Pendidikan dasar menjadi isu global penting dua dekade terakhir. Meningkatnya jumlah anak-anak yang bersekolah diiringi tantangan yang lebih besar, yaitu rasio jumlah guru dan murid yang memadai di jenjang pendidikan selanjutnya. Ketersediaan tenaga pengajar atau guru, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (kompetensi mengajar), menjadi tantangan serius. Guru memegang peran sentral dalam sistem pendidikan. Guru bukan hanya bertugas menyampaikan materi pengajaran, tetapi juga melatih anak-anak belajar memahami dan mengatasi problem hidup mereka sebagai pribadi maupun anggota masyarakat. Maka, ketersediaan guru berkualitas membutuhkan kebijakan pendidikan yang sistematis, komprehensif, dan adanya payung hukum yang kuat serta visioner.
Terkait isu pendidikan tersebut, Bank Dunia melakukan penelitian di berbagai negara. Salah satu negara yang dikaji adalah Indonesia. Indonesia dianggap menarik diteliti karena jumlah penduduknya besar, secara geografis luas, dan terbentang sebagai negeri kepulauan. Begitu pula secara sosial budaya sangat bineka. Negara wajib menyediakan sarana dan prasarana pendidikan berkualitas yang setara dan merata di seluruh Indonesia. Menyadari pentingnya peran guru, pemerintah melakukan reformasi terkait kedudukan guru dalam sistem pendidikan nasional. Kebijakan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Buku Teacher Reform in Indonesia: The Role of Politics and Evidence in Policy Making (The World Bank, 2014) memuat analisis kebijakan pendidikan di Indonesia, khususnya terkait kedudukan guru dan dosen profesional. (YKR/DRA/Litbang Kompas)
Mengajar di Era Digital
Teknologi digital menyeret generasi muda menjadi generasi multitasking, terbiasa melakukan beberapa aktivitas sekaligus secara bersama. Dalam buku Guru Gokil Murid Unyu (Bentang, 2013), J Sumardianta mengungkapkan bahwa dunia digital tak hanya mengubah cara berkomunikasi, tetapi juga mengubah pikiran, ucapan, tindakan, kebiasaan, dan karakter orang. Daya tarik internet membuat mereka labil, mudah ”galau”, dan menuntut segalanya serba cepat, tanpa memahami proses. Bahkan, murid lebih suka diajar kawan-kawannya ketimbang gurunya. Sekolah pun seolah kian membebani mereka. Mereka juga menghadapi longsoran wibawa nilai-nilai dan runtuhnya norma-norma sosial dalam pergaulan yang membingungkan.
Gawai telah menjadi rival utama guru untuk mendapatkan perhatian murid. Metode pembelajaran usang yang terpusat pada guru tak mungkin lagi diterapkan. Guru harus berfokus pada anak didiknya serta menyesuaikan diri dengan gaya belajar mereka. Sayang, hingga kini sekolah-sekolah di Tanah Air belum sepenuhnya peduli kepada muridnya. Terjebak materialisme kurikulum. Guru sekadar agen penjejal pengetahuan dari buku ke pikiran murid mereka.
Masalah utama guru itu bukan sekadar kurikulum dan strategi pengajaran, melainkan semangat. Murid tak akan mengingat materi pembelajaran, tetapi merekam inspirasi yang tersirat dari sang guru. Untuk itu, ia harus mampu mengantarkan kebahagiaan bagi muridnya. Murid bisa melupakan apa saja yang diajarkan maupun dilakukan gurunya. Namun, murid akan selalu mengingat dan mengenang apa saja yang membuat hati mereka tersentuh. (DRA/Litbang Kompas)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.