logo Kompas.id
TajaMembangun Ekosistem Kekayaan...

Membangun Ekosistem Kekayaan Intelektual Nasional Untuk Menuju Indonesia Emas 2045

Pembangunan ekonomi di era globalisasi ini sangat ditentukan oleh kemampuan suatu negara dalam mengelola potensi kekayaan intelektual (KI) yang dimilikinya. Terbukti, negara-negara yang maju pembangunan ekonominya adalah negara yang mampu mengelola KI-nya dengan baik, seperti Amerika Serikat, Negara-Negara di Eropa, Jepang, Republik Korea, dan Tiongkok.

Kemenkumham
Artikel ini merupakan kerja sama antara harian Kompas dan Kemenkumham.
· 15 menit baca
Membangun ekosistem kekayaan intelektual
DOK. KEMENKUMHAM

Dr Andrie Soeparman

Oleh: Dr Andrie Soeparman

Pembangunan sistem KI terbagi dalam lima tingkat yakni: (1) Pengenalan KI (edukasi dan kesadaran KI); (2) Pendaftaran KI (peroleh Hak KI); (3) Manajemen KI (penerapan KI dalam manajemen bisnis); (4) KI Sebagai Nilai (KI sebagai jaminan dan aset ekonomi); dan (5) KI sebagai Poros Ekonomi (peran KI terhadap pertumbuhan ekonomi).

Teknologi dan pengetahuan merupakan faktor penting bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, salah satunya melalui sistem paten untuk mendorong inovasi dan mendorong pembangunan ekonomi.

Becermin pada negara-negara yang maju industrinya seperti 5 negara besar yang kantor KI-nya tergabung dalam IP5 Office yang terdiri dari 5 kantor KI besar dunia: AS, Eropa, Jepang, Republik Korea, dan Tiongkok, maka jumlah pendaftaran Paten domestik di negara mereka mendominasi atau lebih banyak dibandingkan dengan pendaftaran paten dari luar negeri.

Berdasarkan data IP5 Office pada tahun 2022, dominasi pendaftaran Paten domestik di negara Eropa (EPO) 43 persen, Jepang (JPO) 76 persen, Republik Korea (KIPO) 77 persen, Tiongkok (CNIPA) 90 persen, dan Amerika Serikat (USPTO) 46 persen. Kondisi ini bertolak-belakang dengan kondisi di Indonesia yang dominasi pendaftaran Paten domestiknya masih sekitar 15 persen pada tahun 2022.

Membangun Ekosistem Kekayaan Intelektual Nasional Untuk Menuju Indonesia Emas 2045

Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), industri KI telah menjadi poros ekonomi nasional. KI Amerika bernilai 6,6 triliun dollar AS, lebih besar dari PDB nominal negara lain di dunia.

Industri padat KI menyumbang lebih dari 1/3 atau 38,2 persen dari total PDB AS. KI menyumbang 52 persen dari seluruh ekspor barang dagangan AS yang jumlahnya hampir 842 miliar dollar AS.

Dampak ekonomi langsung dan tidak langsung dari inovasi sangat besar, menyumbang lebih dari 40 persen pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja AS. Di bandingkan dengan Indonesia, kontribusi KI sekitar 7 persen terhadap PDB di Indonesia, hal ini masih jauh di bawah AS yang mampu mencapai 38,2 persen.

Melihat kondisi ini, maka Indonesia masih harus memacu pembangunan sistem KI untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Perekonomian Nasional agar terlepas dari “Middle Income Trap”.

Menurut Asian Development Bank (ADB, 2017), strategi komprehensif yang berfokus pada inovasi dengan kebijakan strategis yang aktif adalah satu-satunya cara untuk keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap). Kebijakan strategis ini tentunya diterapkan melalui ekosistem inovasi yang diperkuat dengan pelindungan KI atau Ekosistem KI.

Apakah Ekosistem Kekayaan Intelektual (KI) itu?

Ekosistem KI ini sangat diperlukan, karena merupakan suatu sistem yang menghasilkan siklus berkelanjutan dalam berkreasi dan berinovasi yang terdiri dari tiga elemen utamanya yaitu: kreasi, proteksi, dan utilisasi untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional.

