Catatan ini ingin melihat relasi antara negara dan kesenian. Dalam hal negara akan dilihat melalui ucapan, tindakan, dan kebijakan presiden sebagai representasi puncak, serta dalam hal kesenian akan dilihat melalui gejala dan praktik seni visual yang segera bisa dilihat jejak atau artefaknya.
Apa yang dimaksud dengan peran negara? Mengapa negara perlu mengurus kesenian? Peran negara adalah tanggung jawab negara melalui aparatusnya terkait dengan infrastruktur, anggaran, regulasi, dan fasilitasi. Kebutuhan (keharusan) memiliki institusi pendidikan (tinggi) seni yang memadai, museum seni yang layak, dan galeri nasional yang pantas adalah bagian dari peran dan tanggung jawab negara. Pendidikan seni berfungsi sebagai laboratorium, pengkajian, penciptaan, dan pengembangan seni. Dari sana semestinya lahir seniman, kritikus, sejarawan seni, konservator, peneliti/pengkaji, dan manajer seni. Sementara museum dan galeri nasional merupakan salah satu institusi tempat semua pengetahuan dan keterampilan seni dipraktikkan, sekaligus sebagai etalase bagi pencapaian peradaban bangsa melalui karya seni. Bahkan, salah satu ”suguhan utama” setiap tamu negara adalah diajak mengunjungi museum dan galeri nasional.
Kesenian akan saya sempitkan di sekitar seni rupa. Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (selanjutnya ditulis Presiden Jokowi), saya mencatat empat peristiwa seni (seni rupa) yang merepresentasikan kehadiran negara; dua peristiwa adalah pameran seni rupa koleksi Istana Negara (diselenggarakan di Galeri Nasional Indonesia tahun 2016 bertajuk ”17/71” dan tahun 2017 bertajuk ”Senandung Ibu Pertiwi”). Pameran ini diputuskan menjadi agenda tahunan oleh Istana, dengan menggunakan tempat Galeri Nasional Indonesia. Satu peristiwa adalah pameran seni rupa dalam rangka Europalia 2017 yang berlangsung di Eropa (Belgia dan sekitarnya), dengan menempatkan Indonesia sebagai tamu kehormatan. Satu peristiwa lainnya adalah bersamaan dengan upacara perayaan Kemerdekaan Ke-72 RI di Istana Negara, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bersama para menteri Kabinet Kerja (atas ide otentik Presiden Jokowi) mengenakan busana daerah masing-masing. Sebuah pemandangan yang penuh kejutan, mengharukan, membanggakan, sekaligus inspiratif.
Meski demikian, keempat peristiwa tersebut masih perlu dicatat dan direspons secara kritis. Pertama, pameran seni rupa koleksi Istana masih jauh dari harapan jika dikaitkan dengan peran negara. Pameran yang baru dua kali diselenggarakan itu, meski ditonton lebih dari 30.000 orang, sesungguhnya sangat lemah aspek kurasinya. Lemah karena karya-karya yang digubah pada latar sosial, politik, ekonomi, dan budaya pra dan pascakemerdekaan (1940-an dan 1960-an), yang memiliki narasi sejarah penting, hanya dipajang di ruang pameran Galeri Nasional. Karya-karya itu tidak dibaca sebagai pintu masuk untuk memaknai Indonesia, tetapi tak tersampaikan. Karya-karya koleksi (pilihan) Bung Karno (yang kemudian menjadi koleksi negara) itu penting, tetapi juga tak harus disikapi dengan seram atau wingit, dan penuh protokoler yang ketat.
Kedua, pameran seni rupa dalam agenda Europalia, sangat mungkin dirasa berhasil, terutama oleh mereka yang terlibat (kurator dan seniman yang dipilih). Negara juga hadir penuh, ditandai dengan anggaran yang besar (bahkan salah seorang perupa yang diundang, melalui media sosial, meluncurkan puja-puji kepada negara karena dirinya dan teman-temannya dimuliakan dengan fasilitas istimewa: uang saku, penerbangan, hotel, dan penjemputan serba nyaman). Akan tetapi, jika event mahal itu dikaitkan dengan bagaimana sebaiknya mekanisme untuk berpartisipasi di forum dunia secara terbuka, dengan isu-isu yang disokong bersama, peristiwa itu tidak memberikan pelajaran apa pun bagi kehidupan berkesenian, prinsip kompetisi, dan kontestasi.
Ketiga, gebrakan Presiden Jokowi untuk berbusana daerah pada peristiwa nasional terpenting–merayakan hari kemerdekaan–merupakan ”pernyataan” tegas, eksplisit, dan ”nyeni” terkait realitas Indonesia yang beragam. Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan dengan otentik oleh Presiden Jokowi, dan diikuti secara gembira oleh para aparatus di bawahnya. Sebuah perayaan yang menebarkan inspirasi positif, sekaligus upaya yang elegan untuk melawan klaim-klaim sepihak terhadap kebenaran, sektarian, primordialisme, apalagi yang menggunakan dalil-dalil agama.
