Sejumlah orang dewasa memainkan kembali permainan tradisional yang pernah mereka rayakan di masa kanak-kanak. Ada kesadaran dan hal berbeda yang mereka dapatkan saat main gasing, sumpit, dan belogo di usia tak lagi muda.
Oleh Sucipto
13 Des 2023 03:00 WIB · Nusantara
Kami datang untuk kedua kalinya ke tempat ini lantaran tak menemukan kegiatan berarti di hari sebelumnya: rumah adat yang kosong, panggung kesenian yang sepi, dan lapangan yang sunyi. Kami hanya menemukan sebuah warung di sudut lokasi yang terdapat kehidupan. Salah seorang yang sedang mengobrol di sana meminta kami untuk datang keesokan harinya.
Orang itu mengatakan, ada kegiatan menarik yang bisa dilihat, yakni para pegiat olah raga tradisional yang berlatih permainan anak-anak “jadul”. Dan, ia meyakinkan kami bahwa kunjungan di hari selanjutnya akan berkesan. Sebab, akan ada orang dewasa—beberapa sudah usia lanjut—memainkan permainan tradisional yang di masa silam dimainkan oleh anak-anak.
Keesokan harinya, Minggu (11/6/2023), kami kembali dan menjumpai suasana berbeda. Beberapa orang berdiri di lapangan di samping rumah adat Desa Wisata Guntung, Kelurahan Guntung, Kecamatan Bontang Utara, Kota Bontang, Kalimantan Timur. Beberapa orang memicingkan mata sambil mengarahkan sumpit ke arah sasaran. Di belakang mereka terlihat beberapa orang melilit gasing dan melemparkannya ke tanah.
Di sisi lain tempat mereka bermain, sebuah karpet merah digelar yang menjadi arena permainan logo. Itu semua adalah permainan tradisional yang di masa silam dimainkan oleh anak-anak di tempat tersebut. Namun, pagi itu, semua yang bermain adalah orang dewasa dengan usia di atas 40 tahun. Dan, mereka terlihat begitu asik memainkannya.
Kenapa mereka memilih bermain kembali dengan permainan itu di usia yang tak lagi muda?
Kami datang untuk kedua kalinya ke tempat ini lantaran tak menemukan kegiatan berarti di hari sebelumnya: rumah adat yang kosong, panggung kesenian yang sepi, dan lapangan yang sunyi. Kami hanya menemukan sebuah warung di sudut lokasi yang terdapat kehidupan. Salah seorang yang sedang mengobrol di sana meminta kami untuk datang keesokan harinya.
Orang itu mengatakan, ada kegiatan menarik yang bisa dilihat, yakni para pegiat olah raga tradisional yang berlatih permainan anak-anak “jadul”. Dan, ia meyakinkan kami bahwa kunjungan di hari selanjutnya akan berkesan. Sebab, akan ada orang dewasa—beberapa sudah usia lanjut—memainkan permainan tradisional yang di masa silam dimainkan oleh anak-anak.
Keesokan harinya, Minggu (11/6/2023), kami kembali dan menjumpai suasana berbeda. Beberapa orang berdiri di lapangan di samping rumah adat Desa Wisata Guntung, Kelurahan Guntung, Kecamatan Bontang Utara, Kota Bontang, Kalimantan Timur. Beberapa orang memicingkan mata sambil mengarahkan sumpit ke arah sasaran. Di belakang mereka terlihat beberapa orang melilit gasing dan melemparkannya ke tanah.
Di sisi lain tempat mereka bermain, sebuah karpet merah digelar yang menjadi arena permainan logo. Itu semua adalah permainan tradisional yang di masa silam dimainkan oleh anak-anak di tempat tersebut. Namun, pagi itu, semua yang bermain adalah orang dewasa dengan usia di atas 40 tahun. Dan, mereka terlihat begitu asik memainkannya.
Kenapa mereka memilih bermain kembali dengan permainan itu di usia yang tak lagi muda?
Di antara orang-orang dewasa itu, Rita termasuk yang paling muda. Saat ditanya kenapa tertarik main sumpit, perempuan 45 tahun itu langsung berjongkok, memasukkan anak sumpit ke dalam batang sumpit, dan sebelah matanya memicing. Sesaat kemudian, anak sumpit meluncur lurus dan cepat mengenai sasaran berjarak 20 meter dari tempatnya berjongkok.
“Lihat, kan? Ini bagus untuk pernapasan,” kata dia.
Rita sadar, semakin bertambahnya usia, tubuhnya semakin tidak bisa digunakan untuk berolahraga yang berat, berbeda dengan saat usianya masih lebih muda. Untuk itu, sejak tahun 2008 dia mulai mencari kesibukan untuk menjaga kebugaran tubuh.
Suaminya memperkenalkan permainan tradisional itu saat Erau, gelaran budaya yang dilaksanakan masyarakat di Kelurahan Guntung, Kecamatan Bontang Utara. Suaminya membelikannya sumpit dan ternyata permainan itu memikatnya.
Kegiatan yang semula ia lakukan untuk mencari kesibukan lain di luar pekerjaan harian sebagai ibu rumah tangga, kini ia benar-benar geluti sebagai pegiat permainan tradisional.
Menurut dia, permainan sumpit ini unik. Dibutuhkan teknik bernapas yang baik agar anak sumpit meluncur lurus menuju sasaran. Di awal-awal bermain, ia menggunakan batang sumpit kayu dan anak sumpit yang juga dari kayu.
