Puisi-puisi Joko Pinurbo
Joko Pinurbo lahir di Sukabumi, 11 Mei 1962, bermukim di Yogyakarta. Wafat di Yogyakarta, Sabtu, 27 April 2024.
Perjamuan Khong Guan
Di kaleng khong guan
hidup yang keras dan getir
terasa renyah seperti rengginang.
Berkerudungkan langit biru,
ibu yang hatinya kokoh membelah
dan memotong-motong bulan
dan memberikannya
kepada anak-anaknya yang ngowoh.
Anak-anak gelisah
sebab ayah mereka
tak kunjung pulang.
”Ayahmu dipinjam negara.
Entah kapan akan dikembalikan,” si ibu menjelaskan.
Lalu mereka selfi di depan
meja makan: ”Mari kita berbahagia.”
Si ayah ternyata
sedang ngumpet di belakang,
menghabiskan remukan rengginang.
(Jokpin, 2019)
Lebaran Khong Guan
Ketika aku tiba
di ambang pelukmu,
kudengar kumandang rindu
dan pekik petasan
di dalam kaleng khong guan.
(Jokpin, 2019)
Hujan Khong Guan
Kau terpana
mendengar hujan jatuh
di atas kaleng khong guan
yang diletakkan
seorang bocah
di depan rumah.
Bocah itu
tampak ketakutan
melihat kau
menatap wajahnya
dengan heran.
Sesungguhnya
ia hanya takut
menjadi dewasa
sebab ketika dewasa
ia akan menafsirkan hujan
sebagai berkah
atau bencana,
padahal ia ingin
hujan tetaplah hujan.
(Jokpin, 2019)
Tidur Khong Guan
Bocahmu yang nakal
tertidur lelap sambil mendekap
kaleng khong guan
yang sudah kosong.
Saat bangun dan membuka
kalengnya, ia girang
menemukan dua potong wafer
yang terselip di antara
mimpi-mimpinya
yang manis dan tidak logis.
(Jokpin, 2019)
Minuman Khong Guan
Tak ada yang lebih tabah
dari jamaah Sapardi:
pagi-pagi sebelum beribadah mandi
sudah membuka kaleng khong guan
berisi hujan bulan Juni
dan menjadikannya
minuman pereda nyeri.
(Jokpin, 2019)
Sabda Khong Guan
Di tengah hari-hari
yang penuh murka dan sengketa,
kulihat gambarmu yang kinclong
di kaleng khong guan, Gus,
sedang bercengkerama dengan senja
yang sebentar lagi sirna
dan dengan kalem kau berkata,
”Tak ada lagi yang bisa
dikatakan kata ketika kata
telah terisi benci dan prasangka.”
(Jokpin, 2019)
Agama Khong Guan
Rengginang bersorak
ketika agama-agama menyatu
dalam kaleng khong guan.
(Jokpin, 2019)
Keluarga Khong Guan
Banyak orang penasaran:
mengapa sosok ayah
dalam keluarga khong guan
tak pernah tampak di meja makan?
Kata anak laki-lakinya,
”Ayahku sedang
menjadi bahasa Indonesia
yang terlunta di antara
bahasa asing dan bahasa jalanan.”
Anak perempuannya
menyahut, ”Ayahku
sedang menjadi nasionalisme
yang bingung dan bimbang.”
Si ibu angkat bicara,
”Ayahmu sedang menjadi
koran cetak yang kian
ditinggalkan pembaca dan iklan.”
”Semoga Ayah tetap
terbit dari timur, ya, Bu,” ujar
kedua anak yang pintar itu.
”Bodo amat ayahmu
mau terbit dari mana,” balas si ibu.
”Yang penting bisa pulang
dan makan bersama.”
(Jokpin, 2019)
Mudik Khong Guan
Kaleng khong guan terbang
membawa hatiku yang bimbang
menuju kampung halaman
yang tak punya lagi halaman.
(Jokpin, 2019)
Doa Khong Guan
Doa ibu yang diperam
dalam kaleng khong guan
sudah matang, sudah siap
dihidangkan di meja makan
untuk anaknya yang entah
kapan akan pulang.
(Jokpin, 2019)
Bingkisan Khong Guan
Mari kita buka
apa isi kaleng khong guan ini:
biskuit
peyek
keripik
ampiang
atau rengginang?
Simsalabim. Buka!
Isinya ternyata
ponsel
kartu ATM
tiket
voucer
obat
jimat
dan kepingan-kepingan rindu
yang sudah membatu.
(Jokpin, 2019)
Hati Khong Guan
Hatiku yang biasa-biasa saja
sudah menjadi biskuit
dalam kaleng khong guan.
Mula-mula dicuekin,
tak membangkitkan selera,
lama-lama, haha, habis juga.
(Jokpin, 2019)
Catatan: Puisi-puisi ini dimuat di harian Kompas pada 31 Agustus 2019. Dimuat ulang untuk mengantar kepergian Joko Pinurbo.