Pada prinsipnya, sinergi dan kolaborasi dari seluruh elemen dalam Ekosistem KI, bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat melalui potensi KI. Ekosistem KI dapat diumpamakan sebagai kendaraan yang bahan bakarnya kreasi KI dan dilengkapi minyak pelumas berupa proteksi KI yang kemudian digunakan untuk menggerakan mesin utilisasi KI sehingga mampu memacu pertumbuhan ekonomi nasional.

Strategi Nasional KI dengan pendekatan Ekosistem KI ini telah digunakan di negara-negara yang sukses dengan pembangunan sistem KI seperti China melalui Strategi Nasional KI yang dibentuk tahun 2010, dan pada tahun 2020 telah berhasil menjadi negara nomor satu dengan permohonan pendaftaran KI tertinggi di dunia, yang sebelumnya diduduki oleh Amerika Serikat. Dan bahkan dalam pada tahun 2035, China menargetkan untuk menjadi “the powerful intellectual property nation”.

Di sini kita dapat melihat bagaimana pentingnya Strategi Nasional KI berbasis Ekosistem KI dalam mendukung pembangunan ekonomi suatu bangsa.

Kondisi Indonesia saat ini dengan pendapatan perkapita masih jauh di bawah rata-rata pendapatan perkapita negara maju dengan pertumbuhan ekonomi dalam dua dekade ini berkisar 5 persen di bawah Korea Selatan 12 persen, China 10,6 persen, Malaysia 6,8 persen, dan Thailand 7,5 persen.

Begitu pula kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia sebesar 18 persen masih di bawah Korea Selatan 28 persen, China 32 persen, dan Malaysia 30 persen. Selanjutnya ratio ekspor barang berteknologi tinggi dari Indonesia sebesar 7,2 persen masih jauh di bawah China 32,12 persen, Thailand 26,27 persen, Brazil 12,59 persen, dan Malaysia 50,86 persen.

Selanjutnya, melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, untuk mencapai cita-cita “Indonesia Emas 2045” dan keluar dari “middle income trap” di era digital dapat ditempuh melalui empat peluang yakni: populasi, hilirisasi, digitalisasi, dan inovasi.

Keempat peluang tersebut pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari siklus Ekosistem KI. Dengan demikian, untuk mewujudkan cita- cita Indonesia Emas 2045 dan keluar dari middle income trap maka Indonesia perlu menerapkan Strategi Pembangunan Ekonomi di Era Digital Berbasis Ekosistem KI.

Membangun Ekosistem Kekayaan Intelektual Nasional Untuk Menuju Indonesia Emas 2045

Strategi Pembangunan di Era Digital Berbasis Ekosistem KI ini didasari pada Strategi Pemanfaatan Potensi KI Nasional, yang terbagi dalam tiga tingkatan piramida dari bawah ke atas terdiri dari: (1) Potensi KI melalui Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Kewirausahaan; (2) Potensi KI melalui pengembangan potensi sumber daya alam dan budaya nasional; dan (3) Potensi KI melalui pengembangan frontier technology.

Membangun Ekosistem Kekayaan Intelektual Nasional Untuk Menuju Indonesia Emas 2045

Potensi KI melalui Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Kewirausahaan menjadi potensi yang mendasari dan menjadi pondasi dari pengembangan potensi KI nasional melalui Ekosistem KI, yang ini terdiri dari sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan sektor Ekonomi Kreatif yang berbasis kewirausahaan.

Potensi KI melalui Pengembangan Sumber Daya Alam dan Budaya Nasional menjadi potensi KI yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya alam dan budaya nasional melalui Ekosistem KI, yang terdiri dari pengembangan sumber daya alam dan budaya melalui bidang seni, sastra, desain, dan teknologi.

Potensi KI melalui Pengembangan Frontier Technology menjadi potensi KI yang bertujuan untuk mengembangkan teknologi yang sangat penting saat ini, dan merupakan teknologi kunci untuk dapat bersaing dalam era digital melalui Ekosistem KI, yang terdiri dari teknologi digital, teknologi fisik, dan teknologi biologis.

“Potensi KI” adalah KI yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan sebagai suatu kekuatan. Dari sudut pandang kepemilikan, KI ini mencakup KI Personal dan KI Komunal.

