Meski Minim Partisipasi Publik, UU Daerah Khusus Jakarta Tetap Diteken Presiden
Terkait pemindahan ibu kota, UU DKJ mengatur masa transisi pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke IKN di Kaltim.
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun mekanisme pembahasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta atau UU DKJ dinilai minim partisipasi publik, Presiden Joko Widodo tetap menandatangani UU DKJ tersebut. Undang-undang ini mengatur tentang Daerah Khusus Jakarta, organisasi berikut dengan kewenangannya. Terkait pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara, sebagaimana diatur dalam ketentuan peralihan UU tersebut, nantinya akan ditetapkan dalam keputusan presiden tersendiri.
Keputusan presiden (keppres) mengenai pemindahan ibu kota negara pun tergantung pada kesiapan IKN sebagai ibu kota negara dengan segala kebutuhan dan keperluannya. Presiden Jokowi baru akan menerbitkan keppres pemindahan ibu kota negara jika IKN di Kalimantan Timur itu benar-benar sudah siap, baik infrastruktur maupun sumber daya manusianya.
UU DKJ telah ditandatangani Presiden Jokowi pada 25 April 2024. Disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (1 dan 2) UU ini, Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta diubah menjadi Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Provinsi Daerah Khusus Jakarta merupakan daerah otonom pada tingkat provinsi yang berkedudukan sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global.
Sebelum disahkan oleh Presiden Jokowi, Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta dibahas oleh Panitia Kerja RUU DKJ hanya dalam waktu empat hari (Kompas, 19/3/2024). Selain singkat, proses pembahasannya dinilai juga tidak melibatkan partisipasi publik.
Sementara itu, kepada Kompas, Kamis (2/5/2024), Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan, pembahasan UU DKJ sudah melalui prosedur perundang-undangan ke DPR dengan adanya surat presiden (surpres) dan pembahasan di Badan Legislasi dan Panja DPR, sebelum disahkan di Sidang Paripurna DPR.
Baca juga: RUU DKJ Bakal Dikebut, Baleg DPR Ingatkan Jangan seperti UU Cipta Kerja
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UKSW Salatiga Umbu Rauta mengatakan, secara formal, ketika RUU Provinsi DKJ disetujui bersama antara DPR dan Presiden, selanjutnya disahkan dan diundangkan oleh Presiden, UU tersebut telah berlaku.
Namun, menurut Umbu, proses pembentukan RUU menjadi UU tak terhindarkan dari agenda politik tertentu sehingga berpotensi dan bahkan sering tidak taat pada tahapan pembentukan, seperti keterlibatan publik. ”Oleh karenanya jika dalam pembahasan RUU Provinsi DKJ dinilai tidak transparan, pihak yang berkepentingan memiliki peluang untuk mengajukan pengujian formil UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi,” kata Umbu dihubungi dari Jakarta, Jumat (3/5/2024).
Oleh karenanya jika dalam pembahasan RUU Provinsi DKJ dinilai tidak transparan, pihak yang berkepentingan memiliki peluang untuk mengajukan pengujian formil UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Langgar ”Meaningful public participation”
Senada dengan pernyataan Umbu, pakar hukum tata negara yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto mengatakan, pengesahan UU DKJ oleh Presiden Jokowi bertentangan dengan prinsip meaningful public participation dalam pembentukan undang-undang. ”Lebih kental transaksi politik,” kata Aan.
Aan mencontohkan, proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan memimpin Provinsi Daerah Khusus Jakarta berubah-ubah dari semula penunjukan oleh presiden, kemudian menjadi penunjukan oleh DPR, dan kini pemilihan langsung.
”Keputusan itu diambil bukan karena partisipasi masyarakat, melainkan karena negosiasi para pemegang kepentingan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak dianggap dalam proses ini,” kata Aan.
Keputusan itu diambil bukan karena partisipasi masyarakat, melainkan karena negosiasi para pemegang kepentingan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak dianggap dalam proses ini.
