logo Kompas.id
Akhir PekanToya Bungkah, Cita-cita yang...
Iklan

Toya Bungkah, Cita-cita yang Terabaikan

Oleh
Riki Dhamparan Putra
· 5 menit baca

Tahun 1938, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) mengunjungi Kintamani untuk pertama kali, ditemani sastrawan Panji Tisna. Rupanya mereka mengunjungi Toya Bungkah (kadang ditulis Toyabungkah), yang ketika itu masih perladangan dengan topografi tanah yang landai di kaki gugusan perbukitan Kintamani. Posisinya berhadap-hadapan dengan Desa Trunyan yang mempunyai tradisi ”merawat mayat” berusia 10 abad di seberang Danau Batur.

Di bawah suhu pegunungan yang sejuk, Toya Bungkah yang punya banyak sumber air panas alami tampak istimewa karena seakan-akan menjadi simbol perpaduan dua kutub energi: panas dan dingin. Sementara keberadaan budaya Bali Aga (budaya pegunungan atau budaya Bali mula) di seberang danaunya yang tenang menghadirkan suatu panorama waktu yang ideal bagi seorang perenung. Tradisi-tradisi Bali Aga yang masih bertahan di Trunyan itu, yang signifikan berbeda dengan tradisi besar di bagian selatan, seakan menampilkan sisi waktu yang lain di Pulau Bali, yakni ”waktu statis”, sebagai padanan dari waktu Bali yang dinamis.

Bagi seorang sastrawan, filsuf, dan futurolog seperti STA, lanskap yang seperti itu pasti sangat menarik. Terbukti, tiga puluh dua tahun kemudian, ia kembali mengunjungi Toya Bungkah, membeli sehamparan tanah di lerengnya dan kemudian mendirikan Balai Seni Toya Bungkah pada 1973.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000