Status boleh berbeda antara lajang dan menikah. Namun dengan gaji terbatas, kelas menengah lajang dan menikah ibu kota sama-sama berjuang untuk kebutuhan hidup harian dan mengumpulkan pundi-pundi tabungan masa depan.
Oleh Tim Harian Kompas
04 Mar 2024 08:00 WIB · Investigasi
Kelas menengah dengan status menikah ataupun lajang sering dianggap boros karena konsumtif. Padahal duitnya memang habis untuk biaya hidup yang membengkak. Mereka sama-sama berjuang untuk bisa menghidupi diri sendiri dan keluarga, saat ini dan untuk masa depan dengan gaji terbatas.
Bank Dunia membagi kelas menengah menjadi dua kelompok. Calon kelas menengah (aspiring middle class) dengan pengeluaran 1,5-3,5 kali lipat garis kemiskinan per kapita per bulan dan kelas menengah (middle class) dengan pengeluaran 3,5-17 kali lipat garis kemiskinan per kapita per bulan.
Mari kita mulai dengan kisah kelas menengah di Jabodetabek, yakni Sipin Putra (38) dan Ira Kurnia (29). Keduanya tidak saling mengenal.
Sipin, perantau dari Jombang, Jawa Timur, berstatus lajang. Adapun Ira perantau berstatus menikah asal Sintang, Kalimantan Barat. Kesamaan mereka adalah gigih berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga target finansialnya bisa tercapai.
Baca juga : Kelas Menengah Indonesia Sulit Menjadi Orang Kaya
Kelas menengah dengan status menikah ataupun lajang sering dianggap boros karena konsumtif. Padahal duitnya memang habis untuk biaya hidup yang membengkak. Mereka sama-sama berjuang untuk bisa menghidupi diri sendiri dan keluarga, saat ini dan untuk masa depan dengan gaji terbatas.
Bank Dunia membagi kelas menengah menjadi dua kelompok. Calon kelas menengah (aspiring middle class) dengan pengeluaran 1,5-3,5 kali lipat garis kemiskinan per kapita per bulan dan kelas menengah (middle class) dengan pengeluaran 3,5-17 kali lipat garis kemiskinan per kapita per bulan.
Mari kita mulai dengan kisah kelas menengah di Jabodetabek, yakni Sipin Putra (38) dan Ira Kurnia (29). Keduanya tidak saling mengenal.
Sipin, perantau dari Jombang, Jawa Timur, berstatus lajang. Adapun Ira perantau berstatus menikah asal Sintang, Kalimantan Barat. Kesamaan mereka adalah gigih berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga target finansialnya bisa tercapai.
Baca juga : Kelas Menengah Indonesia Sulit Menjadi Orang Kaya
Sipin merantau dari Jombang ke Depok karena diterima kuliah di Jurusan Antropologi Universitas Indonesia, Depok, 12 tahun yang lalu. Kini, Sipin bekerja sebagai dosen honorer di perguruan tinggi swasta di Jakarta sejak 2017 dengan penghasilan Rp 2,5 juta per bulan.
Padahal, untuk kebutuhan sehari-hari, ia menghabiskan rata-rata Rp 4 juta-Rp 6 juta per bulan. Dengan kondisi demikian, dia harus menambal pengeluaran hingga Rp 6 juta. ”Itu aku keluar uang Rp 6 juta kalau ada jadwal (mengajar) kuliah tatap muka di kampus. Sehari bisa Rp 200.000,” ucapnya.
Selain mengajar, Sipin juga berprofesi sebagai peneliti dan konsultan lepas untuk mengerjakan proyek penelitian. Dari pekerjaan sampingan ini, ia menambal pengeluaran per bulannya hingga bisa menyisihkan sebagian untuk tabungan.
Dia bisa mengumpulkan rata-rata Rp 8 juta per bulan. Jumlahnya tak menentu. Pernah dalam setahun dia memperoleh Rp 13 juta pada Mei, Juni Rp 33 juta, Agustus Rp 6 juta, dan September Rp 12 juta. Namun, pada awal tahun, permintaan tenaga peneliti cenderung sepi.
“Pernah terjadi waktu pandemi, uang dalam rekening saya hanya 80.000 an. Saya benar-benar stress, rasanya pingin bentur-benturin kepala ke tembok. Saya pingin keluar rumah gak bisa, uang juga gak ada,” tutur anak ketiga dari empat bersaudara ini.
Seusai pandemi, ia mulai menerima tawaran kerja lagi. Tak hanya sebagai dosen dan peneliti, tetapi juga moderator seminar yang membuatnya bertemu banyak orang dan mendapat penghasilan lagi.
