Perpres No 59/2024 yang mengubah sistem BPJS Kesehatan menimbulkan pertanyaan dari pihak rumah sakit dan peserta.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pelayanan nasabah di kantor cabang pelayanan BPJS Kesehatan di kawasan Sunan Giri, Jakarta Timur, Rabu (15/5/2024).
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pengelola rumah sakit swasta di Indonesia menyambut baik penyederhanaan pelayanan BPJS Kesehatan. Kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan kepada pasien. Namun, mereka meminta Kementerian Kesehatan segera mengeluarkan aturan teknis agar mereka tidak salah dalam menerjemahkan kebijakan baru.
Seperti diberitakan, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 8 Mei 2024. Salah satu pasalnya menegaskan, mulai 30 Juli 2025 pengategorian kelas peserta BPJS Kesehatan I, II, dan III akan disamaratakan dengan kelas rawat inap standar atau KRIS. Sebanyak 60 persen rumah sakit pemerintah harus menerapkan ruang rawat inapnya dengan standar KRIS, sementara rumah sakit swasta 40 persen.
Namun, aturan turunan yang mengatur teknis pelaksanaannya, yakni Peraturan Menteri Kesehatan, belum diterbitkan dan paling lambat harus selesai digodok pada 1 Juli 2025. Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Fajaruddin Sihombing meminta pemerintah untuk melibatkan secara aktif pihak terkait, terutama pengelola rumah sakit, dalam penyusunan permenkes.
”Semangat pembentukan regulasi turunan Perpres No 59/2024 harus demi kemajuan pelayanan kesehatan dengan mendukung penuh rumah sakit dan fasilitas kesehatan agar untuk tumbuh dan berkembang, serta mampu bersaing dengan negara lain,” kata Fajaruddin saat dihubungi, Kamis (16/5/2024).
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Konawe di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024).
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menargetkan sebanyak 3.060 dari 3.176 rumah sakit di seluruh Indonesia yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan bisa menerapkan standar KRIS pada 30 Juni 2025. Sejak 2023 hingga April 2024 sudah ada 2.048 rumah sakit yang telah menerapkannya.
Menurut Fajaruddin, perubahan ini berdampak pada berkurangnya jumlah tempat tidur di rumah sakit. Menurut standar KRIS, satu ruang rawat inap hanya boleh diisi maksimal empat tempat tidur. Konsekuensinya, pelayanan bagi masyarakat akan berkurang karena yang sebelumnya di beberapa rumah sakit masih menempatkan empat sampai delapan pasien dalam satu ruang rawat inap bagi peserta BPJS Kesehatan.
Peserta BPJS Kesehatan kelas I berharap pemerintah mengizinkan pasien untuk naik kelas dari KRIS ke kelas premium yang kelebihannya bisa ditanggung asuransi lain.
Selain itu, mereka juga meminta keringanan atau jika memungkinkan pembebasan pajak dan bea masuk alat kesehatan dan alat pendukung pelayanan rumah sakit. Selain untuk memperlancar pelayanan kesehatan bagi masyarakat, hal ini juga sebagai cerminan wajah pelayanan kesehatan di Indonesia.
”Untuk itu, sampai dengan pemberlakuan aturan turunan KRIS, 1 Juli 2025. Kami mengharapkan ada insentif perpanjangan waktu masa transisi, insentif biaya, retribusi, dan kemudahan dalam perizinan serta tidak diberlakukannya penalti bagi rumah sakit yang sedang proses renovasi,” ucapnya.
Terkait dengan penentuan tarif, iuran, dan manfaat BPJS Kesehatan yang juga bakal diubah karena perpres ini, ARSSI berharap besarannya seimbang dan menyesuaikan nilai keekonomian kekinian. Sebab, besaran iuran yang berlaku saat ini, kata Fajaruddin, belum mampu menanggung semua manfaat yang didapatkan peserta BPJS Kesehatan.
