Kapan terakhir kali kita berbincang dengan diri sendiri secara karib dan intim? Di era ketika ruang seolah tak berjarak dan waktu tak berjeda, perbincangan dengan diri merupakan hal mewah terakhir yang sanggup kita pikirkan. Informasi dan pengetahuan diproduksi dan disebarluaskan secara masif, terus-menerus, berseliweran di kepala kita. Tidak ada yang sungguh mengendap, menjadi permenungan kita.
Jalan Pulang adalah kemewahan. Maria Hartiningsih, jurnalis Kompas tahun 1984-2015, memiliki kemewahan itu karena ia menolak terseret arus. Maria seolah mengikuti petuah ibunya, ngeli nanging ora keli. Terhanyut, tetapi tidak sampai hanyut. Secara paradoks, Maria membangun ”ruang hening” di tengah ketergesaan kerja-kerja jurnalistik yang diburu deadline, dan dunia tunggang langgang yang menjadi konsekuensi globalisasi (baca: neoliberalisme).
Ruang hening memberinya peluang berbincang dengan diri sendiri, sebagai perempuan dan jurnalis, tentang apa yang sudah dan sedang ia lakukan. Perbincangan ini kerap kali ”gaduh”, terlebih saat ia juga melibatkan identitas diri yang karib dengan ajaran kejawen yang ditransmisikan lewat laku batin ibunya, berbaur dengan tradisi Katolik, buku-buku Buddhis, Zen, dan Sufi yang ia baca; serta pengalaman dan perjumpaannya dengan ”liyan”.
Kegaduhan dalam ruang hening ini yang dipapar Maria dalam buku yang ia susun dalam purnatugasnya sebagai jurnalis di Kompas dan dipersembahkan untuk media tersebut.
Dibuka dengan perjalanan ziarahnya ke Santiago de Compostela (Spanyol), Maria melakukan flash back terhadap perjalanan hidup dan kariernya sebagai jurnalis. Santiago de Compostela adalah situs suci dalam tradisi Kristiani setelah Jerusalem dan Roma. Ziarah tersebut Maria lakukan tahun 2013 menjelang masa pensiun. Menjadi jurnalis adalah panggilan hidupnya. Ia terlibat total, bukan sekadar memotret dan mencatat peristiwa, melainkan berempati terhadap subyek yang ia tulis. Lingkup pekerjaan jurnalistiknya yang sering bersentuhan dengan isu perempuan, kesejahteraan rakyat, dan HAM memungkinkannya berempati. Cara Maria melakukan liputan dan menuliskannya memperlihatkan bahwa ia meletakkan para narasumbernya sebagai subyek, bukan sekadar obyek pemberitaan.
Jalan sunyi
Namun, menjadi jurnalis yang berempati adalah sebuah jalan sunyi. Laku jurnalistiknya memunculkan—dalam istilah Maria—rasa suwung. Dalam dunia kebatinan masyarakat Jawa, suwung atau kosong dimaknai sebagai perasaan tidak menginginkan apa-apa, tidak berpamrih apa-apa. Maria sendiri mengartikan suwung sebagai ”perjalanan menerima dan melatih mata hati untuk melihat indahnya warna pelangi” (hal xix).
Perjalanan menerima dan melatih mata hati tentu bukan perjalanan mudah. Terkadang diwarnai kesepian dan dukacita. Via Dolorosa. Acapkali Maria bertanya, bahkan tak jarang menggugat, kepada ”Sang Penyebab Segala Sesuatu” ketika berjumpa dengan pengalaman yang mengusik nurani kemanusiaannya. Meskipun dalam KTP Maria beragama Katolik, sejak awal ia menyatakan bahwa ”iman tidak bisa dikurung dalam sangkar bernama keyakinan agama dalam arti konvensional” (hal 5).