Dari titik itu, ia mengaku sekarang menjadi lebih hemat. ”Saya enggak lagi beli baju bermerek, beli sepatu, beli tumbler mahal, dan membatasi ngopi-ngopi atau makan di restoran mahal,” katanya.
Meski pernah merasa konsumtif, Sipin masih bisa menabung. Tabungannya diwujudkan dalam bentuk deposito, investasi tanah dan sawah di Jombang, serta rumah yang ditempatinya sekarang di kawasan Depok.
Kebiasaan menabung Sipin diawali dengan mengumpulkan uang dari berbagai beasiswa yang diperolehnya masa kuliah. Kemudian berlanjut menabung dari uang gaji dan honornya sebagai peneliti. ”Jadi, kalau aku dapat honor dari freelance peneliti, 30 persen kusisihkan,” tambah Sipin.
Tak memiliki layanan internet perbankan (internet banking) menjadi jurus Sipin untuk mengatur pengeluaran di tengah tak tentunya pemasukan. Dia memilih bertransaksi dengan kartu debit dan sejumlah layanan dompet digital. ”Cara ini aman untuk menghambat kebocoran (dalam berbelanja),” ujarnya.
Setiap bulan dia membelanjakan 50 persen pengeluarannya untuk makan sehari-hari sekaligus mengurus rumah. Biaya membeli pulsa dan membayar listrik kira-kira Rp 500.000 per bulan. Dia juga menganggarkan 20 persen pengeluarannya untuk hiburan, salah satunya bekerja dari cafe. ”Untuk healing, ngopi-ngopi di kafelah,” tambahnya.
Sebanyak 30 persen pengeluaran digunakan untuk ongkos transportasi angkutan umum dan ojek daring. Terkadang dia memilih mengajar secara daring dari rumah untuk menghemat ongkos.
Sejauh ini, Sipin masih merasa belum stabil dalam hal keuangan dan mengkhawatirkan hari tuanya kelak.
”Gimana kontinuitas keuangan saya? Saya bukan PNS, juga enggak punya BPJS Ketenagakerjaan,” katanya dengan nada cemas.
Akhirnya yang bisa dilakukan adalah bertahan pada pekerjaannya sebagai dosen dan peneliti. Ia menjaga kestabilan keuangan dengan mengurangi gaya hidup ‘hedon’ dan tidak utang. Angan-angannya adalah bisa membangun rumah di atas tanah yang dibelinya 10 tahun yang lalu di kampung dengan uang tabungannya.
Berikutnya kisah kelas menengah yang sudah menikah diceritakan Ira Karunia. Umur Ira menjadi kaum urban Jabodetabek masih sangat muda. Sekitar dua tahun ini ia bekerja di Jakarta karena mengikuti suaminya yang lebih dulu bekerja di Jakarta.
Ia bekerja sebagai guru kursus bahasa inggris. Sama seperti Sipin, gajinya pun belum menyentuh angka dua digit. Saat ini, gaji Ira dan suaminya pun dirasa ngepas untuk menutup pengeluaran bulanan keluarganya. Apalagi, ditambah cicilan pinjaman rumah yang baru akan dimulai bulan Maret.
Pengeluaran pribadinya sekitar Rp 6 juta per bulan. Porsi terbesar digunakan untuk membayar sewa rumah, bayar listrik, dan air. Setelahnya dialokasikan untuk kebutuhan makan sehari-hari dan biaya transportasi. Ia memasak sendiri agar bisa berhemat.
Adapun untuk transportasi, ia tidak sepenuhnya bisa berhemat. ”Tempat kerja saya jauh dari transportasi publik, jadi saya harus pakai angkutan daring dengan harga yang lumayanlah,” keluhnya.
Baca juga : Kelas Menengah Menguras Gaji untuk Mobil dan Rumah
Pengeluaran untuk rumah, baik untuk sewa/kontrak maupun cicilan pembelian rumah, menjadi porsi terbesar pengeluaran kelompok calon kelas menengah (aspiring middle class) ataupun kelas menengah (middle class).
Dari pengolahan tim Jurnalisme Data Kompas dari data mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2021, pengeluaran keluarga untuk sewa/cicilan rumah calon kelas menengah Rp 504.822 per bulan dan kelas menengah mengeluarkan uang dua kali lipat lebih banyak untuk sewa/kontrak rumah, yakni Rp 1,01 juta.
Meski gaji Ira dan suami digunakan hampir separuhnya untuk membayar kredit rumah, mereka merasa keputusan membeli rumah adalah tepat.
