Percakapan Bijak untuk Menggali ”Diri” Otentik
Semakin penting dan tinggi kebutuhan untuk menyertakan ketekunan dan kesabaran dalam relasi kita dengan, katakanlah, calon pasangan perkawinan kita atau keluarga dekat kita, kita akan semakin memiliki kecenderungan menyempitkan topik pembicaraan kita pada hal yang menyangkut penghayatan tentang ”diri” sendiri dan ”diri” orang yang kita ajak bercakap-cakap.
Tujuan utama saya menuliskan topik ini adalah untuk memberikan tantangan bagi kita semua agar saat menciptakan cara baru dalam percakapan, kita akan lebih memberdayakan pandangan tentang siapa diri kita dan kemungkinan-kemungkinan tepat untuk tujuan proses pengembangan ”diri” kita juga.
Kita tidak menggali suara hati otentik seperti halnya anjing yang menggali tanah bercampur kotoran untuk akhirnya menemukan tulang yang sangat berharga bagi anjing tersebut. Seperti halnya kita tidak hanya memunculkan suara hati otentik melalui percakapan, namun kita juga dapat memperoleh kesempatan mendalami diri kita sendiri dan memperluas pemahamannya.
Paradoks otentisitas
Aspek paradoks dari pemahaman otentisitas terletak pada ungkapan sebagai berikut: ”Bahwa berbicara mengenai isi pikiran dan perasaan merupakan hak asasi manusia”. Kemampuan dalam mengungkap kebenaran akan membentuk inti dari keintiman dan kehormatan diri.
Jika kita tidak dapat mengungkapkan diri otentik kita, spiral relasi yang terjalin dengan orang lain akan menurun kualitasnya sehingga secara otomatis menurunkan kadar integritas dan kehormatan diri kita sendiri. Namun, dalam kenyataannya sering kita terhambat dalam mengungkap diri yang sebenarnya. Ada saja sesuatu yang kita rasakan perlu disembunyikan dari orang lain yang membuat diri kita justru terhambat dalam ungkapan otentik yang sejujurnya. Tuntutan lingkungan yang terungkap dalam ”jadilah diri sendiri” ternyata sulit dilaksanakan. Kondisi inilah yang bersifat paradoks.
Bicara bebas dan ”nyata” tidak selalu suatu yang bijak, yang sangat diperlukan dalam membina relasi yang baik dan terjaga dengan orang lain. Sering terjadi, saat kita bicara terus terang sejalan dengan diri otentik justru akan memberhentikan jalinan komunikasi yang kita bina karena ungkapan tulus dan benar yang kita sampaikan bisa saja menurunkan harkat orang yang menjalin relasi dengan kita. Ungkapan tersebut bisa membuat orang lain merasa dipermalukan sehingga bisa saja orang tersebut tersinggung, marah, dan meninggalkan ruang tempat kita bercakap-cakap. Dalam situasi seperti ini, sangat jelas bagi kita bahwa kebohongan yang bijak bisa berperan secara strategis dalam menjaga relasi yang sudah terbina. Terutama jika kita bicara dengan orang yang ”sulit”, atau isu yang sedang hangat atau dalam situasi lingkungan yang tegang.
Jadi, di samping kita dituntut untuk mengungkap diri otentik, kita juga harus belajar untuk mengedit, memikirkan, merencanakan, bahkan ”berpura-pura” dalam percakapan yang kita bina—bukan karena kita takut dan berkeinginan mengamankan diri, melainkan untuk bertahan dalam posisi berani dan menambah pengalaman dalam percakapan yang bijak. Tujuannya bukan untuk melepas diri otentik kita, melainkan untuk berpikir kreatif guna mengarahkan pembicaraan ke arah yang berbeda, jika diperlukan.
Terdapat banyak individu atau kelompok individu yang memungkinkan peningkatan kualitas diri otentik kita, namun ada juga individu atau kelompok individu yang justru menurunkan kadar otentisitas diri kita. Guna meningkatkan dan memperluas pemahaman diri otentik kita, ada beberapa kiat yang seyogianya kita kuasai, sebagai berikut:
• Ciptakan gambaran diri dan orang lain dengan cara yang lebih akurat dan kompleks.
• Bicaralah secara terhormat dengan integritas yang terjaga walaupun orang yang kita ajak bicara berperilaku buruk.
• Perkuatlah kemampuan kita untuk lebih kreatif, bijak, ceria, dan bersemangat.
• Tingkatkan kemampuan kita untuk memberi dan menerima cinta.