Seorang wartawan senior, Santosa Santiana, pamit dari koran tempatnya bekerja. Dia pensiun dengan setengah galau. Jurnalisme yang ditekuni lebih dari separuh hidupnya kini bersijingkat menjadi kriya yang dangkal. Kedalaman kurang dihargai. Sepotong berita atau artikel pendek, mungkin juga dibuat tanpa usaha keras, seperti halnya pakem jurnalisme tradisional, justru sukses jadi viral di dunia maya.
Di tengah maraknya media digital dan lesunya bisnis media cetak, Santosa melawan arus. Dia hendak mendirikan koran baru dengan semangat jurnalisme lama. Sebuah antidot bagi jurnalisme digital zaman now yang terjangkit amnesia: lupa tujuan sejatinya. ”Informasi telah tumpah bagai air bah. Tugas utama jurnalisme adalah mencari kebenaran, truth,” ujar Santosa, tokoh utama novel terbaru Bre Redana, Koran Kami with Lucy in the Sky.
Santosa adalah suara Bre. Bagi pembaca, terutama yang akrab dengan karya wartawan budaya Kompas itu, Bre adalah Santosa. Dibuat sebagai fiksi, dengan karakter rekaan yang tampak bersandar pada kisah sebenarnya, Koran Kami terasa sebagai esai berjubah novel. Sedemikian tebalnya jubah itu sehingga esai larut dalam alur cerita, agak nakal, dan melibas ke sana kemari.
Bre ingin memberi sesuatu kepada harian Kompas di hari dia pensiun, November tahun lalu. Setelah bekerja lebih dari tiga dekade, Bre merasa koran itu telah memberi banyak kepada dirinya. Dia lalu menulis novel sebagai tanda mata. Jadilah sebuah refleksi tentang jurnalistik berikut bagasi pengalaman sebagai saksi atas peristiwa politik dan budaya penting di republik.
Media digital digugat
Koran Kami, judul novel ini, diambil dari nama koran yang digagas Santosa. Dia mengumpulkan teman lama, dan bergairah saat bertemu Lucy, gadis muda milenial yang cantik, segar dan wangi, tetapi menolak tunduk pada jurnalisme yang dangkal. Selebihnya, di tengah plot perjumpaan itu, dan bumbu cerita tentang kehendak yang tertahan, kita membaca Bre menggugat keras perilaku media digital.
Dia menolak cara kerja jurnalisme yang melayang di atas fakta, tanpa menginjakkan kaki pada realitas peristiwa. Pada era koran berjaya, wartawan perlu hadir di tempat kejadian, cek dan ricek sebelum menulis dan tulisannya dicetak. Pada masa teknologi digital, kejadian yang baru sebatas terdengar dapat instan disebarluaskan. ”Kalau yang pertama pikir dulu baru disebarkan, yang belakangan sebarkan dulu pikir belakangan. Ada sistem neurologi yang berbeda,” ujar si tokoh Santosa.
Kritik Bre sangat beralasan. Indonesia telah memasuki era digital dengan berbagai perangainya. Lebih dari tiga perempat pemakai internet, yang tembus 132 juta pada 2017, aktif di media sosial. Betapa bisingnya jika mereka adalah komentator dan pelapor peristiwa. Konsumen sekaligus produsen informasi. Sebagian besar berguna bagi sesama, tetapi ada juga yang membawa petaka. Keriuhan pada Pemilu Presiden 2014 nyaris membuat Indonesia menjadi bangsa terbelah di jagat maya, hingga terbawa-bawa di dunia nyata. Berita palsu lalu menyebar dan menjadi semacam industri baru, seturut makin komersialnya politik elektoral.
Berita palsu memang bukan khas Indonesia, ia telah menjadi fenomena global. Bahayanya baru dirasakan sekarang manakala sejumlah keputusan politik irasional terjadi. Amerika diguncang oleh terpilihnya Trump dan Eropa oleh Brexit. Berita palsu adalah dampak lain dari matinya disiplin verifikasi terhadap fakta. Mungkin inilah ekor dari empasan zaman virtual. Jean Baudrillard, filsuf Perancis itu, hampir dua dekade lalu menyebutnya sebagai ”The Murder of the Real”, pembunuhan atas Yang-Nyata dari zaman pascamodern.
Dalam buku The Vital Illusion (2000), Baudrillard berujar, bahkan ide, mimpi, fantasi, utopia akan terhapus karena semua itu akan ”diwujudkan dan dilaksanakan secara virtual”. Dua dekade lalu, apa yang dikatakan Baudrillard masih sulit dijangkau masyarakat dunia berkembang. Akan tetapi, teknologi komunikasi digital telah melakukan lompatan luar biasa. Apa yang disampaikannya kini tersaksikan dalam kehidupan sehari-hari.
Virtualisasi bahkan mampu merusak akar yang dipegang jurnalisme: fakta, yang kini bisa dipermak menjadi factoid. Alias fakta yang aspal, asli tapi palsu. Sebuah program penyuntingan video Face2Face yang dikembangkan Universitas Stanford, misalnya, mampu membuat pihak kedua memanipulasi video seseorang, dengan gambar ”asli” dan suara identik. Demikianlah, misalnya, kini siapa pun bisa membuat video aspal Donald Trump menyerukan serangan nuklir ke Korea Utara. Video jenis ini bukan hanya mengecoh publik, melainkan juga media arus utama yang kurang hati-hati.
Memahami peristiwa
Kecepatan sebagai berhala baru media adalah penyumbang besar atas sikap kurang hati-hati. Akurasi informasi menjadi lemah. Pada titik ini, Bre juga melontarkan kritik atas kebudayaan ”main cepat”. ”Perbedaan proses produksi informasi dengan sendirinya menghasilkan manusia berbeda. Manusia berpikir peninggalan peradaban buku diganti manusia berilusi; manusia lambat dan kurang praktis diganti manusia supercepat yang praktis dan efisien. Ingatan jadi kian pendek,” ujar Santosa (hlm 152).
Kecepatan memang kerap jadi si terdakwa. Celakanya ini khas jurnalisme digital di Indonesia pada masa awal, dan kecenderungan itu masih menguat. Di belahan dunia lain perkembangan justru sebaliknya. The New York Times pada edisi digital November lalu menampilkan feature dengan format panjang tentang kehidupan kaum jompo di Jepang. Si wartawan menetap di sebuah permukiman jompo. Dia menemukan ketakutan para manula jika harus mati dalam kesendirian. Membusuk. Tanpa sanak keluarga. Si wartawan mampu menangkap detail menyentuh. Bagaimana para orang tua itu saling memperhatikan jendela tetangganya setiap pagi. Jika jendela itu tetap tertutup hingga tengah hari, berarti seseorang di dalam kamar itu telah mati.
Itu pula yang mungkin dimaksud Bre, jurnalis sekarang kurang terlibat dalam liputan mereka. Kurang pendalaman sehingga tipis pehamaman akan peristiwa. Kecemasan Bre ada benarnya. Sejumlah kasus media yang dilaporkan ke Dewan Pers dua tahun ini menunjukkan banyak kesalahpahaman wartawan akan materi yang mereka tulis. Lebih berat lagi, banyak pula yang mencampurkan fakta dan opini.
Dalam novel Koran Kami, Bre Redana tak menawarkan apa yang harus dilakukan jurnalis zaman sekarang. Di balik romantisisme kejayaan media cetak, Bre mengajak kita agar terus menghidupkan kesadaran kritis di zaman yang berubah cepat.