Ia tumbuh sebagai pencari yang gelisah. Kerja jurnalistik yang ia tekuni membuat kegelisahannya makin menjadi. Ia meragukan banyak hal, termasuk tentang iman yang mengotak-ngotakkan. Ia memilih menjadi pengembara, tanpa khawatir akan tersesat. ”Aku terjun bebas di samudra keraguan yang tak ada batasnya, tanpa rasa takut tak bisa pulang” (hal 6). Keraguan yang dimiliki Maria tidak bisa dikontradiksikan dengan memercayai karena dalam keraguannya Maria tidak dalam kondisi pasif berdiam diri, tetapi aktif mencari. ”Keraguan bukan berarti penolakan, melainkan bahasa yang kupilih untuk mengatakan, ’ aku tidak tahu, tetapi aku siap untuk tahu’.” (hal 49).
Kesiapan untuk tahu inilah yang membawa Maria pada banyak perjumpaan. Perjalanan Maria ke Santiago de Compostela terinspirasi The Pilgrimage-nya Paulo Coelho. Namun, laku kontemplatif yang ia jalani di—108 km jalan kaki selama delapan hari dari Sarria ke katedral Santiago de Compostela—bukan satu-satunya perjalanan ziarah yang ia lakukan. Dari Santiago de Compostela, Maria meneruskan perjalanan ke Lourdes, kota tujuan wisata ziarah populer bagi umat Katolik di selatan Prancis. Selanjutnya, ia menuju Plum Village, pusat meditasi Buddhis yang didirikan Mahaguru Zen dari Vietnam Thich Nhat Hanh di selatan Prancis.
Tahun berikutnya, ajakan dari Elizabeth Inandiak—penyadur Serat Centhini ke dalam bahasa Perancis—membawa Maria pada perjumpaan dengan komunitas sufi di Aljazair. Di Oran dan Mostaganem, Maria berjumpa dengan komunitas tarekat sufi Alawiyah yang prihatin dengan sejumlah gerakan yang menggunakan Islam untuk kepentingan politik jangka pendek.
Perjumpaan-perjumpaan dengan komunitas lintas iman ini memperkaya perjalanan batin Maria. Ia seperti mendapat jawab atas keraguannya. ”Keraguan membuatku mencari jawaban dari banyak pintu. Semua pintu menyodori jawaban yang saling melengkapi meski caranya berbeda-beda” (hal 50).
Pulang kepada diri
Namun, yang menarik, berbagai perjumpaan tersebut membawa Maria ”pulang” kepada dirinya, anak perempuan ibunya. Ibunya, perempuan Jawa sederhana yang tidak pernah memberi nama untuk Tuhan, melihat agama sebagai agemaning jiwa, pakaian bagi jiwa, memiliki denyut spiritualitas sama dengan mereka yang bertafakur di Camino Santiago, Lourdes, Plum Village, Oran, dan Mostaganem. Bahkan, denyut spiritualitas ini tak berbeda dengan denyut spiritualitas yang digemakan Thomas Merton, rahib Katolik yang dikagumi Maria. ”Kalau aku menyatakan diriku sebagai Katolik dengan menolak Muslim, Yahudi, Prostestan, Hindu, Buddha, dan lain-lain, pada akhirnya aku akan menemukan, tak banyak yang tersisa bagiku untuk mengukuhkan diri sebagai seorang Katolik, dan tak ada embusan napas dari Roh Kudus untuk mengukuhkannya” (hal 424).
Sedikit catatan ketika Maria mencoba menjelaskan semua hal dalam upaya memberi konteks setiap perjumpaan spiritual. Beberapa penjelasan ia ambil dari laporan jurnalistik yang pernah Maria tulis sebelumnya sehingga terkesan kompilasi berita. Di sisi lain, pada bab-bab awal, Maria bersemangat mengisahkan dialektika batinnya. Pembaca yang berharap mendapatkan narasi deskriptif khas tulisan feature Maria agak kecele.
Lepas dari hal itu, Jalan Pulang adalah oase di tengah kegaduhan dunia saat ini, di mana akibat tidak sanggup menghadapi neoliberalisme membuat orang ramai-ramai mencari perlindungan pada identitas agama. Padahal, semua agama, baik agama wahyu maupun agama lokal, menggenggam kaidah emas ini: jangan lakukan apa yang kau tak ingin orang lain lakukan padamu. Jalan Pulang membawa kita kembali pada kesadaran etik global tersebut.