”Manfaat, tarif, dan iuran harus seimbang ketika iuran yang dilimitasi, apakah masih bisa meng-cover manfaat yang tanpalimit atau di luar pengecualian,” tuturnya.
KOMPAS/STEPHANUS ARANDITIO
CEO dan Wakil Presiden Direktur Siloam Hospitals Group Caroline Riady saat diwawancarai wartawan di sela acara Sysmex CEO Forum di Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Salah satu rumah sakit swasta yang menyatakan sudah dan akan menerapkan KRIS di sejumlah fasilitas kesehatannya ialah Rumah Sakit Siloam. CEO dan Wakil Presiden Direktur Siloam Hospitals Group Caroline Riady menyatakan, aturan ini bertujuan baik sehingga mereka tidak keberatan untuk merenovasi semua ruang rawat inapnya.
Namun, mereka berharap pemerintah lebih lentur dalam menetapkan tenggat waktu. Sebab, menurut Caroline, butuh waktu sekitar satu sampai dua tahun untuk merenovasi 41 cabangnya yang mencakup lebih dari 4.000 tempat tidur di seluruh Indonesia dengan standar KRIS.
”Transisi ini butuh waktu karena tidak mungkin semua bed ini ditutup untuk tiba-tiba (menerapkan) KRIS. Kami sudah mencicil dari tahun sebelumnya, tahun ini kami akan lanjutkan beberapa, dalam setahun dua tahun ke depan kami akan selesaikan dalam mendukung KRIS,” kata Caroline di sela acara Sysmex CEO Forum di Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Adapun standar KRIS yang harus disesuaikan oleh rumah sakit ada sebanyak 12 poin, antara lain tingkat porositas komponen bangunan tidak boleh tinggi, ventilasi udara, pencahayaan ruangan, kelengkapan tempat tidur, dan ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi.
Peserta bingung
Sementara itu, aturan baru ini juga menimbulkan sederet pertanyaan bagi peserta BPJS Kesehatan. Selfy Sandra Momongan (30), misalnya, yang merupakan peserta BPJS Kesehatan kelas I berharap pemerintah mengizinkan pasien untuk naik kelas dari KRIS ke kelas premium yang kelebihannya bisa ditanggung asuransi lain.
Sebab, karyawan swasta di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, ini akan mempertimbangkan kenyamanan di ruang ini. Menurut dia, tidak semua rumah sakit memiliki ruang yang nyaman jika menerapkan standar satu kamar maksimal empat orang sesuai dengan KRIS.
”Selama BPJS masih bisa dikolaborasikan dengan asuransi swasta, aku enggak masalah, sih. Selama ini, kan, peserta bisa request naik kelas, terus nanti selisihnya ditanggung asuransi. Tapi, kalau enggak bisa, waduh, saya agak enggak setuju ya,” ucap Selfy.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA
Kamar rawat inap VVIP Rumah Sakit Jiwa Daerah dr Arif Zainudin, Solo, Jawa Tengah, April 2019.
Terkait dengan hal ini, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan Kementerian Kesehatan Ahmad Irsan Moeis menyatakan, pihaknya juga tengah mempertimbangkan hal tersebut dan akan dituangkan secara rinci dalam permenkes. Perumusan ini melibatkan Dewan Jaminan Sosial Nasional dan BPJS Kesehatan.
Pilihan untuk naik kelas ini juga diatur dalam Pasal 51 Perpres No 59/2024 tersebut. ”Kami akan melakukan berbagai kajian dan asesmen untuk kerja sama tersebut,” kata Ahmad saat jumpa pers di Kantor Kemenkes, Jakarta, Rabu (16/5/2024).
Kemenkes sendiri belum bisa memastikan kapan bisa menerbitkan permenkes yang dinanti banyak pihak tersebut. Aturan baru ini ditujukan untuk menjamin setiap peserta BPJS Kesehatan memperoleh manfaat sesuai dengan kebutuhan dasar kesehatan melalui KRIS. Dengan begitu, setiap peserta akan mendapatkan pelayanan yang adil, sama rata, dan nondiskriminasi.