Inilah Risiko Abaikan Keselamatan Saat Menyaksikan Gerhana Matahari
Gerhana Matahari hibrida akan menyambangi sejumlah wilayah di Indonesia pada 20 April mendatang. Memperhatikan faktor keamanan sangat penting saat melihat gerhana Matahari ini untuk menghindari kerusakan mata.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Pada 20 April mendatang, sejumlah wilayah di Indonesia timur akan kembali bisa menyaksikan gerhana Matahari total atau GMT yang merupakan bagian dari gerhana Matahari hibrida atau GMH. Wilayah yang akan mengalami GMT, yakni Maluku, Papua Barat, dan Papua. Sementara wilayah Indonesia lainnya hanya akan mengalami gerhana Matahari sebagian.
Berbagai fenomena alam termasuk gerhana Matahari selalu menjadi daya tarik, tidak hanya bagi peneliti atau astronom, tetapi juga masyarakat umum lainnya. Masyarakat seolah tidak ingin terlewat untuk menyaksikan secara langsung fenomena langka yang menyebabkan langit terlihat gelap meski waktu masih menunjukkan siang hari itu.
Namun, terkadang antusiasme masyarakat dalam melihat gerhana Matahari tidak diiringi dengan pengetahuan dan informasi yang baik sehingga berpotensi menimbulkan berbagai dampak. Bahkan, karena keterbatasan informasi maupun peralatan, beberapa orang masih nekat menyaksikan gerhana Matahari dengan mata telanjang.
Melihat gerhana Matahari secara langsung tanpa perlindungan apa pun sangat berbahaya dan dapat merusak mata. Bahaya ini ditimbukan oleh sinar ultraviolet yang dipancarkanmeskipun matahari tidak sepenuhnya tertutup saat terjadi gerhana. Kerusakan retina akibat melihat gerhana matahari ini biasa disebut solar eclipse retinopathy.
Dampak dari paparan sinar ultraviolet ini memang tidak langsung menimbulkan kebutaan permanen. Namun, dampaknya tetap akan dirasakan dalam jangka panjang.
Melansir penjelasan dari situs Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami), gangguan penglihatan pada solar eclipse retinopathy disebabkan karena sinar matahari (ultraviolet dan inframerah) dengan intensitas yang tinggi masuk melalui lubang pupil dan difokuskan di retina. Retina adalah lapisan terdalam di mata yang berfungsi menerima cahaya dan mengantarkannya ke otak untuk diolah agar membentuk bayangan atau citra.
Paparan sinar matahari dengan intensitas tinggi akan meningkatkan suhu retina hingga 10-25 derajat celsius. Kondisi inilah yang sangat berbahaya bagi retina. Padahal,kenaikan suhu 4 derajat celsius saja dapat mengakibatkan peningkatan radikal bebas dan kerusakan termal atau fotokimia terhadap sel fotoreseptor di retina.
Dokter spesialis mata di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito Yogyakarta, Suhardjo menjelaskan, yang berbahaya bagi mata bukan proses gerhananya, melainkan paparan sinar ultraviolet dari matahari tersebut. Paparan sinar ultraviolet ini juga sangat berbahaya pada rentang waktu pukul 9 pagi hingga 3 sore.
”Dampak dari paparan sinar ultraviolet ini memang tidak langsung menimbulkan kebutaan permanen. Namun, dampaknya tetap akan dirasakan dalam jangka panjang,” ujar Suhardjo yang juga guru besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada ketika dihubungi, Senin (17/4/2023).
Menurut Suhardjo, dari hasil penelitian, paparan sinar ultraviolet merupakan salah satu penyebab terjadinya katarak pada petani usia 50-an. Mereka sering mengalami katarak karena kerap tidak menggunakan pelindung kepala saat berada di sawah siang hari.
Keluhan penglihatan akibat terkena sinar matahari juga dapat timbul tanpa nyeri dan tidak langsung terasa. Gejala yang terjadi di antaranya penglihatan buram, terdapat skotoma atau bayangan hitam yang menutupi pandangan, gangguan warna, silau, dan sakit kepala.
