Psikologi Positif
Pertanyaan itu diajukan oleh petinggi University of Pennsylvania, tempat Martin Seligman menjadi profesor psikologi. Seligman (2010) menjelaskan bahwa psikologi umumnya lebih banyak menekuni ”hal-hal yang tidak berjalan baik dalam hidup”. Misalnya, meneliti dan menangani persoalan bunuh diri, depresi, skizofrenia, atau persoalan rumah tangga.
Belajar optimis
Ia sendiri memulai dengan studi mengenai learned helplessness, atau ”ketidakberdayaan yang dipelajari”. Penelitiannya menemukan bahwa manusia yang berulang mengalami peristiwa-peristiwa buruk yang tidak dapat dikendalikannya akan cenderung menjadi pasif. Mereka tidak aktif mencoba mengubah hidupnya.
Meski demikian, selama bertahun-tahun berkutat dalam penelitiannya, ia juga menemukan suatu keteraturan lain. Bahwa sepertiga dari orang-orang yang ditelitinya, mereka yang mengalami juga peristiwa buruk yang tak dapat dihindari, tetap menunjukkan daya juang. Mengapa?
Orang dapat sama-sama mengalami berbagai peristiwa tragis, tetapi memandang masalahnya secara berbeda. Yang satu berpikir: ”Ini akan berlangsung seterusnya, saya tidak dapat melakukan apa pun untuk mengubahnya.” Mereka adalah yang akan mudah jatuh dalam ketidakberdayaan.
Ada pula yang, meski sudah dijejali dengan berbagai peristiwa buruk, tidak kemudian jatuh tak berdaya. Mereka terbiasa berpikir ”Ini cuma sementara, ini hanya suatu situasi, ada yang dapat saya lakukan untuk mengatasinya.” Seligman menyebut pembiasaan berpikir seperti ini sebagai learned optimism, optimisme yang dipelajari.
Ia memutuskan untuk lebih banyak mempelajari hal-hal positif dalam hidup. Menurut dia ”menyembuhkan sakit” itu baik, tetapi memastikan bahwa orang dapat hidup dan bertumbuh secara penuh juga penting. Kita perlu membangun intervensi untuk membangun keberdayaan, bukan hanya intervensi untuk mengurangi berbagai persoalan hidup.
Belajar dari penelitiannya mengenai pesimisme dan optimisme, ia mencoba menjawab pertanyaan dari petinggi universitasnya dengan melakukan penelitian. Mahasiswa diminta mengisi tes optimisme-pesimisme, dan timnya kemudian mengikuti perjalanan prestasi mereka.
Yang ditemukannya adalah: ada yang berprestasi baik karena potensi intelektualnya memang tinggi. Ada yang berdasarkan potensinya harusnya berprestasi baik, tetapi ternyata berprestasi lebih buruk (ternyata kelompok pesimis). Dan, ada pula yang potensinya biasa-biasa saja, tetapi menunjukkan prestasi lebih baik (ternyata adalah kelompok optimis).
Berlatih berespons positif
Seligman mengakui bahwa pada dasarnya ia adalah seorang yang pesimistis dan depresif. Jadi, sebelum mencoba melakukan intervensi pada orang lain, ia mencobai sendiri terlebih dulu.
Contohnya, dalam diskusi di kelas seorang mahasiswa usul, barangkali mengunjungi orang lain yang membutuhkan (sebagai bentuk rasa syukur atas hidup kita sendiri), akan dapat meningkatkan emosi positif. Ia kemudian mencoba melakukannya. Bila itu memberi dampak positif, ia akan meminta istri dan anak-anaknya untuk mencoba. Baru kemudian ia melaksanakan penelitiannya. Setelah penelitiannya menunjukkan hasil positif, ia menerapkannya pada kliennya.
Satu latihan yang dapat ditemukan dalam situsnya, www.authentichappiness.org, adalah ”tiga hal baik” (three good things). Instruksinya, ”Setiap malam selama seminggu ini, sebelum Anda tidur, tuliskanlah tiga hal yang berlangsung baik pada hari itu, dan uraikan mengapa.” Penelitiannya menunjukkan, bila orang melakukannya, enam bulan berikutnya ketika dicek, mereka berkurang depresinya dan menunjukkan emosi-emosi positif lebih besar daripada kelompok lain.
Ketika kita menuliskan hal-hal yang berlangsung baik sebelum tidur, ternyata kita dapat tidur dengan lebih nyenyak, tidak dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu, misalnya, pertengkaran dengan pasangan. Meski hanya diminta melakukan seminggu, orang kemudian akan memantapkan kebiasaan untuk berpikir positif.
Dalam konteks perkawinan, misalnya, suami-istri biasa bertengkar mengenai hal yang sama berulang-ulang, Seligman dan timnya, mulai meneliti, apa yang akan terjadi bila pasangan mengubahnya menjadi, apa yang dapat ”dirayakan” bersama.
Bayangkan, misalnya, pasangan kita naik jabatan. Kita dapat bersikap destruktif, misalnya, dengan berespons: ”Kamu naik gaji? Itu, kan, cuma bikin kamu makin sibuk dan harus bayar pajak lebih banyak!” Dapat juga bersikap pasif saja: ”Selamat, ya.” Yang akan meningkatkan emosi positif dari diri dan pasangan adalah respons yang aktif-konstruktif: ”Wah kamu dipromosikan, ya? Ceritakan dong, alasannya apa kata bos kamu? Perasaan kamu sendiri gimana? Aku senang melihat kamu maju di pekerjaanmu.”
Kita dapat melatih berespons aktif-konstruktif, dan hal itulah yang akan meningkatkan kepuasan hidup bersama. Latihan lain adalah mencoba mengaitkan hal-hal yang tidak kita sukai dengan nilai-nilai hidup kita yang tertinggi. Tugasnya adalah sebagai berikut: ”Pikirkan hal yang tidak kamu sukai dari tugas di sekolah atau pekerjaan. Pikirkan cara lain untuk melakukannya, dengan mengaitkannya dengan keutamaan yang kamu anggap penting dalam hidup.”
Ia bercerita mengenai seorang perempuan yang bekerja sebagai pelayan restoran. Perempuan ini tidak menyukai pekerjaannya, harus mengangkat nampan berat berisi makanan, apalagi dengan banyak pelanggan yang cerewet. Dari pengisian kuesioner ditemukan bahwa perempuan ini mengutamakan inteligensia sosial sebagai hal penting dalam hidup.
Menanggapi tugas dari Seligman, ia kemudian bertekad untuk menjadikan pertemuannya dengan para pelanggan sebagai suatu ”momen istimewa” bagi pelanggan. Ia susah payah mencoba dan ada saat-saat nyaris menyerah. Namun, ia mencoba terus, dan akhirnya, ia dapat menjalankan pekerjaannya dengan mudah. Nampan jadi terasa lebih ringan, dan dengan keramahannya, ia dapat mengumpulkan tip jauh lebih banyak.
Melatih berpikir dan bertindak positif juga dapat dilaksanakan dalam konteks organisasi. Seligman dan tim melakukan intervensi pada siswa, guru, dan di kelompok tentara. Kelompok yang memperoleh intervensi menunjukkan penghayatan positif lebih tinggi daripada kelompok yang tidak diintervensi, untuk jangka panjang.
Kata Seligman, bahkan melatih berpikir dan bertindak positif juga dapat dilakukan dalam konteks bangsa. Selamat menutup tahun 2017, semoga tahun mendatang menjadi tahun yang lebih baik bagi kita semua.