KI Personal adalah KI yang dimiliki secara individual baik dalam bentuk perorangan, beberapa orang, atau badan hukum, yang terbagi dalam dua kelompok hak yakni (1) Hak Cipta dan Hak Terkait (Copyright and Related Rights) dan (2) Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights – Paten, Hak atas Merek, Hak Desain Industri, Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Hak Rahasia Dagang, dan Hak Pelindungan Varietas Tanaman).

KI Komunal adalah KI yang dimiliki secara komunal baik dalam bentuk masyarakat adat dan/atau komunitas lokal, yang terdiri dari empat jenis hak yakni: (1) Hak Sumber Daya Genetik; (2) Hak Pengetahuan Tradisional; (3) Hak Ekspresi Budaya Tradisional; dan (4) Hak atas Indikasi Geografis.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan potensi KI yang berasal dari alam dan budaya. Kondisi ini tentunya sangat mendukung keberadaan pariwisata sebagai motor penggerak Ekosistem KI.

KI merupakan alat yang ampuh dalam sektor pariwisata. Pariwisata merupakan kekuatan utama dalam perdagangan internasional, terus berkembang, dan merupakan sumber pendapatan utama di banyak tempat di dunia.

Lalu bagaimana sebuah destinasi bisa menarik wisatawan? Wisatawan mencari tempat untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda dari kehidupan sehari-hari. Mereka mungkin tertarik dengan pemandangan, budaya, olahraga, atau persepsi lain mengenai suatu tempat.

Ini adalah alasan yang bagus untuk memberi merek pada suatu tempat, mengaitkannya dengan rangkaian pemikiran, perasaan, dan kesan yang muncul di benak orang ketika memikirkannya. Merek dagang adalah inti dari lokasi tertentu dan apa yang membedakannya.

Jika berhasil, hal ini tidak hanya menarik lebih banyak pengunjung, tetapi juga meningkatkan pengalaman mereka yang pada akhirnya bertujuan untuk membentuk Destination Branding (Pencitraan Merek Destinasi). Destination Branding ini, dapat dibangun melalui berbagai jenis hak KI seperti: (1) Merek sertifikasi (certification marks); (2) Merek kolektif (collective marks); dan (3) Indikasi Geografis (geographical indications).

Penerapan strategi industri pariwisata berbasis KI telah diterapkan di berbagai negara untuk dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi mereka. Salah satu contoh penerapan strategi perpaduan pariwisata dan KI yang berhasil memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi bagi wilayahnya adalah Indikasi Geografis “Edam Cheese (Keju Edam)” di Belanda.

Dari pengalaman di Edam Belanda, pemanfaatan Indikasi Geografis “Edam Cheese” sebagai branding dari situs pariwisata di wilayah Edam telah terbukti memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut melalui strategi industri pariwisata berbasis KI.

Hal ini dapat terlihat dari statistik nilai impor dan ekspor dari “Edam Cheese” 2008-2021. Statistik ini menampilkan nilai impor dan ekspor keju Edam ke dan dari Belanda pada tahun 2008 hingga 2021. Terlihat bahwa antara tahun 2008 hingga 2021, nilai ekspor keju Edam lebih tinggi dibandingkan nilai impornya. Pada tahun 2021 nilai impornya sebesar 33.460.000 Euro dan nilai ekspornya sebesar 329.593.000 Euro.

Di Indonesia, penerapan pariwisata berbasis KI sudah dilaksanakan di berbagai wilayah provinsi. Salah satu provinsi yang sudah secara matang dan maju dalam menerapkan pariwisata berbasis KI ini adalah provinsi Bali yang dikenal dengan sebutan “Pulau Dewata”.

Sebutan “Pulau Dewata (Island of God)” ini sudah menjadi branding terkenal yang diakui oleh seluruh wisatawan baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Bali kaya akan KI Komunal seperti ekspresi budaya tradisional (EBT), pengetahuan tradisional (PT), dan sumber daya genetik (SDG).

Berbagai kreasi KI seperti seni tari tradisional, seni arsitektur tradisional, seni rupa tradisional, pengetahuan resep masakan tradisional, pengetahuan pengobatan tradisional, dan bahkan potensi sumber daya genetik seperti kopi, jeruk, salak, nenas, dan potensi SDG lainnya. Sebagai contoh Kopi Kintamani dari wilayah wisata Kintamani-Bali yang sudah terdaftar dan mendapat pelindungan Indikasi Geografis.