Kejadian pada tahun 1999 di Inggris juga menjadi salah satu bukti yang menunjukkan adanya kerusakan mata bila mengabaikan aspek keamanan saat melihat gerhana Matahari. Saat itu, beberapa rumah sakit di Inggris mencatat sejumlah pasien terkonfirmasi terkena retinopati surya karena melihat gerhana Matahari selama sekitar 20 menit tanpa perlindungan apa pun.
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Nature tahun 2001, ahli oftalmologi dari Queen Mary's Hospital, Inggris, Michel Michaelidesdkk menulis, terdapat 70 kasus kehilangan penglihatan yang dilaporkan saat periode gerhana Matahari 1999 di Inggris. Separuh kasus tersebut dilaporkan ke dokter mata dalam waktu dua hari setelah terjadinya gerhana.
”Ini adalah studi nasional terbesar dari efek visual gerhana matahari yang pernah dilakukan. Pendidikan kesehatan masyarakat tentang cara aman melihat gerhanamerupakan langkah paling efektif dalam mengurangi morbiditas visual dan meminimalkan beban Pelayanan Kesehatan Nasional (NHS),” tulis Michaelides dalam jurnal tersebut.
Tujuan pengamatan
Kepala Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Emanuel Sungging Mumpuni mengatakan, masyarakat terlebih dahulu harus melihat tujuan dari pengamatan gerhana Matahari untuk sekadar menikmati pengalaman yang unik atau kebutuhan riset.
Khusus untuk pengamatan gerhana Matahari dengan tujuan menikmati pengalaman unik dan langka, Sungging menyarankan masyarakat memakai pelindung atau peralatan lain yang menunjang keamanan, seperti kacamata gerhana. Sedangkan pengamatan gerhana matahari untuk tujuan riset perlu teleskop atau alat proyeksi.
”Memotret gerhana dengan menggunakan ponsel juga bisa. Namun, hal terpenting pertama, yaitu soal keamanan sehingga kita perlu mengikuti segala instruksi bagaimana melihat gerhana Matahari yang aman untuk mata kita,” katanya dalam gelar wicara gerhana Matahari hibrida di Planetarium dan Observatorium Jakarta, pekan lalu.
Sementara salah satu saran dari Perdami untuk masyarakat yang ingin menikmati gerhana matahari, yaitu dengan menggunakan kacamata berfilter sinar ultraviolet (UV) dan Infrared (IR) tertentu yang mengandung lapisan tipis aluminium, chromium atau perak. Filter khusus ini juga dapat dipasang pada teleskop atau teropong.
Alternatif lainnya, yakni menggunakan kacamata las dengan tingkat kegelapan nomor 14. Meski cukup aman, kaca mata dengan filter matahari ini sebaiknya tidak digunakan lebih dari dua menit berturut-turut dan jangan dilepas saat masih menghadap matahari.
Dari beberapa peralatan tersebut, cara yang paling aman melihat gerhana matahari ialah dengan menggunakan proyeksi tidak langsung di layar putih, dinding atau selembar kertas putih. Kemudian, masyarakat juga bisa menggunakan kamera lubang jarum (pinhole)yang bisa dibuat secara mandiri dari kardus bekas dan peralatan sederhana lainnya.
Terkait riset gerhana Matahari, Sungging menyebut bahwa peneliti BRIN juga akan melakukan beberapa kegiatan riset. Kegiatan tersebut meliputi riset korona Matahari, dampak gerhana pada ionosfer, dan perubahan kecerlangan akibat gerhana.
”Informasi terkait gerhana Matahari juga bisa memantik ekosistem riset di masyarakat. Di negara maju sudah jauh-jauh hari disosialisasikan saat fenomena gerhana melintasi negara tersebut. Harapannya, setelah gerhana Matahari ini, kita bisa lebih kompak dan ada generasi-generasi baru yang menyosialisasikannya,” ujarnya.