Kinerja Tiga Unit PLTA Meningkat, PLN Dongkrak Kontribusi Energi Terbarukan di Sulut
PT PLN berhasil meningkatkan produksi listrik dari tiga pembangkit listrik tenaga air dalam sistem Sulawesi Utara dan Gorontalo secara signifikan sepanjang 2021. Batu bara dan solar diharapkan bisa terus tergeser.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
TONDANO, KOMPAS — PT Perusahaan Listrik Negara berhasil meningkatkan produksi listrik dari tiga pembangkit listrik tenaga air dalam sistem Sulawesi Utara dan Gorontalo secara signifikan sepanjang 2021. Proporsi energi baru terbarukan pun diharapkan terus menggeser batu bara dan solar, sumber emisi karbon terbesar di sektor kelistrikan.
Sepanjang 2021, PLTA Tonsealama di Minahasa mampu memasok 54,8 juta kilowatt jam (kWh) listrik ke sistem Sulut dan Gorontalo, atau meningkat 39,09 persen dari 39,4 juta kWh yang dihasilkan pada 2020. Pada periode yang sama, PLTA Tanggari I dan Tanggari II menghasilkan listrik sebesar 164,78 juta kWh, melonjak 30,01 persen dari 126,76 juta kWh.
Menurut Kepala Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkitan (UPDK) Minahasa PT PLN Andreas Arthur Napitupulu, performa ketiga unit pembangkit tersebut pada 2021 jauh lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. ”Total pada 2021 ada peningkatan produksi listrik sebesar 53,43 juta kWh atau 32,16 persen,” kata dia, Rabu (19/1/2021) di Tondano, Minahasa, Sulut.
Kinerja ketiga PLTA yang memanfaatkan aliran air dari Danau Tondano sebagai energi primer itu pun mampu menghemat biaya pokok produksi (BPP) listrik di sistem Sulut dan Gorontalo sebesar Rp 46,9 miliar. PT PLN hanya perlu membayar pajak air permukaan sebesar Rp 20 untuk setiap kWh listrik yang dihasilkan masing-masing unit pembangkit.
Penghematan itu berarti PLTA Tonsealama, Tanggari I, dan Tanggari II dapat meringankan beban kerja pembangkit yang biaya produksinya setingkat lebih mahal dalam sistem merit order, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong. Biaya energi primer pembangkit tersebut, yaitu panas bumi, sekitar Rp 899 per kWh.
Peningkatan produksi listrik dari ketiga PLTA pun juga berarti tambahan pendapatan bagi pemerintah daerah. Sepanjang 2021, pajak air permukaan yang diterima Pemporv Sulut mencapai Rp 4,39 miliar, meningkat Rp 1,06 miliar dibanding tahun 2020.
Andreas mengatakan, selama 2021 pihaknya menggencarkan upaya pembersihan Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano dari sampah dan eceng gondok agar tidak menghambat debit air yang masuk ke pipa intake masing-masing pembangkit. Ketinggian air dari permukaan ke dasar sungai di mulut Danau Tondano bisa dijaga di kisaran 340 sentimeter.
Di bendungan intake PLTA Tanggari I dan II, pengerukan dasar sungai juga dilakukan agar air yang ditampung bisa lebih banyak. ”Kami juga membangun check dam (bendung sabo) di intake Tanggari I agar muatan sedimen dari Sungai Rurukan bisa kami tahan. Jadi, pendangkalan di bendungan weir dan intake bisa dicegah,” ujar Andreas.
Selain itu, ada beberapa inovasi teknis juga dikerjakan, seperti modifikasi pemasangan sistem pendingin mesin pembangkit di PLTA Tonsealama dan Tanggari. Dengan begitu, mesin diharapkan tidak mati secara tiba-tiba sehingga mengganggu produksi listrik.
Manajer Unit Layanan PLTA Tonsealama Herbert Saragih mengatakan, saat ini tiga mesin PLTA berkapasitas total 14,38 megawatt (MW) itu mampu beroperasi sekaligus secara bersamaan. ”Bisa asalkan elevasi (ketinggian air) cukup,” ujar dia.
Emisi karbon
Peningkatan kinerja PLTA Tonsealama, Tanggari I, dan Tanggari II berpotensi menekan emisi karbon. Menurut Andreas, pada praktiknya, PLTP Lahendong yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) tetap dioperasikan maksimal. Penghematan biaya produksi justru lebih terasa di pembangkit yang energi primernya jauh lebih mahal, seperti PLTU Sulut 2 di Amurang, Minahasa Selatan, serta beberapa pembangkit bertenaga diesel.
”PLTA dan PLTP tetap kami maksimalkan karena keduanya menggunakan EBT. Kami memang didorong untuk mengoptimalkan seluruh pembangkit EBT eksisting. Ini salah satu pilar transformasi kami,” kata dia.
Kendati begitu, saat ini sistem kelistrikan Sulut dan Gorontalo baru saja ketambahan satu lagi PLTU yang menggunakan batu bara, yaitu PLTU Sulut 3 berkapasitas total 100 MW di Kema, Minahasa Utara. Sebelumnya sudah ada PLTU Sulut 2 (110 MW) dan PLTU Sulawesi Bagian Utara (Sulbagut) 1 dengan daya terpasang 100 MW.
Menurut Andreas, otomatis beban kerja PLTU Sulut 2 berkurang bukan semata-mata dari optimalisasi tiga unit PLTA. Namun, perkembangan ia nilai sebagai langkah awal menuju transformasi hijau yang beriringan dengan segera dimulainya penarikan pajak karbon oleh pemerintah.
Kini, PT PLN hanya memiliki dan mengoperasikan dua mesin pembangkit berkapasitas masing-masing 30 MW di PLTU Amurang. Adapun PLTU Sulbagut 1 dan PLTU Sulut 3 dikelola swasta. Karena itu, PT PLN baru mulai membayar pajak karbon mulai 2023. ”Tetapi aturannya saya belum tahu. Untuk sementara, pajaknya Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen,” ujar Andreas.
PLTA dan PLTP tetap kami maksimalkan karena keduanya menggunakan Energi Baru Terbarukan
Di lain pihak, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulut Theo Runtuwene mengatakan, optimalisasi PLTA tidak akan berarti besar jika PLTU tetap beroperasi maksimal, bahkan diperbanyak. Menurut dia, PLTU tidak hanya mencemari udara, tetapi juga dapat mengancam kehidupan pesisir.
”Salah satu yang jadi kekhawatiran saya adalah nasib mangrove (bakau). Pembangunan PLTU jelas menyebabkan pemangkasan mangrove, dan itu sama saja mencederai upaya kita untuk mengendalikan emisi karbon,” ujar Theo.
Theo juga mengungkapkan kekhawatirannya akan pencemaran laut akibat limbah batubara. Menurut dia, ikan-ikan yang ditangkap nelayan bisa saja mengandung zat-zat berbahaya. Para nelayan juga ia khawatirkan terusir dari tempat penangkapan yang sudah biasa ia datangi. Namun, ia mengaku Walhi belum melaksanakan penelitian maupun investigasi terkait dugaan itu.
Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup Sulut belum memberikan tanggapan mengenai dampak perkembangan kinerja sektor kelistrikan di Sulut terhadap upaya menekan emisi karbon maupun pencemaran lingkungan. Satuan kerja itu sedang menjalani pergantian pejabat sehingga belum ada pihak yang bisa memberikan keterangan.