Indonesia telah melaksanakan berbagai upaya untuk membangun branding di berbagai komunitas dan pedesaan yang dapat mendukung pengembangan kawasan-kawasan wisata di Indonesia melalui potensi-potensi KI berbasis komunitas. Upaya membangun branding ini adalah melalui program One Village One Brand (OVOB) yang diinisiasi oleh Kementerian Hukum dan HAM; One Village One Product (OVOP) yang diinisiasi oleh Kementerian Perindustrian; dan One Village One Variety (OVOV) yang diinisiasi oleh Kementerian Pertanian.

Pembangunan branding ini pada dasarnya mendukung program “Desa Wisata” yang diinisiasi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berkolaborasi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Koperasi dan UKM; dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Jika program OVOB, OVOP, OVOV, dan Desa Wisata bersinergi dan berkolaborasi dengan baik tentunya akan mencapai tujuan untuk membangun kawasan pariwisata berbasis KI melalui destination branding (pencitraan merek destinasi) yang dapat diterapkan terhadap desa wisata berbasis komunitas atau community based tourism di Indonesia yang mampu menjadi jawaban atas tantangan wisata berkelanjutan yang mengarah pada desa wisata mandiri.

Pelindungan KI menjadi bagian penting dalam membangun pencitraan merek destinasi (destination branding), termasuk dalam mendukung program OVOB, OVOP, dan OVOV.

Program OVOB didukung melalui pelindungan Merek Kolektif dan Indikasi Geografis. Program OVOP didukung melalui pelindungan Desain Industri, Paten, Hak Cipta, Merek Kolektif, dan Indikasi Geografis. Program OVOV didukung melalui pelindungan Varietas Tanaman dan Indikasi Geografis.

Pada akhirnya, sinergi dan kolaborasi dari program OVOB, OVOP, dan OVOV ini akan mendukung program “Desa Wisata” melalui pencitraan merek destinasi (destination branding) atau IP-Tourism (Pariwisata Berbasis KI).

Sinergi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan di dalam Ekosistem KI (Kreator, Protektor, Utilisator) menjadi kunci utama keberhasilan dalam membangun Ekosistem KI Nasional. Untuk itu Strategi Nasional KI (SNKI) harus menjadi payung seluruh kebijakan pembangunan Ekosistem KI Nasional.

SNKI akan memberikan hasil yang optimal jika pembentukan dan koordinasinya langsung di bawah Pimpinan Tertinggi Pemerintahan, sebagaimana diterapkan oleh negara yang sudah berhasil membangun Ekosistem KI Nasional yang telah memberikan kontribusi KI yang signifikan terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Republik Korea adalah salah negara yang telah berhasil dalam membangun Ekosistem KI dengan menempatkan Strategi Nasional KI mereka langsung di bawah kendali Perdana Menteri mereka dengan membentuk Presidential Council on Intellectual Property (PCIP).

PCIP didirikan pada tanggal 28 Juli 2011, dan badan administratifnya, Kantor Strategi dan Perencanaan HKI pada tanggal 1 September 2011. Dipimpin oleh Perdana Menteri dengan anggota sembilan kementerian, Fair Trade Commission, National Intelligence Service, KIPO, serta anggota sipil (antara lain: ahli KI).

Penerapan Ekosistem KI di Republik Korea, dilaksanakan oleh lembaga publik maupun pemerintah yang bersinergi dan berkolaborasi di dalam siklus Ekosistem KI. Dalam elemen kreasi, Korea Invention Promotion Association (KIPA) memilik peran untuk membantu para kreator membangun KI mulai dari ide sampai dengan komersialisasi.

Dalam elemen proteksi, Korea Intellectual Property Office (KIPO), Korea Copyright Commission (KCC), dan Korea Institute of IP Promotion (KIPRO) memiliki peran dalam pelindungan KI dan dukungan terhadap pendaftaran KI. Selanjutnya untuk elemen utilisasi, Korea Institute of Patent Information (KIPI) dan Korea Technopark Association (KTPA) memiliki peran dalam mendukung komersialisasi KI.

