Keluarga Indonesia menghabiskan uang sebesar Rp 3 triliun per tahun untuk belanja susu formula. Angka ini bisa membengkak jika program pemberian air susu ibu terhambat.
Oleh
INSAN ALFAJRI, DHANANG DAVID, IRENE SARWINDANINGRUM, ANDY RIZA HIDAYAT
·5 menit baca
Agen penjualan susu formula memeriksa produk yang terpajang di sebuah ritel di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat, Jumat (16/9/2022).
JAKARTA, KOMPAS - Besaran kebutuhan belanja susu formula oleh keluarga Indonesia diperoleh dari pengolahan data angka bayi yang tidak mendapat ASI dan kebutuhan susu formula per bayi setiap bulannya. Adapun sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Kesehatan RI, dan hasil pelacakan lapangan tim investigasi harian Kompas.
Terdapat lima provinsi dengan belanja susu formula paling banyak sepanjang tahun 2021 yakni Jawa Barat (Rp 541,4 miliar), Jawa Timur (Rp 426,5 miliar ), Sumatera Utara (Rp 284,8 miliar), Jawa Tengah (Rp 185,4 miliar), dan Banten (Rp 124,2 miliar). Jumlah ini adalah hasil pengalian antara bayi tanpa ASI dengan kebutuhan susu formula per bayi di masing-masing provinsi setiap bulan.
Jawa Barat selalu berada di posisi tertinggi dan nomor dua dalam belanja susu formula se-Indonesia selama tiga tahun terakhir. Pada 2019 belanja susu formula di wilayah ini sebesar Rp 615 miliar dan tahun 2020 Rp 465,2 miliar, nomor dua terbanyak setelah Jawa Timur.
Proporsi belanja susu formula keluarga di Jawa Barat rata-rata mencapai 12,17 persen dari upah per bulan pada tahun 2019. Proporsi belanja susu formula dari upah sempat menurun di tahun 2020 yakni sebesar 10,18 persen. Namun kembali meningkat di tahun 2021, yakni 12,98 persen. Proporsi belanja susu formula dari upah oleh keluarga di Jawa Barat juga tertinggi jika dibandingkan dengan rata-rata nasional yang berkisar 8 - 8,12 persen.
Menguras tabungan
Belanja susu formula ini memberatkan Tisa Tica (33), seorang ibu di Bandung, Jawa Barat. Konsumsi susu formula untuk anaknya yang berusia tujuh bulan berkisar Rp 1,6 juta hingga Rp 2 juta. Besar kecilnya nilai belanja susu formula tergantung banyaknya konsumsi susu anaknya. “Biaya susu formula memang terasa tinggi banget. Kebutuhan anak saya bisa 800 gram habis hanya dalam sepekan,” kata Tisa.
Jika dihitung dari proporsi penghasilan keluarga, kebutuhan belanja susu formula bisa mencapai 20 persen dari penghasilan. Tisa mengaku, pengeluaran belanja susu formula menguras tabungannya.
Konsumsi susu formula untuk anaknya yang berusia tujuh bulan berkisar Rp 1,6 juta hingga Rp 2 juta. Besar kecilnya nilai belanja susu formula tergantung banyaknya konsumsi susu anaknya
Tisa memberi susu formula pada anaknya karena dia merasa air susunya tidak cukup. Karenanya, ia mengikuti saran dokter untuk menggunakan produk pengganti ASI itu. “Awalnya saya kasih ASI, tetapi berat badannya tidak bertambah di usia 2,5 bulan. Padahal saat lahir bobotnya tiga kilogram. Akhirnya setelah ganti empat dokter, dokter terakhir memberi resep susu formula,” kata Tisa.
Secara nasional, belanja susu formula selama tiga tahun terakhir semakin mengecil. Ini menunjukkan cakupan angka menyusui semakin baik. Meski demikian, jumlah uang yang dibelanjakan relatif masih tinggi, untuk tahun 2019 sebesar Rp 3,3 triliun dan tahun 2020 senilai Rp 3,6 triliun.
