Mencerna Polah Terkini Gunung Merapi
Sudah tiga tahun lebih Merapi menunjukkan aktivitas yang tinggi. Apa yang sebenarnya terjadi pada gunung api itu?
Sejak 5 November 2020, Gunung Merapi berstatus Siaga (Level III), satu tingkat di bawah level bahaya tertinggi, yakni Awas. Status yang ditetapkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi atau BPPTKG itu masih bertahan hingga hari ini.
Terkini, gunung di perbatasan Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu menyemburkan rentetan awan panas guguran (APG) sebanyak 11 kali pada Kamis hingga Jumat (18-19/1/2024). Rinciannya, dua kali APG pada Kamis malam dan sembilan kali APG sepanjang Jumat dini hari hingga pagi.
Semua APG itu meluncur ke sektor barat daya, tepatnya di alur Sungai Bebeng, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dengan jarak luncur terjauh 3 kilometer (km). Adapun durasi setiap APG berkisar 110 detik hingga 312 detik.
Jarak luncur semua APG pada Jumat lalu masih berada dalam radius bahaya yang ditetapkan BPPTKG untuk Sungai Bebeng, yakni sejauh 7 km. APG pun tidak sampai menjangkau kawasan permukiman di lereng Merapi.
Baca juga: Sejak Dini Hari, Merapi Muntahkan 9 Kali Awan Panas
Kepala BPPTKG Agus Budi Santoso, Jumat, menyebut, rentetan APG ini merupakan peningkatan intensitas erupsi Merapi yang kesembilan kalinya sejak status Siaga pada 5 November 2020. Selama tiga tahun lebih ini, bisa dibilang Merapi mengalami erupsi setiap hari.
Meski begitu, Agus justru mensyukuri hal itu. Pasalnya, itu berarti Merapi melepaskan energinya secara bertahap atau sedikit demi sedikit. Ini berbeda dengan letusan eksplosif pada tahun 2010 saat Merapi mengeluarkan energi besar dalam satu waktu sekaligus sehingga menimbulkan bencana dahsyat.
Kondisi ini juga menandai kembalinya Merapi ke pola letusan khasnya, yakni pertumbuhan kubah lava yang diikuti dengan guguran lava dan awan panas, tanpa disertai ledakan. Di dunia vulkanologi, tipe letusan gunung api seperti itu bahkan dinamai sebagai tipe merapi.
Dua kubah
Awalnya, BPPTKG khawatir erupsi Merapi kali ini kembali bersifat eksplosif. Agus menjelaskan, sebelum menaikkan status menjadi Siaga pada 2020, pihaknya menemukan pola peningkatan data aktivitas yang mirip dengan masa sebelum erupsi eksplosif 2010. Hal ini terutama terkait data deformasi dan kegempaan. ”Alhamdulillah itu tak terjadi,” ucapnya.
Belakangan, BPPTKG menemukan jawaban atas peningkatan aktivitas itu, yakni ekstrusi atau proses keluarnya magma terjadi di tebing puncak sisi barat daya, di sebelah luar kawah. ”Biasanya ekstrusi magma adanya di tengah kawah,” ujarnya.
Baca juga: Pertama dalam Sejarah, Muncul Dua Kubah Lava di Kawah Merapi
Kondisi itu menyebabkan keunikan fase erupsi Merapi kali ini berupa munculnya dua kubah lava, yakni di tengah kawah dan di barat daya. ”Itulah sepertinya yang menyebabkan data kegempaan dan deformasi sangat tinggi, karena magma membutuhkan energi yang lebih besar untuk menerobos jalan keluar yang baru di tepi barat daya itu,” kata Agus.
Berdasarkan analisis foto udara terakhir yang dilakukan BPPTKG pada 10 Januari 2024, volume kubah lava barat daya diketahui sebesar 2,67 juta meter kubik. Adapun volume kubah lava tengah sebesar 2,36 juta meter kubik.
