Yockie Belum Berlalu
Kepergian Yockie Suryoprayogo pada usia 63 tahun, Senin (5/2), mengingatkan kita pada semacam gerakan pembaruan dalam musik pop Indonesia di paruh kedua 1970-an. Yockie menjadi bagian penting dari upaya perubahan tersebut.
Musik pop Indonesia pada paruh kedua era 1970-an tidaklah sepi. Koes Plus masih melemparkan satu-dua hitnya, demikian pula Bimbo, D’Lloyds, dan Rollies. Suara penyanyi Eddy Silitonga, Diana Nasution, dan Grace Simon sering terdengar di radio. Biduan era 1960-an punya lagu kondang, seperti Bob Tutupoly dengan ”Widuri”, Deddy Damhudi lewat ”Gubahanku”, dan Krisbiantoro memopulerkan ”Mungkinkah”.
Di tengah meriahnya lagu pop saat itu, satu segmen penikmat musik ingin mendapat suguhan yang berbeda. ”Lagu-lagu yang bisa diputar di rumah gedongan, lagu-lagu yang disukai anak-anak Menteng,” kata Eros Djarot yang menjadi bagian dari upaya pencarian rasa baru dalam musik pop saat itu.
Radio Prambors Jakarta, yang boleh dibilang mewakili segmen ”gedongan” itu, membutuhkan lagu-lagu baru, seperti yang dimaksud Eros. Lagu-lagu yang sesuai standar radio yang mengklaim diri sebagai tempat anak muda mangkal itu. ”Lagu yang sesuai dengan standar musik Barat,” kata Imran Amir, Music Director Radio Prambors, zaman itu.
Standar seperti apa itu, ada baiknya kita tengok kaset album kompilasi Prambors Hits terbitan Prambors dan Perina, 1975. Dalam album itu termuat lagu ”Soldier of Fortune” dari band hard rock Deep Purple, ”The Journey” dari dedengkot rock progresif Rick Wakeman, ”Our Father” (Unit Gloria), ”I Shot The Sheriff” (Eric Clapton), dan ”Happy Man” (Chicago). Lagu-lagu tersebut kemudian menyebar luas lewat radio di berbagai kota di luar Jakarta.
Prambors berhasil berbagi selera, terutama kepada segmen remaja dan dewasa pada zamannya. Ketika radio itu menggelar Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) yang pertama pada 1977, dan seterusnya, lagu-lagu hasil lomba tersebut cepat berkenan di telinga kaum muda saat itu. Tersebutlah antara lain ”Lilin-lilin Kecil” ciptaan James F Sundah lewat vokal Chrisye dan ”Dalam Kelembutan Pagi” karya Baskoro yang dibawakan Dhenok Wahyudi dan Yockie Suryoprayogo. Menyusul kemudian LCLR 1978 yang menghasilkan lagu kondang, seperti ”Kidung” karya Chris Manusama yang dibawakan Pahama (Bram, Diana, Chris). Kemudian, ”Khayal” karya Christ & Tommy WS lewat suara Purnama Sultan.
Imran Amir jeli melihat kemampuan Yockie sebagai penggarap aransemen yang dapat mewujudkan selera Prambors. Penggarapan Yockie, menurut Imran, bisa disejajarkan dengan lagu Barat yang populer. Ia memberi contoh proses penggarapan lagu dalam LCLR. Penulis lagu mengirim materi lagu seperlunya. ”Yockie bisa bikin musik dan ngedandanin lagu menjadi lebih bagus,” kata Imran.
Album tonggak
Album LCLR menjadi bagian dari album penanda hadirnya tawaran baru di jagat lagu pop Indonesia. Ia melengkapi album lain yang menjadi tonggak pembaruan itu. Tersebutlah ”Badai Pasti Berlalu”, ”Jurang Pemisah”, ”Sabda Alam”, dan album God Bless dari band rock God Bless. Di belakang album-album tersebut, ada peran Yockie Suryoprayogo sebagai penggarap aransemen dan pemain kibor.
Badai Pasti Berlalu menjadi album monumental di ranah musik pop Indonesia. Di sana ada Eros Djarot sebagai penulis lagu, Chrisye dan Berlian Hutauruk sebagai penyanyi, Yockie Suryoprayogo sebagai penggarap aransemen dan pemain kibor, serta Debby Nasution yang menulis lima lagu dari seluruhnya 13 lagu di album tersebut. Chrisye menyumbang satu lagu ”Merepih Alam” dan selebihnya lagu ditulis Eros. Yockie menggarap sebagian besar aransemen lagu. Sejumlah lagu, termasuk ”Angin Malam”, aransemennya digarap Debby dengan intro piano yang mengingatkan pada gaya progresif rock itu.
Debby yang juga pemain kibor menyebut Yockie sebagai pemain kibor sejati. Kibor yang paling sederhana pun, kata Debby, di tangan Yockie bisa ”berbunyi” lebih indah. ”Dia pegang kibor merek apa saja jadi enak. Untuk bikin sentuhan musik menjadi enak, saya belum pernah lihat orang seperti Yockie. Dia tahu, kalau lagu begini, sound harus seperti apa,” kata Debby yang juga menggarap album LCLR.
Debby mencatat, Yockie berorientesi kepada empu-empu kibor, seperti Keith Emerson dari ELP, Tony Bank dari Genesis, dan Patrick Moraz yang pernah mendukung Yes. Pengaruh-pengaruh yang diserap Yockie menjadi gaya personalnya. Sentuhan tangan Yockie kemudian menyusup ke setiap kelompok musik tempat dirinya terlibat dan pada setiap album yang aransemennya ia garap.
Yockie sempat bergabung dengan Giant Step formasi awal pada 1974 yang terdiri dari Benny Soebardja sebagai vokalis dan gitaris, Deddy Stanza (bas), dan Sammy Zakaria (drum). Mereka memainkan lagu-lagu dari Genesis sampai King Crimson. Yockie kemudian bergabung dengan God Bless. Ia menggarap album Kantata Takwa (1990) yang juga didukung Iwan Fals, Sawung Jabo, Rendra, dan Setiawan Djodi. Juga Swami bersama Iwan Fals, Jabo, Naniel, dan Totok Tewel, serta album Bahtera Asmara dari Andi Meriem Matalata.
Musisi yang pernah bekerja sama dengan Yockie mencatat bahwa ia adalah seniman yang kukuh dalam mempertahankan konsep penggarapan aransemen. Eros Djarot mengapresiasi sikap Yockie tersebut. ”Dia itu seniman. Kalau tidak punya interpretasi, itu namanya bukan seniman. Alter ego itu dunia seniman,” kata Eros.
Ego Yockie itu tidak gampang diterima oleh sementara pelaku musik industri. Di satu sisi, ia harus jujur dalam berkarya. Di sisi lain, ada tuntutan hidup yang perlu dikompromikan juga. ”Saya masih dianggap egois dan cuma mau mementingkan ekspresi seniman. Bagaimanapun pasar tidak mewakili ekspresi seniman. Pada awalnya memang iya, tetapi setelah Badai Pasti Berlalu, Sabda Alam, dan selanjutnya saya mulai terpojok. Hati nurani saya terpojok, tetapi perut saya tidak sanggup, ha-ha-ha...,” kata Yockie.
Ego, sikap jelas, sentuhan personal itulah yang menjadikan musik Yockie dihargai dan dikenang—meski Yockie telah berlalu.