Belanja susu formula sangat dipengaruhi jumlah bayi yang tidak mendapat ASI. Angka ini juga dipengaruhi jumlah kelahiran di masing-masing provinsi yang berbeda. Di Jawa Barat misalnya, meskipun cakupan angka bayi yang mendapat ASI di atas rata-rata nasional yakni 76,5 persen, namun belanja untuk membeli susu formula tertinggi secara nasional. Ini karena jumlah kelahiran bayi hidup di Jawa Barat juga tertinggi di antara semua provinsi. Artinya, meskipun angka persentase cakupan bayi non ASI kecil, namun belanja terhadap susu formula tetap tinggi karena angka kelahiran bayi hidup di Jawa Barat juga tinggi.
Bagi keluarga yang pendapatannya pas-pasan, belanja susu formula ini memberatkan. “Kami pakai susu yang paling murah, sebulan bisa habis Rp 300.000 untuk beli susu. Sementara gaji saya Rp 3 juta per bulan,” kata AZ (39), ayah satu anak di Deli Serdang, Sumatera Utara saat ditemui di rumah orangtuanya awal September 2022. Sehari-hari, AZ bekerja sebagai sekuriti di sebuah bank daerah. Dia harus memutar otak agar gajinya cukup untuk memenuhi kebutuhan lain.
Di Sumatera Utara, tingkat kelahiran bayi hidup tahun 2021 nomor empat secara nasional, namun belanja susu formulanya menempati urutan ketiga setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Ini terjadi karena cakupan bayi yang mendapat ASI masih 57,8 persen, di bawah angka rata-rata nasional 71,58 persen. Fakta ini sejalan dengan temuan selama investigasi berlangsung September 2022, yakni minimnya konselor laktasi, kurangnya literasi orangtua terhadap menyusui, adanya pengelola fasilitas kesehatan yang tidak pro ASI, dan pemasaran gencar susu formula.
LP (30), ibu satu anak di Sumatera Utara mengaku kesulitan mendapatkan informasi mengenai laktasi. Dia mencari informasi sendiri melalui internet tanpa didukung lingkungannya. Pada kondisi seperti itu, LP melahirkan di klinik yang tidak mendukung program ASI. “Saya tidak mendapat IMD (inisiasi menyusu dini). Padahal saya ingin sekali memberi ASI pada anak saya,” kata LP mengenang kisahnya, Jumat (23/9/2022).
LP beruntung masih bisa memberi ASI pada anaknya setelah persalinan. Ia berusaha memperlancar ASI-nya dengan banyak bertanya pada keluarga. Pengalaman LP juga dialami sejumlah ibu di Sumut. Kompas mendapati tiga ibu yang dirawat di ruang terpisah dengan anaknya yang baru dilahirkan. Di sejumlah fasilitas kesehatan, sebagian pasien mendapatkan susu formula sebagai bagian dari paket perawatan persalinan.
Biaya kesehatan
Besaran angka belanja susu formula ini belum termasuk biaya kesehatan yang muncul pada anak tanpa ASI. Penelitian Adiatma YM Siregar dari Universitas Padjadjaran tahun 2015-2016 menyebut anak tanpa ASI memiliki kemungkinan menderita diare dan gangguan pernafasan. Sepanjang risetnya terdapat 7,79 juta kasus diare dan penyakit pernapasan pada bayi yang tidak mengonsumsi ASI.
Adapun biaya rata – rata per kasus dua penyakit itu sekitar Rp 200.000. “Biaya total per tahun Rp 1,6 triliun dan 80 persen pengeluaran dari biaya kesehatan. Kalau kita pecah lagi untuk biaya kesehatan Rp 1,2 triliun dan untuk sisanya untuk biaya non kesehatan seperti kesempatan orangtua yang hilang karena tidak kerja karena mengurus anak sakit dan lain lain,” kata Adi.
Mengutip situs organisasi non pemerintah global yang menaruh perhatian pada ibu menyusui, www.aliveandthrive.org, ada sejumlah dampak jika bayi tidak dapat ASI. Pemberian ASI yang tidak memadai mengakibatkan anak-anak berisiko lebih tinggi terkena penyakit dan kematian. Sementara pada ibu yang tidak menyusui lebih rentan terkena kanker. Agar kerugian ekonomi dan kesehatan tidak bertambah besar, pengelola situs merekomendasikan agar praktik menyusui ditingkatkan.