Pengalaman pribadi yang dilalui ampuh menjadi formula dalam mencipta karya. Sebab, rasa dari suatu perjalanan yang dilakoni dapat bertutur langsung hanya dari empunya.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Pengalaman pribadi yang dilalui ampuh menjadi formula dalam mencipta karya. Sebab, rasa dari suatu perjalanan yang dilakoni dapat bertutur langsung hanya dari empunya. Kombinasi dari kisah diri dan kondisi pandemi Covid-19 pun menjadi amunisi bagi deretan busana spesial yang dibesut kali ini.
Spesial. Kata itu tepat untuk menggambarkan peragaan busana bertajuk ”Resilience” yang diadakan secara virtual oleh desainer Monica Ivena, Minggu (6/3/2022). Setelah lama tak mengadakan peragaan busana karena pandemi yang masuk ke Indonesia pada 2020, Monica kembali dengan semangatnya sekaligus merayakan 11 tahun dirinya berkecimpung di bidang mode sebagai desainer.
”Sebenarnya Oktober 2021 tepatnya, tapi kan waktu itu sempat ada (pandemi Covid-19 varian) Delta. Sudah persiapan sebenarnya dan gambar sketsanya, tapi kemudian terhenti. Baru diwujudkan pada 2022 ini, yang terinspirasi pandemi, terutama dari para perempuan yang tetap bertahan dengan banyak tantangan di tengah pandemi,” ungkap Monica.
Tak bisa dimungkiri, semua lini kehidupan terdampak pandemi. Begitu pula dengan tiap individu. Namun, sebagai perempuan, Monica memiliki sudut pandang tersendiri mengacu pada pengalaman kesehariannya. ”Aku benar-benar kagum dengan semua perempuan. Dari yang aku kenal saja, they juggle their roles,” ujarnya.
Monica sendiri merasakan bagaimana harus tetap bekerja, mengurus rumah, dan menemani anak menjalani sekolah daring. Belum lagi pertemuan virtual tak kenal waktu dengan klien yang sebagian berasal dari negara dengan zona waktu yang berbeda. ”Rasanya 24 jam enggak cukup ya. Ha-ha-ha,” katanya.
Hal ini tak dialami Monica saja. Organisation for Economic Co-operation and Development menunjukkan, perempuan di berbagai belahan dunia mengalami hal serupa sepanjang pandemi. Beban domestik yang kerap dipikulkan sepihak pada perempuan adalah satu hal. Belakangan, perempuan juga harus memutar otak bagaimana bertahan hidup ketika pasangan kehilangan pekerjaan.
Belum lagi urusan anak yang juga seolah menjadi tanggung jawab perempuan saja, padahal tidak demikian semestinya. Ditambah lagi, sebagian perempuan masih juga harus menghadapi kekerasan dalam rumah tangga ketika pandemi. Kesehatan mental para perempuan pun menjadi dipertaruhkan. Upaya untuk bertahan, itu yang digarisbawahi Monica dengan mengusung tema ”Resilience” ini.
Penerang
Monica masih setia pada kekhasannya penuh payet dan manik-manik yang menyala. Ia menampilkan 25 busana yang terdiri dari 20 gaun adibusana dan 5 gaun pengantin dengan warna-warna netral, seperti putih, abu-abu, perak, emas, nude, dan hitam.
Gaun cantik yang bertebaran malam ini terdiri atas beragam siluet. Umumnya berpotongan panjang dengan berbagai macam detail. Seperti gaun berwarna emas yang terlihat loose dengan potongan tangan yang lebar berdetail lipit seperti membentuk sayap. Kemudian pada bagian atas sengaja diberi potongan rendah hingga bawah dada.
Ada juga gaun putih dengan belahan setinggi paha pada bagian kiri dengan detail drapery di bagian bawah gaun dan sebagian atasnya berbentuk seperti kipas yang melebar. Gaun pesta yang sleek dan elegan dengan potongan lurus tertutup juga hadir dalam koleksi kali ini. Detail payet dan gemerlap batu dan kristal yang disusun menjuntai di sekujur gaun mengeluarkan kesan mewah.
Tak ketinggalan, ballgown yang anggun bak putri negeri dongeng juga disuguhkan Monica. Dari yang atasannya hanya berupa bustier hingga bentuk halterneck berbahan tulle dan crinoline yang menerawang, tetapi tetap penuh dengan hujanan payet dan manik-manik yang menjadi pemanis dan mengeluarkan sinar ketangguhan.
Akan tetapi, di tengah lalu lalang gaun anggun nan elegan, muncul kemudian gaun hitam dengan potongan mini dengan siluet bagian bawah yang melebar dengan taburan kristal yang mencuri perhatian. ”Nah itu dia. Notice ya. Itu dimaksudkan chandelier (tempat lilin) dan sengaja dipilihnya warna hitam dengan detail yang menyala itu. Illuminate during dark times,” ungkap Monica.
Menurut desainer yang karyanya pernah dikenakan penyanyi Taylor Swift, semua itu makna sesungguhnya dari tema ”Resilience” yang dibawanya kali ini. Kiasan dari tempat lilin pun memiliki makna bahwa di tengah kegelapan yang ada karena pandemi ini tetap ada pijar yang menerangi. Salah satunya berasal dari para perempuan tangguh yang tetap mendedikasikan menjadi penerang bagi diri dan sekitarnya.
Pakem
Sementara itu, untuk gaun pengantin yang dihadirkan, Monica tak mengubah pakemnya. Meski ia menyampaikan jenama yang diusungnya kali ini telah melakukan re-branding. ”Lebih ke karakter ya. Aku, kan, mulai itu masih umur 18 tahun. Desainnya pun lebih teen, youth. Sekarang sejalan dengan mymaturity aja,” ungkapnya.
Kendati demikian, pakem dan khasnya berupa payet dan manik kristal yang menjadi cirinya tetap melekat. Itu pula yang dihadirkan pada lima gaun pengantin pada malam itu. Taburan manik kristal menyulap siluet gaun menjadi bercahaya. ”Semua signature beadings untuk karya ini dibuat dengan tangan dan cukup lama pengerjaannya ada yang tiga bulan sampai enam bulan untuk total seluruh baju juga,” ujarnya.
Pakem gaun pengantin Monica ini memang memiliki daya tarik tersendiri yang mendatangkan banyak klien dari dalam dan luar negeri. Bahkan ia mengaku heran, pesanan gaun pengantin dengan payet dan manik kristal tetap dilakukan para kliennya di tengah pandemi ini. ”Ya menikah itu, kan, sekali seumur hidup, jadi walau acaranya intim, pengantin tetap pengin sesuatu yang memorable,” kata Monica.
Untuk itu, pada koleksi ini, ia pun tak ragu dan tak perlu mengubah pakemnya. Demikian pula bagi para perempuan di luar sana, tetap menjadi suar di tengah kegelapan. Kalian tangguh!