Keberanian Prabowo-Gibran Melawan Industri Pengancam Kesehatan Dinanti
Indeks gangguan industri tembakau meningkat, beranikah Prabowo-Gibran membuat kebijakan dengan paradigma kesehatan?
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintahan presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, diharapkan berani membuat kebijakan kesehatan yang kuat untuk melawan kepentingan industri pengancam kesehatan masyarakat. Ketergantungan masyarakat pada rokok, minuman berpemanis, dan penanganan tuberkulosis harus segera diatasi.
Ketua Umum Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) Manik Marganamahendra mengatakan, Prabowo harus berani mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan (RPP Kesehatan). Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang tak kunjung disahkan.
”Seharusnya menjelang akhir periode Presiden Jokowi (Joko Widodo), RPP itu sudah disahkan karena mandatnya itu harus disahkan setelah UU disahkan. Untuk Prabowo-Gibran, ini tantangan apakah mereka mau berpihak pada kesehatan atau industri,” kata Manik saat acara Sarasehan Kesehatan yang digelar IYCTC di Jakarta, Jumat (17/5/2024).
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi merokok penduduk usia anak 10-18 tahun terus meningkat, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen (2018). Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menargetkan perokok anak harus turun menjadi 5,4 persen pada 2019.
Bappenas juga sudah memprediksi perokok anak akan menjadi 16 persen pada 2030. Angka ini bisa terjadi atau bahkan terus meningkat jika tidak ada komitmen dan regulasi yang kuat untuk melindungi anak dari rokok.
Belum lagi, menurut survei GATS (Global Adult Tobacco Survey), prevalensi perokok elektronik kini naik 10 kali lipat dalam satu dekade dari 2011 dari sebesar 0,3 persen menjadi 3 persen pada tahun 2021.
Ini beban negara, walaupun banyak rumah sakit dengan peralatan dan tenaga kesehatannya lengkap, kalau perilaku dan kebijakan ini tidak diperbaiki, rumah sakit tetap tidak akan mampu.
Menurut Manik, tarik ulur dengan industri yang mengatakan kebijakan dengan paradigma kesehatan bisa mencekik pekerja di dalamnya sebagai alasan tak berdasar. Sebab, para pekerja tetap bisa bekerja dan sejahtera jika, misalnya, cukai tembakau dinaikkan dan harga rokok menjadi mahal.
”Perdebatan ini bisa selesai kalau pemerintah mengatur harga beli di petani dengan tinggi. Sebab, harga tembakau itu murah karena tengkulak, bukan karena naiknya cukai rokok. Industri selalu menggunakan alasan nasib buruh rokok sebagai tameng,” ujarnya.
Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Nina Samidi menambahkan, tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) seharusnya minimal sebesar 20 persen sesuai dengan rekomendasi Bappenas atau 25 persen sesuai rekomendasi WHO, yang dilakukan secara konsisten setiap tahun. Kebijakan kenaikan CHT harus dilakukan tahunan dan elemen pendukungnya untuk tiga sampai lima tahun ke depan.
”Pemerintah menentukan harga yang tinggi pada produk tembakau dan turunannya agar semakin tidak terjangkau dan menghapus ketentuan diskon rokok,” kata Nina.
Komnas PT juga meminta pemerintah untuk mewajibkan semua kota/kabupaten menerbitkan peraturan daerah kawasan tanpa rokok yang fokus pada penerapan dengan mekanisme pengawasan secara digital. Selain itu, regulasi pelarangan iklan rokok juga harus diperketat, termasuk peringatan bergambar di bungkus rokok juga perlu diperbesar hingga 90 persen.
Tim Kerja Pengendalian Penyakit akibat Tembakau Kementerian Kesehatan, Benget Saragih, mengakui, pengendalian produk tembakau di Indonesia cukup pelik karena sangat bergantung dengan kebijakan politis. Padahal, efek dari rokok sangat membebani sistem kesehatan nasional.
”Ini beban negara walaupun banyak rumah sakit dengan peralatan dan tenaga kesehatannya lengkap. Tetapi, kalau perilaku dan kebijakan ini tidak diperbaiki, rumah sakit tetap tidak akan mampu, Ini butuh keberanian dari para politisi dan anggota Dewan,” kata Benget.
Indeks gangguan industri tembakau (The Tobacco Industry Interference Index/TII Index) pada 2023 meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi sebesar 84 poin. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat satu dari sembilan negara lainnya di Asia Tenggara pada TII Index dalam lima tahun terakhir.
Sebelumnya, pada 2015, angka TII Index Indonesia juga di angka 84, lalu turun menjadi 79 pada 2017, tetapi naik kembali menjadi 82 pada 2019 dan 83 poin pada tahun 2020. Ini menunjukkan bahwa interaksi antara pejabat pemerintah dan industri tembakau semakin erat dan bisa menimbulkan konflik kepentingan karena tidak transparan. Dengan begitu, upaya untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia akan sulit tercapai.