Takut
Mahatma Gandhi
Ungkapan di atas mengawali buku tulisan Michael Kinnamon (2017), ”The Witness of Religion in an Age of Fear”. Ia mengambil latar Amerika Serikat terkait wacana pro-kontra saat kampanye presiden terakhir yang ditandai dengan retorika berisi tudingan-tudingan dan mobilisasi kemarahan publik kepada kelompok ”Yang Lain”.
Ia tidak hanya membahas soal hate speech (ujaran kebencian) dan politisasi kebencian seperti sudah banyak diulas, tetapi juga mengajak berdiskusi lebih menukik ke dalam, soal psikologi rasa takut dan dampaknya. ”Kita pikir persoalannya adalah kebencian. Tetapi, masalah utamanya sebenarnya adalah rasa takut.”
Membaca tulisan Kinnamon, saya seperti berhadapan dengan cermin. Ternyata memang manusia, atau banyak dari kita, di mana-mana saja, dapat demikian dikuasai oleh rasa takut.
Takut mitis
Dalam konteks kita sekarang, pengejaran dan penghukuman kepada kelompok berbeda atau kepada orang yang dianggap melanggar norma—sering disebut persekusi—membuat kita merasa sangat takut dan terteror. Membaca bagaimana seorang gadis ditelanjangi dan diarak karena ia berduaan dengan laki-laki yang bukan suami sungguh membuat hati sedih, iba, dan ngeri.
Kita sangat takut pada kebencian dan potensi serangan dari pihak lain. Akan tetapi, mengapa kelompok lain dapat demikian benci dan menyerang membabi buta? Ternyata juga akibat rasa takut. Bagaimana mungkin mereka demikian takut kepada kelompok yang direndahkan, dihina, dibenci, dan diserangnya?
Saya membaca posting-an di Facebook, ada seseorang yang sangat marah kepada kelompok yang sekarang ramai disebut LGBT. Lebih kurang pesannya: ”Kalian bilang tidak merugikan siapa-siapa? Itu jelas-jelas sudah digolongkan sebagai perilaku paling keji. Memangnya nanti di akhirat yang dihukum cuma kalian goblok? Itu kena ke kita semua, azabnya ke kita semua. Maka kalian tidak dapat dibiarkan.”
Saya jadi ingat tulisan Van Peursen (1974) mengenai ”manusia mitis”. Manusia mitis yakin kekuatannya terbatas, ada kekuatan-kekuatan lain yang tak terlihat, gaib, lebih menguasai, digdaya. Meyakini kekuatan yang (jauh) lebih besar, manusia menjadi merasa takut. Takut dinilai salah, takut berbuat dosa, takut dihukum, takut dikenai pembalasan. Apalagi jika membayangkan kematian, atau lebih tepatnya kehidupan setelah kematian, yang dapat memunculkan ketakutan luar biasa besar.
Pemikiran yang tidak logis, jika demikian diyakini, akhirnya menjadi logis. Lebih lagi, diri tidak sepenuhnya dilihat terpisah dari kekuatan mahabesar itu, tetapi harus ”ambil bagian” atau aktif melakukan sesuatu agar kekuatan itu melindungi dan menyelamatkan dari hukuman.
Apabila yang diajarkan kepada kita adalah rasa takut, dosa, dan azab api neraka, apa yang boleh dan tidak boleh dalam aturan-aturan hitam-putih, kita akan dicekam oleh ketakutan itu. Tambahan lagi, manusia lebih sulit melihat ke dalam dan berefleksi. Yang lebih mudah dilihatnya adalah yang di luar.
Jauh lebih mudah bagi kita untuk mencari rasa aman dengan menemukan kesalahan yang dilakukan orang lain. Maka, yang dicekam ketakutan mungkin mencari yang dianggapnya sebagai sumber dosa di luar dirinya. Ia kemudian dapat melakukan apa saja hingga yang paling brutal sekalipun seperti menganiaya dan membunuh untuk mengurangi rasa takutnya.
From fear to wisdom
Rasa takut tidak selalu buruk. Perannya sangat signifikan sebagai pemberi tanda bahaya. Misalnya, sebelum keluar rumah, kita memastikan kabel listrik sudah dilepas, keran air dan kompor sudah dimatikan. Sebelum menyeberang, kita menengok kanan dan kiri. Atau ketika berhadapan dengan orang yang sangat agresif, kita menghindar saja daripada terluka. Rasa takut yang wajar akan melindungi kita.
Menghayati diri sebagai makhluk dengan kekuatan terbatas dan meyakini kekuatan Yang Maha juga dapat sangat baik. Dalam kenyataannya, hingga era digital saat ini, sebagian besar kita tetap manusia mitis juga, yang yakin pada kekuatan Yang Maha. Kita pun melakukan sesuatu untuk ambil bagian agar Yang Mahabesar berkenan memberikan kebaikan.
Misalnya, kita berdoa, dan keberserahan kepada-Nya menjadi lebih utuh saat kita atau orang yang disayangi sedang sakit, atau ketika kita menghadapi ujian dalam hidup. Doa itu bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk orang lain, bahkan bangsa.
Minggu lalu, menjelang maghrib, saya pulang dari Kampus UI, Depok, menumpang taksi online. Ternyata jalanan amat macet. Sang sopir bilang, ”Maaf, Bu, bolehkah saya berhenti sebentar di pom bensin, mau shalat Maghrib dulu. Batin saya belum tenang (bila belum shalat).” Dengan senang hati saya duduk dalam mobil, mempersilakan dan menunggunya shalat.
Dalam tiga jam kemacetan, kami lalu ngobrol mengenai banyak hal. Ia bercerita mengenai bagaimana perilaku menilai dan menghukum orang lain itu mungkin muncul justru pada yang pemahamannya terbatas. Yang dicekoki benar-salah secara permukaan sehingga yang lebih diingat adalah ketakutan, bukan ajaran agama mengenai kepedulian dan berbuat baik.
Sungguh, yang dicekam ketakutan dapat berbuat beringas, yang akan memunculkan ketakutan baru, demikian seterusnya. Demikian pulalah kebencian demi kebencian dapat dimantapkan. Jangan sampai ketakutan kita dimanfaatkan para politisi untuk memecah belah dan saling membenci.
Apabila kita mengerti bahwa di balik kebencian dan kekerasan ada ketakutan, barangkali kita dapat sampai pada terobosan-terobosan baru demi menghadirkan kehidupan yang lebih damai? Demikianlah judul sebuah buku: To Conquer Fear is the Beginning of Wisdom. Ketika kita sudah tidak lagi dikuasai ketakutan, barulah kita dapat menghadirkan kebajikan.