Setelah Garut, Pangandaran Diguncang Gempa Berkekuatan M 3,7
Serangkaian gempa yang terjadi di lepas pantai selatan Jawa Barat ini perlu diwaspadai.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Gempa tektonik berkekuatan M 3,7 melanda Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Senin (29/4/2024) pukul 06.38 WIB. Pusat gempa berada di lepas pantai dengan jarak 84 kilometer arah barat daya dari pusat Pangandaran pada kedalaman 23 kilometer.
Kepala Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah II Tangerang Hartanto memaparkan, gempa tersebut berada pada koordinat 8,15 derajat Lintang Selatan dan 107,88 derajat Bujur Timur. Gempa dirasakan di wilayah Taraju, Cibalong, Cipatujah, Pamengpeuk, Bangbajang, dan Pangandaran dengan skala intensitas III MMI.
Gempa ini berasal dari aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Lempeng Eurasia yang berada di lepas pantai selatan Jabar. Dari hasil analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), lanjut Hartanto, episentrum gempa ada pada kedalaman 23 kilometer dan menghasilkan kekuatan M 3,7.
“Dampak gempa yang digambarkan para peta tingkat guncangan dan laporan masyarakat ini berupa getaran yang dirasakan beberapa orang dengan benda-benda ringan yang digantung bergoyang. Belum ada laporan terkait kerusakan bangunan dari dampak gempa ini,” ujarnya melalui rilis yang diterima di Bandung, Senin (29/4/2024).
Dari hasil pemantauan BMKG hingga pukul 07.13, Hartanto menyatakan tidak ada aktivitas gempa susulan. Dia juga mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sebelumnya, gempa merusak terjadi di lepas pantai selatan Jabar, Sabtu (27/4/2024) pukul 23.29, dengan perkiraan episentrum berjarak 156 kilometer arah barat daya dari pusat Kabupaten Garut. Gempa ini berada pada kedalaman 70 kilometer dengan kekuatan M 6,2.
Berdasarkan catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar, 17 kabupaten dan kota terdampak gempa tersebut. Hingga Minggu (28/4/2024) pukul 23.00, petugas mencatat 536 jiwa terdampak dan 255 rumah rusak. Sebanyak 8 rumah rusak berat, 56 rumah rusak sedang, dan 191 rumah rusak ringan.
”Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini, namun 11 orang dilaporkan luka-luka. Data tersebut masih dinamis dan dapat berubah karena semua masih dalam pendataan di lapangan. Masyarakat diharapkan tetap tenang dan ikuti arahan petugas,” kata Pranata Humas Ahli Muda BPBD Jabar Hadi Rahmat.
Pengamat kebencanaan dari Universitas Padjadjaran, Dicky Muslim, berpendapat, serangkaian gempa yang terjadi ini seharusnya sudah jadi pengingat bagi sejumlah pihak. Apalagi, daerah lepas pantai selatan Jabar dilewati oleh megathrust, yakni pertemuan dua lempengan di kedalaman dangkal dengan potensi gempa bumi yang tinggi.
Menurut Dicky, daerah pesisir selatan Jabar yang berpotensi bencana karena dekat dengan zona lempengan ini harus diwaspadai. Meskipun tidak bisa dipastikan, kekuatan gempa yang berasal dari aktivitas tektonik ini mampu menghasilkan guncangan hebat dan tsunami.
”Bagian selatan Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, hingga Pangandaran perlu diwaspadai. Adanya rangkaian gempa ini menjadi pengingat dari potensi bencana besar dari megathrust. Secara teoretis, gempa-gempa kecil ini menjadi awal sebelum melepaskan tegangan yang tinggi. Tidak ada yang tahu lokasi mana menyimpan tenaga besar dan kapan waktu terjadinya sehingga semua harus waspada,” katanya.
Dicky juga berharap semua pihak berkolaborasi untuk mitigasi bencana. Kerugian yang timbul akibat gempa ini tidak hanya terkait materil, tetapi juga berdampak pada berbagai aspek. Tidak hanya masyarakat yang diminta untuk waspada, pemerintah juga perlu memberikan pemahaman mengenai hidup di tengah lokasi rawan bencana.
Agar bisa melakukan ini, sumber daya manusia, dalam hal ini kuli bangunan, perlu ditingkatkan kapasitasnya.
Penguatan bangunan
Salah satu cara untuk mengantisipasi kerusakan parah yang timbul akibat gempa, lanjut Dicky, adalah dengan menguatkan struktur bangunan sesuai pedoman building code dan koefisien dasar bangunan. Aturan ini menjadi perhatian untuk menyesuaikan bangunan dengan karakteristik kawasannya.
Menurut Dicky, pendataan kondisi bangunan di daerah berpotensi bencana perlu dilakukan menyesuaikan dengan aturan tersebut. Petugas bisa saja menggunakan media sosial untuk menghimpun laporan dari masyarakat, kemudian menjadi data dalam menentukan kerawanan kawasan terhadap potensi bencana sehingga infrastrukturnya perlu dikuatkan.
Penguatan struktur, lanjut Dicky, bisa saja dilakukan tanpa harus membongkar bangunan. Dia menyarankan metode retrofitting, yakni menambah teknologi baru pada bangunan dengan sistem lama. Bangunan yang ada bisa ditambah kolom atau metode penguatan lain sehingga mampu bertahan dalam guncangan gempa.
”Agar bisa melakukan ini, sumber daya manusia, dalam hal ini kuli bangunan, perlu ditingkatkan kapasitasnya. Sudah bukan saatnya lagi membangun asal-asalan, terutama di daerah berpotensi bencana,” ujarnya.