Dukungan Parlemen Tentukan Nasib Demokrasi
Sikap politik sejumlah parpol terkait dukungannya terhadap pemerintahan mendatang sangat menentukan jalannya demokrasi.
Pemerintahan yang terbentuk dari proses demokrasi, terutama sejak era Reformasi, selalu tak bisa lepas dari kebutuhan akan dukungan mayoritas di parlemen. Tak heran koalisi yang terjalin pada pemilu tak selalu berbanding lurus dengan koalisi di pemerintahan.
Gejala ini sepertinya akan diteruskan oleh pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang sudah ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2024 oleh KPU pada 24 April 2024.
Tak mengherankan jika kemudian presiden terpilih ini menjalin komunikasi dengan ketua umum partai politik yang bukan pengusungnya di pemilu. Di antaranya adalah bertemunya Prabowo dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar. Dua pertemuan ini memberikan sinyal bahwa pemerintahan baru ke depan masih membutuhkan dukungan parlemen yang lebih dari parpol pengusungnya di pilpres.
Koalisi pengusung Prabowo-Gibran sudah menyiapkan kursi menteri untuk parpol yang bergabung setelah Pilpres 2024 usai, termasuk di dalamnya Nasdem dan PKB.
Baca juga: Posisi Politik PKS Belum Diputuskan, Salim Segaf Tekankan Kebersamaan
Hal ini makin dikuatkan dengan pernyataan Surya Paloh yang disampaikan setelah pertemuan dengan Prabowo. Ketua Umum Partai Nasdem ini menyatakan partainya akan bergabung dalam barisan pendukung Prabowo-Gibran dengan membuat koalisi parpol pendukung pemerintahan baru ini menguasai separuh lebih kursi di DPR periode 2024-2029 (Kompas, 26/4/2024).
Selanjutnya, Prabowo juga bertemu dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar pada 28 April lalu. Dalam pertemuan ini, Muhaimin menyatakan PKB telah menitipkan delapan agenda perubahan kepada pasangan Prabowo-Gibran.
Pertemuan itu jelas memberikan sinyal bahwa Prabowo-Gibran memang berupaya membuka pintu bagi bergabungnya Nasdem dan PKB, parpol pengusung capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, ini dalam pemerintahannya lima tahun ke depan. Tak hanya itu, koalisi pengusung Prabowo–Gibran sudah menyiapkan kursi menteri untuk parpol yang bergabung setelah Pilpres 2024 usai, termasuk di dalamnya Nasdem dan PKB.
Jika skenario Nasdem dan PKB bergabung, semakin menguatkan tesis selama ini yang menyatakan bahwa koalisi di kontestasi pilpres selalu tidak berbanding lurus dengan koalisi di pemerintahan. Hal ini terlihat jika mengacu pada hasil simulasi Litbang Kompas terkait potensi perolehan kursi parpol di DPR dari hasil Pemilu 2024.
Dari hasil simulasi tersebut, skenario pertama bisa merujuk pada desain koalisi di pilpres, yakni pasangan Prabowo-Gibran hanya akan menguasai 280 kursi atau setara 48,3 persen. Jumlah kursi ini merupakan akumulasi dari kursi yang diraih empat partai politik pengusung Prabowo-Gibran yang lolos ambang batas parlemen, yakni Partai Golkar (102 kursi), Gerindra (86 kursi), Partai Amanat Nasional (48 kursi), dan Demokrat (44 kursi).
Jika skenario pertama ini terjadi, parpol yang menguasai kursi di luar koalisi pengusung Prabowo-Gibran di pilpres akan menguasai lebih banyak kursi di DPR. Mereka adalah PDI-P dengan 110 kursi, Nasdem (69 kursi), PKB (68 kursi), dan PKS (53 kursi). Total kursi DPR dari empat parpol ini mencapai 300 kursi, setara 51,7 persen dari seluruh kursi DPR.
Baca juga: Pertimbangkan Berbagai Masukan, PDI-P Gelar Rakernas Rumuskan Arah Politik
Skenario tanpa PDI-P
Tentu saja, jika mengikuti skenario tersebut, Prabowo-Gibran belum menguasai mayoritas parlemen nasional. Untuk itu, upaya menjalin komunikasi dengan Nasdem dan PKB dirajut lebih cepat pascapenetapan pasangan capres-cawapres terpilih.