”Punya rumah itu untuk jangka panjang. Keluarga kita akan bertambah dengan anak-anak. Kita juga mau lingkungan yang kondusif dan sehat untuk anak, saya dan suami. Kalau kita tinggal di apartemen terus, bakal tidak bisa menampung keluarga ke depan dengan kehadiran anak-anak,” ujar Ira, yang sebelumnya tinggal di apartemen.
Uang cicilan rumah per bulan menggunakan alokasi porsi pengeluaran yang awalnya digunakan untuk membayar sewa apartemen dan iuran pemeliharaan lingkungan apartemen, ditambah dengan memperkecil uang jajan.
”Ya, bulan depan kita sempitkan lagi uang jajan kita berdua. Saya akan mengurangi jajan kopi. Nah pas banget kebetulan di sekitar sini enggak ada coffee shop terdekat. Bisa membantu untuk ngirit jajan,” kata Ira dengan tertawa.
Ira dan suami juga mempunyai kebiasaan baik menabung. Setiap bulan secara rutin mereka menyisihkan Rp 500.000-Rp 1 juta di awal gajian.
”Di awal terima gaji, kita masing-masing menyisihkan uang tunai, masing-masing orang bisa Rp 100.000 atau Rp 200.000, lalu dikumpulkan di tempat khusus,” katanya.
Dia merasa cukup disiplin untuk tetap menyimpan uang tabungan dan tidak tergoda untuk kebutuhan meningkatkan gaya hidup. ”Saya enggak akan pakai uang tabungan. Saya agak pelit untuk beli baju, tas, ataupun sepatu dan bisa memikirkan berbulan-bulan kalau untuk beli baju,” katanya dengan tegas.
Bahkan, kedisiplinan itu juga berlaku untuk suaminya jika akan membeli barang. ”Harus ada proposal yang jelas, barang itu untuk kebutuhan apa,” tambahnya sambil tertawa.
Menurut dia, uang tabungan itu penting untuk kebutuhan darurat, misalnya saat sakit atau kecelakaan.
Ke depan, ia berangan-angan untuk menambah penghasilan dari hobinya merajut. Hobi yang baru ditekuninya dua tahun terakhir ini.
Baca juga : Aku Punya Tabungan, Maka Aku Aman
Gaji banyak jika tidak dikelola dengan baik bakal habis pada akhirnya. Menurut Lolita Setyawati, perencana keuangan, penting untuk mengatur prioritas dan membuat perencanaan anggaran.
Lolita mengasumsikan, mereka yang berstatus lajang akan lebih sedikit beban yang ditanggungnya, pengecualian bagi mereka yang generasi roti lapis. Sebaiknya, untuk lajang, dialokasikan 40 persen pengeluaran untuk kebutuhan, keinginan (20 persen), dan tabungan untuk investasi (40 persen).
”Jadi, besarkan tabungan dan investasi dulu karena nanti kalau sudah menikah kebutuhan sudah lebih banyak. Banyak tanggungan dan akhirnya enggak bisa lagi mencapai target tabungan atau investasi yang cukup besar,” ucapnya.
Setelah menikah, persentase kebutuhan akan lebih banyak, yakni 60 persen dari gaji. Diikuti dengan alokasi keinginan dan tabungan masing-masing 20 persen. Target keuangan untuk menabungnya adalah punya rumah dan dana pendidikan anak.
Lantas, kapan sebaiknya mulai menabung, padahal sisa gajinya mungkin sedikit?
Dalam hal ini, Lolita menyarankan agar berapa pun sisa gaji dimasukkan ke dalam instrumen investasi, seperti reksa dana atau emas digital. Ini membiasakan seseorang untuk disiplin menabung, bukan melihat besaran nominalnya.
“Tidak apa-apa nabung kecil banget, mungkin cuma bisa Rp50.000 per bulan. Kalau kita tidak mulai-mulai, sampai kapan mau nunggu banyak dulu bisa nabung?” kata dia.
Baca juga : Indonesia Cemas 2045, Pendapatan Kelas Menengah Lebih Kecil dari Pengeluaran
Jika memang gaji masih kurang untuk mencukupi kebutuhan keluarga, hal yang dilakukan adalah menambah pekerjaan sampingan. Namun, sebelumnya bisa menambah kemampuan diri dengan ikut sertifikasi atau kursus untuk meningkatkan penghasilan.
Dengan demikian, status lajang atau menikah memiliki tantangannya masing-masing dalam mengelola keuangan. Semoga tak ada lagi kalimat yang terucap, ”Kamu kapan nikah? Enak, ya, uangnya banyak. Pinjem dulu seratuslah”, atau ”Kalian ini berani banget nikah, padahal finansial belum stabil! Mikir-mikir dulu harusnya.”
Rekomendasi Artikel Pilihan
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.