Transaksi Ekspor Impor ke Malaysia dan Thailand Lebih Untung dengan “Local Currency Settlement”
Ketidakpastian pasar global telah berdampak banyak pada pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Bank Indonesia (BI) mencatat, selama Januari 2018 rupiah memang berhasil menguat 1,36 persen terhadap dollar AS menjadi Rp 13.378 per dollar AS.
Sayangnya, penguatan ini tak berlangsung lama. Menurut catatan BI, pada Februari 2018 secara rata-rata harian rupiah melemah sebesar 1,65 persen menjadi Rp 13.603 per dollar AS. Tak hanya itu, pada Maret 2018 secara rata-rata harian rupiah juga terdepresiasi sebesar 1,13 persen.
Pergerakan nilai tukar rupiah ini memengaruhi bisnis khususnya bagi yang melakukan aktivitas ekspor-impor, di mana mata uang dollar AS masih mendominasi dalam transaksi pembayaran internasional. Untuk itu, Direktur Eksekutif Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia Nanang Hendarsah mengungkapkan, berfluktuasinya nilai tukar ini tentu harus diantisipasi pelaku usaha dengan beralih dari dollar AS menggunakan mata uang lokal dan melakukan hedging (lindung nilai).
Bertransaksi menggunakan mata uang lokal menjadi alternatif pilihan dan hedging diperlukan demi meminimalisasi risiko yang terjadi akibat pelemahan kurs. Nanang menyarankan kepada pelaku usaha untuk menggunakan skema LCS (local currency settlement) dalam melakukan aktivitas ekspor-impor jika kegiatan tersebut dilakukan di kawasan Asia Tenggara.
“Salah satu keuntungan menggunakan LCS adalah biaya hedging yang dikeluarkan pengusaha akan lebih rendah dalam menggunakan skema LCS dalam aktivitas transaksi ekspor impor dibanding menggunakan dollar AS,” kata Nanang dalam Remittance Customer Seminar 2018 yang diadakan PT Bank Central Asia Tbk (BCA), di Hotel Vasa, Surabaya, beberapa waktu lalu.
Saat ini, kuotasi harga ringgit (MYR) terhadap rupiah (IDR) atau baht Thailand (THB) terhadap rupiah bisa dilakukan secara langsung. Dengan ketentuan ini, para pengusaha tidak perlu lagi menukar rupiahnya terlebih dahulu ke dalam mata uang dollar AS.
Tak hanya itu, likuiditas valuta asing di kawasan Asia Tenggara juga akan lebih terjamin dibanding dollar AS. Instrumen mata uang di Asia Tenggara ini juga bisa dijadikan sebagai alternatif investasi, selain dollar AS pasca berlakunya ketentuan LCS.
Penggunaan LCS ini, kata Nanang, juga dimaksudkan untuk mengurangi dominasi dollar AS sebagai mata uang pembayaran, serta untuk mengurangi tekanan terhadap permintaan valas dan dengan menggunakan mata uang lokal dari tiap negara (Malaysia dan Thailand), kurs menjadi lebih efisien.
Seperti diketahui, BI telah mengeluarkan aturan PBI Nomor 19/11/PBI/2017 tentang Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral Menggunakan Mata Uang Lokal (LCS) melalui Bank. Dengan peraturan ini, pengusaha bisa melakukan transaksi perdagangan dengan pengusaha Malaysia dan Thailand menggunakan mata uang lokal.
Kerja sama penggunaan mata uang lokal yang melibatkan perbankan dalam frame LCS disepakati pada 11 Desember 2017 oleh Bank Indonesia (BI), Bank Negara Malaysia (BNM), dan Bank of Thailand (BOT).
Untuk mendapatkan layanan ini, nasabah sudah dapat menikmatinya di PT Bank Central Asia Tbk (BCA). Layanan LCS di BCA antara lain jual beli valas secara SPOT dan Forward (hedging), kiriman valas (remittance), penerbitan LC (letter of credit), dan segera disusul pembukaan rekening giro dalam kedua mata uang tersebut.
BI mengapresiasi BCA, sebagai salah satu bank ACCD (Appointed Cross Currency Dealers) terpilih di Indonesia yang merespons kebijakan bank sentral tersebut secara cepat.
“BCA selalu mengedepankan beberapa hal, yaitu dukungan terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia, kepatuhan dan keamanan dalam bertransaksi, serta pelayanan yang terbaik bagi nasabah kami semua. Demi memastikan hal tersebut, kami senantiasa menjaga komunikasi dengan seluruh nasabah agar terbaharui dan mengerti terhadap aturan main, produk baru ataupun hal-hal khusus perihal remittance,” kata Senior Executive Vice President Divisi Tresuri & Perbankan Internasional BCA, Branko Windoe. [*]