Jika Nasdem dan PKB bergabung, kekuatan pemerintahan Prabowo-Gibran bertambah menjadi 417 kursi atau sebanding dengan 71,9 persen dari total kursi DPR. Sisanya berada di luar pemerintahan, yakni menyisakan PDI-P dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebanyak 163 kursi atau setara 28,1 persen. Inilah skenario kedua jika pemerintahan akan berjalan tanpa melibatkan PDI-P dan PKS.
Jika mengacu pada pengalaman di pemilu-pemilu sebelumnya, pemerintahan ditopang lebih dari 70-80 persen kekuatan parlemen, skenario ini lebih berpeluang terjadi dengan sejumlah pertimbangan. Di antaranya adalah pertimbangan ”kecukupan”. Dengan total 71,9 persen koalisi pendukung pemerintah di parlemen relatif akan lebih stabil karena menguasai mayoritas kursi di DPR. Artinya, kebijakan pemerintah akan lebih terjamin mendapatkan dukungan di parlemen.
Pertimbangan lain adalah soal ”kepatutan”. Artinya, dengan menyisakan kekuatan parpol di luar pemerintahan, yakni PDI-P dan PKS dengan total 28,1 persen kursi, pemerintahan Prabowo-Gibran tetap membuka ruang kekuatan penyeimbang untuk menjaga iklim demokrasi terjaga dengan fungsi checks and balances.
Terakhir adalah skenario ketiga, yakni kondisi yang sama pada skenario kedua, tetapi ditambah dengan salah satu parpol, antara PDI-P atau PKS. Hal ini tak lepas dari wacana yang berkembang bahwa kedua parpol ini berpeluang membuka komunikasi dengan presiden terpilih Prabowo.
Dalam sebuah kesempatan muncul wacana soal rencana pertemuan Prabowo dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Termasuk juga dengan PKS yang berupaya merancang pertemuan dengan Prabowo. Sejauh mana kedua parpol ini bisa bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran, tetap tergantung dari psikologi politik kedua partai ini.
Bagi PDI-P, hubungan dengan Presiden Joko Widodo yang cenderung dingin pascaperubahan konfigurasi politik di pilpres akan membawa beban politik ketika pintu untuk bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran dibuka.
Baca juga: PDI-P Tidak Ditinggalkan, Gibran: Bergabung ke Pemerintah Keputusan Partai
Beban politik
Psikologi politik yang dimaksud adalah potensi beban politik yang dibawa PDI-P dan PKS. Bagi PDI-P, hubungan dengan Presiden Joko Widodo yang cenderung dingin pascaperubahan konfigurasi politik di pilpres akan membawa beban politik ketika pintu untuk bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran dibuka.
Hal yang sama akan dihadapi PKS. Keberadaan Partai Gelora yang jadi bagian pendukung Prabowo-Gibran tentu membawa beban politik tersendiri bagi PKS karena sejarah merekam kelahiran Gelora tak bisa dilepaskan dari sejarah ”konflik” internal PKS karena banyak tokoh PKS eksodus ke Partai Gelora.
Namun, terlepas dari beban politik tersebut, bukan berarti skenario ketiga ini tertutup peluangnya meskipun jalannya tetap tidak mudah. Hubungan PDI-P dengan Jokowi memang dingin. Namun, hubungan partai ini dengan Prabowo relatif tidak ada masalah. Apalagi sejarah mencatat, Megawati dan Prabowo pernah jadi pasangan capres-cawapres pada Pemilu 2009.
Upaya PDI-P yang akan menentukan sikap politiknya di forum rapat kerja nasional pada Mei 2024 tentu akan menjawab kepastian ke mana arah partai ini lima tahun ke depan. Hal yang sama berlaku bagi PKS.
Jika skenario ketiga yang terjadi, yakni salah satunya, antara PDI-P atau PKS, bergabung ke dalam pemerintahan, kekuatan oposisi akan semakin mengecil dan melemah. Melemahnya kekuatan oposisi di parlemen secara linier akan melemahkan demokrasi itu sendiri.