Info buku Baru
Kritik Seni Rupa Bambang Bujono
Bambu mulai menulis esai singkat mengenai kritik seni ketika masih berusia dua puluhan, yang dipublikasikan koran Sinar Harapan pada 1968. Tulisan itu menarik perhatian Sapardi Djoko Damono. Sapardi lalu bertandang ke rumah Bambu hanya untuk mengabarkan bahwa tulisannya dimuat dan memberi pujian. Perhatian dan komentar Sapardi membuat Bambu muda semakin keranjingan menulis. Seiring waktu, kreativitas Bambu dalam menulis terus berkembang. Tidak hanya berteori, tetapi menunjukkan apa itu yang disebut dengan kritik seni sesungguhnya.
Dedikasi panjang pemikiran Bambu ini disusun dan dikumpulkan dalam buku Melampaui Citra dan Ingatan (Yayasan Jakarta Biennale, 2017). Buku kompilasi 101 tulisan pilihan ini tak hanya mencermati karya, pameran, dan seniman selama lebih dari empat dekade, tetapi juga mengajak melihat kembali medan seni rupa, mengenali kembali sejumlah sosok dalam sejarah seni rupa. Akhirnya, Bambu mengajak kita untuk melihat persoalan koleksi seni rupa yang belum tuntas dan semakin runyam akibat pemalsuan lukisan. Bambu peka menangkap inti persoalan. Kritik seninya estetik. Melampaui citra dan ingatan kita yang terbatas. (LITBANG KOMPAS/IGP)
Melacak Jejak Seni Lukis Mooi Indie
Sejarah seni rupa Indonesia sebetulnya dapat dilacak sejak zaman dulu kala, yaitu mulai masa prasejarah, Seni Hindu-Buddha, Seni Islam Indonesia, hingga masa kolonial. Pada masa kolonial Belanda, dunia seni rupa Indonesia seakan-akan gelap dan langsung menarasikan Raden Saleh sebagai pelopor seni modern Indonesia.
Raden Saleh, disebut dalam buku Mooi Indie: Konsep, Tokoh, dan Karya (Museum Basoeki Abdullah dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, 2017), adalah salah satu pelukis bumiputera hasil didikan para pelukis Eropa di Batavia. Melalui lukisan Raden Saleh, gambaran Hindia Belanda yang elok dikenal masyarakat Eropa. Genre lukisan Mooi Indie menampilkan lukisan-lukisan yang senantiasa menggambarkan keindahan pemandangan tanah air Hindia Belanda waktu itu.
Sepeninggal Raden Saleh (1880), muncul sejumlah pelukis Indonesia dengan gaya naturalisme yang kemudian dianggap sebagai pelopor mazhab Mooi Indie atau mazhab ”Hindia Molek” atau ”Hindia Jelita”. Mereka adalah Mas Pingardie, Abdullah Soerjosoebroto, Wakidi, dan Basoeki Abdullah. Bagi mereka, lukisan adalah media perjuangan. Mereka menggelorakan rasa cinta Tanah Air lewat lukisan keindahan pemandangan alam Indonesia.
Fokus buku ini mengkaji periode seni lukis Indonesia prakemerdekaan, khususnya aliran seni Mooi Indie, dan berupaya menelisik apakah anggapan itu benar apabila didasarkan pada peran Basoeki Abdullah. Lalu, adakah keterkaitan antara periode Mooi Indie dan pergerakan nasional Indonesia di awal abad ke-20 hingga tahun 1930-an. (DRA/Litbang Kompas)