidang Daya Saing. Dari situ, Mel makin mendalami tenun dan bertemu perajin. Hingga ia melihat permasalahan yang ada di lapangan.
Kehadiran episode Archipelago yang menjadi deretan koleksinya terkait wastra ini pun sejalan untuk membangkitkan gairan wastra dan mendukung kinerja perajin.
”Bicara regenerasi penenun dan pemotif, itu betul. Tapi pembelinya juga harus teregenerasi. Itu salah satu visi aku meregenerasi tenun supaya lebih muda. Anak-anak 'zaman now' suka yang vintage asal presentasinya enggak tua,” ungkap Mel.
Terlihat dalam besutannya pada koleksi Kawin Campur kali ini. Pertemuan tenun garut dengan sumba atau gadog tuban dengan garut memberi nuansa segar. Pemilihan dan kombinasi warna yang berani khas Mel pun memberi penekanan tersendiri. Menurut dia, motif dan warna itu yang pertama menjual. Karena itu, ia tak takut memadukan warna meski tetap dipertimbangkan dengan masak sinkronisasinya.
Upaya ini melanjutkan formula sebelumnya yang manjur menarik minat pencinta mode yang usianya berada di bawah 40 tahun. Mereka, lanjut Mel, sangat mengapresiasi kain hingga proses pembuatannya. Bahkan, bersedia meluangkan waktu untuk benar-benar memilih yang ditenun langsung, bukan print. Hal ini jelas dapat membangkitkan semangat para perajin dan proses regenerasi yang tengah berjalan ke penenun muda.
Untuk koleksi Kawin Campur ini, tenun yang digunakan Mel yang sudah tersedia. ”Kenapa 12 tenun karena dari bahan yang available saat itu. Bisa saja request bahan khusus. Tapi waktu pembuatannya bisa 2-3 bulan. Belum dihitung jika ada kendala proses dan pengiriman. Jadi, yang ini pakai bahan dari pengrajin yang sudah ada dulu,” ujarnya.
Meski berkutat dengan wastra, kekhasan lain dari Mel yang lekat dengan tekstur, volume, dan kesan artsy tetap terjaga. Lengan gelembung pada luaran yang dibuatnya hingga bawahan dan atasan yang dibikin bertumpuk atau dengan kain polos bertekstur merupakan perwujudannya.
Tidak hanya pada Kawin campur, koleksi raya menyambut Idul Fitri yang baru saja ditampilkannya pada Jumat (22/4/2022) di Hotel Le Meridien, Jakarta, juga lagi mengangkat wastra. Bertajuk ”Kembali Kain”, Mel menggabungkan kain batik hingga kain lawas tiga negeri dengan baju kurung. Lagi, Mel menyuguhkan aliran warna dan gaya yang tidak baku.
Dari keseluruhan koleksi pun mampu menciptakan nuansa ”ganjil” sekaligus memikat. Mata kita terbiasa mencerna tampilan visual olahan kain-kain tradisional dalam atmosfer tradisional yang masih cukup kental. Namun, dalam garapan Mel, nuansa yang tercipta merupakan peleburan rasa etnis dan kosmopolitan sekaligus. Membumi sekaligus bermimpi. Impian untuk terus bersatu.