Namun, posisi kubah lava di sisi barat daya berada pada kemiringan. Hal ini membuatnya lebih rentan runtuh dan menjadi awan panas. Potensi itu akan meningkat saat terjadi hujan berintensitas tinggi di puncak gunung.
Baca juga: Memahami Karakter Erupsi Gunung Merapi
Magma membutuhkan energi yang lebih besar untuk menerobos jalan keluar yang baru di tepi barat daya itu.
Awan panas atau yang biasa disebut wedhus gembel oleh masyarakat sekitar menjadi momok paling ditakuti dalam erupsi Merapi. Pasalnya, semburan gas dan material vulkanik bersuhu ratusan derajat celsius itu dapat meluncur dengan kecepatan lebih dari 100 km per jam.
BPPTKG pun selalu mengingatkan adanya potensi bahaya awan panas dan guguran lava, terutama di alur sejumlah sungai di sektor selatan-barat daya dan tenggara. Sektor-sektor itu berada di wilayah Kabupaten Sleman, DIY, serta Kabupaten Magelang dan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Baca juga: Hujan Berpotensi Picu Banjir Lahar dan Awan Panas Guguran Gunung Merapi
Di selatan-barat daya, guguran lava dan APG dapat meluncur sejauh maksimal 5 km di Sungai Boyong serta maksimal 7 km di Sungai Bedog, Sungai Krasak, dan Sungai Bebeng. Adapun di tenggara, ancaman bencana itu dapat meluncur sejauh maksimal 3 km di Sungai Woro dan 5 km di Sungai Gendol.
Potensi bahaya juga mengintai dari lontaran material vulkanik apabila terjadi letusan eksplosif Merapi. Lontaran material dapat menjangkau radius 3 km dari puncak gunung setinggi 2.968 meter di atas permukaan laut tersebut.
Suplai magma
Meski sudah berlangsung lebih dari tiga tahun, belum diketahui kapan fase erupsi Merapi kali ini usai. Agus mengatakan, suplai magma masih terus mengalir dari perut Merapi sehingga erupsi diyakini belum akan berakhir dalam waktu dekat. ”Peningkatan intensitas erupsi pun sewaktu-waktu dapat terjadi kembali,” ujarnya.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang Edi Wasono mengatakan, dengan masih seringnya terjadi awan panas, semua desa di lereng Merapi diminta terus waspada. Desa-desa pun diharapkan tetap intensif melakukan pemantauan kondisi Merapi. ”Pemantauan dilakukan lewat kegiatan ronda dan siskamling,” katanya.
Teimuri, warga Dusun Babadan II, Desa Paten, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, mengatakan, warga masih terus melakukan ronda dan memantau kondisi Merapi setiap malam. Dusun itu berjarak sekitar 5 km dari puncak Merapi.
Setiap warga, lanjutnya, juga sudah menyiapkan tas yang sewaktu-waktu bisa langsung dibawa jika nantinya perlu mengungsi. Barang yang selalu ada di dalam tas tersebut adalah dokumen atau surat berharga, seperti sertifikat tanah dan ijazah.
Baca juga: Bertahan Hidup di Kawasan Rawan Erupsi Gunung Api
Pakar geologi dan manajemen bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, menyatakan, masyarakat harus beradaptasi dengan polah aktivitas Merapi saat ini.
Menurut Eko, upaya mitigasi yang dilakukan bisa disesuaikan dengan pola erupsi yang cenderung kembali ke era sebelum tahun 2010. Mitigasi bisa dilakukan dengan memperhatikan pertumbuhan kubah lava dan sektor yang cenderung tidak stabil sehingga berpotensi mengalami guguran material vulkanik.
Terkait kesiapan masyarakat lingkar Merapi dalam menghadapi ancaman erupsi saat ini, ia menuturkan, masyarakat perlu diingatkan untuk menggali kembali kapasitasnya. Program Wajib Latih Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Api pun perlu diperkuat lagi, termasuk dengan memperkuat Desa Tangguh Bencana (Destana).