Namun, komposisi bahan itu ternyata tidak kuat dalam berbagai medan. Itu baru terasa pada tahun 2010, saat dia mengikuti perlombaan komunitas permainan tradisional di Singkawang, Kalimantan Barat. Saat itu, sejumlah warga dayak asal Serawak, Malaysia, juga turut bergabung. Rita heran, anak sumpit milik teman-temannya dari Malaysia itu melesat lurus dalam kondisi gerimis maupun panas.
Adapun anak sumpit miliknya kerap sulit meluncur di dalam lubang kayu saat kondisi lembab. Rita curiga, jangan-jangan material kayu yang ia gunakan untuk seperangkat sumpit itu tidak cocok saat cuaca lembab.
Akhirnya, ia memutuskan membeli sumpit yang digunakan oleh teman-temannya asal Malaysia itu. Setelah ia teliti, ternyata mereka menggunakan anak sumpit berbahan serat karbon atau fiber. Ia lantas meminta bantuan beberapa kenalan untuk membuat sumpit dengan spesifikasi yang ia butuhkan.
Anak sumpit, dalam bahasa masyarakat di Bontong disebut saha’, ia buat dari serat karbon. Ujung anak sumpit yang bakal menancap di sasaran dibuat meruncing. Anak sumpit di sisi lainnya dimodifikasi dengan ditempelkan gabus yang Rita sebut pimping. Itu berfungsi untuk menahan angin sehingga saat anak panah ditiup, ia bisa meluncur.
Adapun untuk batang sumpitnya dimodifikasi lebih modern. Dari bilah kayu yang dibelah, di tengahnya diletakkan semacam pipa kecil.
“Itu supaya anak sumpitnya bisa meluncur lebih licin,” kata dia.
Komposisi dan bahan itu ternyata mangkus dan sangkil. Seperangkat sumpit itu kulitasnya tetap terjaga dalam cuaca lembab, gerimis, maupun panas. Bahkan, menurut pengamatan Rita, laju sumpit dengan komposisi terbaru itu lebih lurus dan cepat jika dibandingkan bahan kayu.
Sumpit dengan bahan itu pula yang Rita dan timnya dari Bontang gunakan untuk bertanding dalam Festival Olahraga Rekreasi Nasional atau Fornas yang medio 2023 ini dilaksanakan di Bandung. Dengan olahraga rekreasi ini, Rita merasa napasnya terjaga karena setiap minggu dilatih.
“Napas tidak terjepit, banyak kawan, dan lewat olahraga sumpit ini setiap minggu terjaga silaturahmi dengan teman-teman,” kata dia.
Di sudut lain, Mustakim (63), melilit gasing dalam genggamannya dengan sebuah tali. Dengan cepat, ia melemparkan gasing itu ke gasing lain yang sedang berputar di sebuah alas. Seketika gasing milik lawannya itu terpental dan lambat laun berhenti berputar. Kawannya bertepuk tangan. Mustakim tersenyum.
“Dia memang jago gasing. Andalan kami,” kata Amiludin (63), pemilik gasing yang terpental.
Bagi Mustakim, bermain gasing selalu membawanya ke masa kanak-kanak: bebas, ceria, dan hidup tanpa beban. Gasing seolah membawanya ke lorong waktu dan energi muda kembali muncul. Untuk itulah dia tak pernah absen, bahkan hampir selalu datang awal, saat latihan bersama pegiat olahraga tradisional di Bontang.
“Seperti muda lagi! Napas jadi enak, tangan lebih kuat, dan ini yang penting: bahagia!” katanya terkekeh.
Layaknya Rita, Mustakim juga salah satu atlet gasing yang kerap mewakili Bontang dan Kaltim dalam ajang kompetisi Fornas atau olahraga tradisional. Di usia yang sudah kepala enam, Mustakim jadi lebih ceria menggerakkan badan saat bermain gasing: saat melempar gasing, berjongkok untuk mengambil gasing yang terpental jauh, hingga berlarian saat bercanda dengan teman sepermainan.
Hasbiah (56) mengeker sebuah sasaran dengan posisi nyaris bersujud. Di hadapannya, terdapat batok kelapa yang sudah dimodifikasi untuk permainan belogo. Belogo adalah permainan mirip olahraga hockey, tapi versi tradisional.
Alat belogo terdiri dari logo, batok kelapa yang sudah didesain berbentuk segitiga. Logo ini dipukul menggunakan stik sepanjang sekitar 30 centimeter. Stik dan logo itu dimainkan agar merubuhkan sasaran dengan tinggi sekitar 10 centimeter.
Saat berlatih, Hasbiah bermain vis a vis dengan Amiluddin (63). Mereka jongkok, berdiri, berjalan, dan terus begitu sampai permainan usai. Bagi Hasbiah, olahraga rekreasi ini cocok untuknya yang sudah punya anak dan cucu: ringan dan menyenangkan.
“Ini melatih kesabaran, fokus, dan tenang,” katanya.
Bagi Alimuddin yang beberapa giginya sudah tanggal, tak peduli menang atau kalah saat bermain belogo. Menurutnya, keceriaan saat bergurau atau melihat ekspresi kecut dan jenaka kawan-kawannya sudah bisa membutnya bahagia dan turut tertawa lepas.
“Bahagia itu yang bikin sehat. Selain itu, saya main belogo tiga kali putar sudah keringatan. Naik, jongkok, kembung di perut kempes sudah,” katanya.
Rekomendasi Artikel Pilihan
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.