Dalam salinan UU DKJ, aturan mengenai kepemimpinan gubernur dan wakil gubernur pada pemerintahan diatur dalam Pasal 9. Pasal tersebut menjelaskan bahwa penyelenggara pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Jakarta terdiri atas gubernur dan DPRD dibantu oleh perangkat daerah.
”Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta dipimpin oleh satu orang gubernur dibantu oleh satu orang wakil gubernur yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah,” demikian bunyi Pasal 9 UU DKJ.
Gubernur dan wakil gubernur dipilih secara langsung melalui pemilihan umum kepala daerah. Pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen akan ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Aan mengatakan, seharusnya pembuatan UU melibatkan masyarakat. Pelibatan itu mulai dari distribusi RUU kepada masyarakat sebagai hak informasi. Setelah itu, masyarakat dapat membaca dan memberikan masukan. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk mendengarkan dan mempertimbangkan masukan masyarakat, serta memberi penjelasan apabila masukan itu ditolak.
Kalaupun aspirasi masyarakat tidak diterima, masyarakat punya hak untuk menerima penjelasan mengapa tidak diterima.
”Kalaupun aspirasi masyarakat tidak diterima, masyarakat punya hak untuk menerima penjelasan mengapa tidak diterima,” kata Aan.
Dengan tidak dijalankannya proses ini, menurut Aan, UU DKJ cacat formil dan berpotensi digugat kepada Mahkamah Konstitusi. Aan menyayangkan, proses pembentukan UU DKJ yang singkat dan tanpa melibatkan partisipasi publik terjadi seperti ketika pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU Ibu Kota Nusantara.
Pembentukan UU tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat, menurut Aan, bersifat represif dan tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat.
”Dampak jangka panjang adalah hilangnya kepercayaan publik. Publik tidak akan menaati hukum karena merasa itu bukan hukum mereka. Selain itu, penegakan hukum juga akan memainkan kekuasaan, serta citra negara hukum jadi buruk,” katanya.
Dampak jangka panjang adalah hilangnya kepercayaan publik. Publik tidak akan menaati hukum karena merasa itu bukan hukum mereka.
Secara konkret, menurut Aan, Mahkamah Konstitusi harus bisa membatalkan UU DKJ sebagai pembelajaran kepada pemerintah. ”Kalau tidak, esensi negara demokrasi dari rakyat untuk rakyat akan berubah jadi dari penguasa untuk penguasa,” kata Aan.
Pemindahan tunggu keppres
Dalam UU DKJ disebutkan bahwa terdapat masa transisi pemindahan ibu kota negara agar Jakarta dapat merencanakan penyesuaian secara bertahap dan seiring dengan pembangunan yang sedang berjalan di IKN. Hal tersebut tertuang pada Pasal 63 UU DKJ yang berbunyi Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tetap berkedudukan sebagai ibu kota negara sampai adanya keputusan presiden mengenai pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke IKN.
Baca juga: RUU DKJ Disahkan, Pemindahan Ibu Kota Tunggu Keputusan Presiden
Pasal 71 UU DKJ mengamanatkan bahwa peraturan pelaksanaan atas UU DKJ ditetapkan paling lama dua tahun. ”Undang-undang ini mulai berlaku pada saat ditetapkan keputusan presiden mengenai pemindahan ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara,” bunyi ketentuan Pasal 73 UU ini.
Undang-undang ini mulai berlaku pada saat ditetapkan keputusan presiden mengenai pemindahan ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, pemerintah dan DPR telah memiliki visi yang sama terkait masa transisi pemindahan ibu kota negara. ”Tentang masa transisi adalah waktu perpindahan yang nantinya akan ditentukan presiden lewat produk aturan yang berada dalam otoritas presiden, baik perpres maupun keppres,” ujar Tito, Maret lalu.
Pratikno menambahkan, ”Yang jelas, tunggu kesiapan IKN dan keppresnya. Detailnya tanya Mendagri.”