Institusi pendidikan
Indonesia diperjuangkan, diproklamasikan, dan dibangun oleh para pendiri yang memiliki visi seni-budaya yang istimewa. Selera pribadi Bung Karno terhadap kesenian, khususnya seni rupa, memiliki andil besar dalam menandai sejarah peradaban bangsa ini. Koleksi seni rupa–berupa lukisan, patung, keramik–yang berada di Istana, merupakan ”fakta keras” untuk menunjukkan visinya. Aktivitas pameran koleksi yang diselenggarakan di Galnas seperti sudah disebut di atas, meski minus pemaknaan yang kritis, tetap disambut khalayak ramai, adalah contohnya.
Akan tetapi, pascakepemimpinan Presiden Soekarno, visi pembangunan seni-budaya itu tamat riwayatnya, dan baru kembali muncul di era kepemimpinan Presiden Jokowi, setelah melewati lima presiden, lebih dari 50 tahun kemudian. Empat contoh peristiwa seni tadi dapat digunakan sebagai titik pijak untuk membangun kebudayaan Indonesia dalam jalur yang baik. Karena melalui seni/karya seni, pembangunan karakter bangsa yang berujung pada pencapaian derajat keberadaban dapat dimulai.
Melalui karya seni, siapa pun bisa belajar berdemokrasi, yang berarti melatih diri bersikap dewasa untuk menerima keberagaman dan kebedaan. Kesenian–karya-karya seni–merupakan salah satu produk budaya yang menyimpan potensi luar biasa untuk mengajarkan demokrasi dan keadaban. Karya seni diciptakan bertumpu pada ide, alasan, dan berbagai macam tujuan, dengan hasilnya yang berbagai-bagai, dan memiliki multiragam watak serta makna. Karena itu, tidak pernah ada makna seni yang absolut, dan tak pantas pula merasa memiliki pendapat paling benar.
Memperhatikan peran kesenian/karya seni yang demikian itu, dapat dilihat (dan ditengarai) bahwa tanda-tanda sebuah negara itu ”maju dan beradab” adalah–salah satunya–ketika negara memperhatikan, mendukung, mewujudkan kesenian/karya seni secara serius. Tepat saatnya jika Presiden Jokowi melalui aparatusnya (Kemenristek dan Dikti, Kemendikbud, Kementerian Keuangan, Kementerian PUPR) untuk ”memberikan perhatian dan agenda aksi serius” untuk ”menyempurnakan” kondisi dan fasilitas institusi pendidikan seni (seperti Institut Seni Indonesia), Galeri Nasional Indonesia, dan berbagai museum di sejumlah kota di Indonesia. Itulah kelak salah satu warisan penting Presiden Jokowi, seperti halnya kita menyadari warisan penting Presiden Soekarno berupa karya-karya seni rupa yang menghiasi Istana Negara/Istana Presiden dengan luar biasa. Jika tidak segera mengambil langkah semacam itu, Indonesia sangat mungkin maju secara ekonomi, tetapi dangkal secara peradaban.
Yang saya maksud dengan ”perhatian dan agenda aksi serius” antara lain bertumpu pada fakta bahwa situasi dan kondisi institusi pendidikan kesenian di Indonesia hingga hari ini masih sangat jauh dari memadai. Sekadar sebagai contoh, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang menapak usia 34 tahun (pertama dan tertua di Indonesia: fusi dari tiga institusi, yakni STSRI ”ASRI” Yogyakarta, AMI, dan ASTI), dari aspek fasilitas–studio, ruang kuliah, perpustakaan, fasilitas pendukung lainnya–masih jauh dari memadai (meskipun alumninya, perupa-perupa modern dan kontemporer, sudah malang-melintang mewangikan jagat seni rupa Indonesia di panggung dunia). Bandingkan, misalnya, dengan kondisi pendidikan seni di negara Asia (Singapura, atau China): departemen seni rupa, desain, film, dan musik bagian dari Shanghai University, misalnya, memiliki studio, galeri, ruang workshop, ruang konser, ruang pemutaran film, perpustakaan, dengan fasilitas amat sangat memadai.
Contoh lain, hingga menapak usia 73 tahun merdeka, Indonesia baru memiliki Galeri Nasional Indonesia yang juga berfungsi sebagai museum yang diresmikan pada 1998. Secara struktural, Galeri Nasional adalah eselon tiga dengan posisi unit pelaksana teknis (UPT). Sebuah negara besar, dengan potensi sumber daya seni rupa yang luar biasa, tetapi galeri nasionalnya berstatus UPT, dengan kewenangan kecil, sering kali menanggung pekerjaan besar. Negeri sebesar Indonesia akan ideal jika memiliki galeri nasional dengan fasilitas, status, kewenangan (dan anggaran) yang memadai sesuai tugas pokok dan fungsinya.
Pembangunan infrastruktur oleh Presiden Jokowi berupa jalan tembus antarprovinsi, tol darat, tol laut, jalur kereta api, kereta listrik, bandar udara, dan halaman depan berupa perbatasan akan lebih lengkap dan lebih berdimensi kultural-manusiawi jika dilengkapi dengan pembangunan infrastruktur bidang seni-budaya. Dampak yang lebih mendasar lagi dari pembangunan infrastruktur seni-budaya adalah agar bangsa ini memiliki ruang memadai untuk mengenali dan belajar seni, dan kemudian menjadi bangsa yang sensitif terhadap seni, kemanusiaan, bela rasa, serta tebal kesadarannya sebagai makhluk yang hidup di tengah keberagaman. Mengenali seni untuk kemanusiaan dan peradaban.
Suwarno Wisetrotomo, Pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana ISI Yogyakarta