Namun demikian seluruh strategi nasional KI berbasis Ekosistem KI ditangani oleh Presidential Council on IP (PCIP).

Melihat besarnya potensi KI Indonesia, untuk itu sangat penting untuk memasukan aspek pembangunan Ekosistem KI nasional ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Menengah, dan Pendek, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Dalam hal ini pembangunan Ekosistem KI nasional baik di tingkat nasional maupun daerah bertujuan untuk mendukung pengelolaan potensi KI agar dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Pengelolaan KI baik dalam tingkat nasional maupun daerah perlu digalakkan. Artinya potensi KI yang terdiri dari KI Personal maupun KI Komunal harus dikelola dengan baik di tingkat nasional maupun daerah.

Pengelolaan potensi KI ini harus dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan mulai dari pengkreasian (kreasi), pelindungan (proteksi), dan pemanfaatannya (utilisasi) melalui sinergi seluruh pemangku kepentingan baik di pusat maupun di daerah.

Produk hukum berupa peraturan perundang-undangan tentang Pengelolaan KI perlu dibentuk baik dalam lingkup nasional (undang-undang) maupun daerah (Perda) untuk mengelola potensi KI yang dimiliki Indonesia, terutama yang ada di daerah provinsi, kabupaten, dan kota bahkan sampai dengan pedesaan.

Mengingat pentingnya sinergi dan kolaborasi tersebut, untuk itu secara nasional perlu dibentuk Tim Strategi Nasional Pengelolaan Potensi KI (Stranas PPKI) di bawah koordinasi Presiden, yang memiliki peran untuk membangun Ekosistem KI nasional sesuai dengan potensi KI yang dimiliki oleh Indonesia, yakni: (1) Strategi dalam membangun kreativitas dan inovasi anak bangsa; (2) Strategi dalam perolehan HKI, pengembangan kapasitas serta pemanfaatan data dan informasi KI bagi pemangku-kepentingan KI, promosi KI, dan penegakan HKI; dan (3) Strategi dalam pemanfaatan KI agar dapat menjadi poros ekonomi nasional dengan tetap memperhatikan kepentingan publik.

Peran dari Kantor KI dalam Ekosistem KI ini mencakup: (1) Perolehan Hak KI; (2) Pengembangan kapasitas pemangku kepentingan Ekosistem KI; (3) Pemanfaatan data dan informasi KI bagi pemangku kepentingan Ekosistem KI; (4) Promosi KI; dan (5) Mendukung penegakan HKI.

Visi yang jelas untuk masa depan akan sangat penting bagi Kantor KI untuk memastikan relevansi dan keberlanjutannya. Kantor KI perlu mengkaji opsi-opsi baik dalam mandat administratif inti maupun di luar peran tradisional.

Semakin banyak Kantor KI yang perlu bekerja sama untuk mengatasi tantangan. Dunia telah berubah dan bagaimanapun dunia akan terus berubah. Bagian ini mengeksplorasi dua rangkaian fitur untuk membangun kantor KI Masa Depan: (1) fitur-fitur yang berada dalam mandat administratif inti dan (2) fitur-fitur di luar peran tradisional.

Di negara-negara yang telah berhasil membangun Ekosistem KI dengan baik, seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Republik Korea, dan Tiongkok, memiliki lembaga pengembangan kapasitas dan pemanfaatan data-informasi KI atau sering disebut dengan istilah “IP Academy” atau Akademi KI yang berfungsi untuk mengedukasi dan menyediakan data-informasi KI bagi pemangku kepentingan Ekosistem KI di negara mereka, dan bahkan diperuntukkan untuk pemangku kepentingan Ekosistem KI dari luar negara mereka.

Amerika Serikat dengan Global IP Academy (GIPA), Eropa dengan European Patent Academy dan EUIPO Academy, Jepang dengan National Center for Industrial Property Information and Training (INPIT), Republik Korea dengan International IP Training Institute (IIPTI), dan Tiongkok dengan China IP Training Center (CIPTC).

Pada awalnya IP Academy perannya hanya terkait dengan peningkatan kapasitas pemangku kepentingan KI, namun sejalan dengan perkembangan waktu perannya dituntut untuk lebih luas mencakup pemanfaatan data dan informasi KI bagi pemangku kepentingan KI.

Berikut ini adalah gambaran peran dan fungsi IP Academy di masa sekarang ini: (1) Membantu pelaku usaha dan industri memanfaatkan KI dan aset tak berwujud mereka untuk pertumbuhan melalui pendidikan dan pelatihan KI. (2) Sebagai pusat nasional untuk pengetahuan, pembelajaran dan pengembangan HKI, serta penelitian dan publikasi. (3) Mencakup seluruh spektrum, mulai dari membangun kesadaran KI, pengembangan kursus KI penuh dan penawaran modul, seperti, penyusunan paten, komersialisasi, penilaian, penegakan hukum, dan kursus terkait lainnya untuk pengembangan profesional. (4) Memadukan penelitian dasar, ilmiah, terapan, dan kebijakan yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan baru terkait KI dan hal-hal terkait KI. (5) Menyediakan pengembangan dan promosi materi pelatihan di bidang KI, publikasi mengenai isu-isu terkini, dan memulai diskusi meja bundar untuk asosiasi ilmuwan dan pakar dalam pengembangan KI.

Pembentukan IP Academy di Indonesia menjadi suatu kebutuhan. Hal ini mengingat beberapa alasan kondisi saat ini, di mana kapasitas pemangku kepentingan Ekosistem KI yang masih belum mumpuni untuk memahami dan memanfaatkan Ekosistem KI sebagai kendaraan penting dan strategis untuk menjalankan bisnis di era globalisasi. Hal ini terbukti dengan dimasukkannya aspek KI dalam sistem perdagangan internasional melalui Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) yang menjadi bagian dari perjanjian perdagangan internasional di WTO.

Data dan informasi KI yang ada di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan lembaga terkait lainnya, belum dimanfaatkan bagi pemangku kepentingan Ekosistem KI sebagai bagian dari strategi bisnis mereka. Berdasarkan kondisi ini, maka keberadaan IP Academy menjadi kebutuhan yang sangat penting dan strategis untuk membangun Ekosistem KI nasional.

IP Academy ini juga harus bersinergi dan berkolaborasi baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Dalam lingkup nasional, sinergi dan kolaborasi dilakukan baik di pusat maupun di daerah, misalnya dengan kementerian dan lembaga terkait di pusat, dan dengan pemerintah daerah.

Dalam lingkup internasional, sinergi dan kolaborasi dilakukan baik melalui kerja sama internasional (bilateral, regional, dan multilateral) maupun melalui perwakilan/kedutaan besar/atase RI di negara lain, misalnya kerja sama dengan Kantor KI negara lain, IP Academy negara lain, Free Trade Agreement (FTA), forum regional seperti ASEAN Working Group on IPR Cooperation (AWGIPC) dan IP Experts Group – Asia Pacific Economic Cooperation (IPEG-APEC), dan organisasi internasional seperti WIPO dan WTO.

Membangun Ekosistem Kekayaan Intelektual Nasional Untuk Menuju Indonesia Emas 2045

Untuk bentuk kelembagaan pengelolaan Indonesia IP Academy ke depan perlu dipertimbangkan apakah pengelola IP Academy ini dibentuk melalui kesesuaian tupoksi dengan mengubah struktur kelembagaan di bawah DJKI atau kesesuaian tupoksi dengan mengubah struktur kelembagaan (independen).

Keberadaan Strategi Nasional Pengelolaan Potensi KI (Stranas PPKI) sangat diperlukan, salah satunya memutuskan bagaimana seharusnya posisi dan bentuk dari kelembagaan Indonesia IP Academy ini.

Stranas PPKI ini dibentuk dan dikoordinir oleh Tim Nasional PPKI yang dipimpin langsung oleh Presiden. Tim nasional PPKI ini terdiri dari unsur: pemerintah dan non pemerintah (antara lain: ahli, akademisi, industri, dan usaha).

Selanjutnya di wilayah, dibentuk Tim Wilayah PPKI dipimpin oleh Gubernur dengan anggotanya terdiri dari: unsur pemerintah daerah dan non pemerintah daerah (misalnya ahli, akademisi, industri, dan usaha). Timwil ini memiliki tugas untuk membentuk Strategi Wilayah PPKI.

Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000