Luapan Rasa dalam Ruang Tenang
Aulia N Sabila (24) tampak lemas. Ia mengakui emosinya meledak yang menguras air mata hingga perlu berdiam dulu 5 menit.
Perasaan yang terhanyut dialami pengunjung Ruang Tenang dengan medium lisan dan musiknya. Instalasi partisipatif itu mewujud wahana aktivasi lima panca indera yang menenangkan. Tak sedikit partisipan dengan emosi yang meluap-luap, tetapi akhirnya mampu berdamai dengan diri sendiri.
Virna Ali Saha (24) berjaga di depan Ruang Tenang, Kamis (16/5/2024). Sesekali ia menawari pengunjung untuk memasuki bilik di depan kedai Peda Pelangi tersebut. Kamar di Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta, itu mungil saja, sekitar 2 x 2 meter.
Baca juga: Metafora Robot Cinta
Ruang Tenang dibatasi kain hitam, sementara di dalamnya terlihat pohon yang dibalut kain batik. Konsumen yang tuntas bersantap bisa menjajal fasilitas tersebut. Zahra (23) dan Muhammad Affan (22) menemani Virna. Bukan tanpa sebab sukarelawan Sadar Nusantara (Sanustra) itu tak bersiaga sendiri.
Seusai keluar dari Ruang Tenang, banyak pengunjung yang lemas, termenung, bahkan tersedu-sedu. Tak pelak, sedikit kegaduhan acap kali terjadi. Virna pun perlu menenangkan peserta seraya Zahra dan Affan mengambilkan minum atau memapahnya.
Aulia N Sabila (24), misalnya, tampak lemas. Warga Poris, Tangerang, Banten, itu mengakui emosinya meledak-ledak yang menguras air mata sampai memerlukan waktu untuk berdiam sekitar 5 menit. Ia sempat tak kuat berjalan hingga harus digandeng untuk keluar dari Ruang Tenang.
Beberapa sukarelawan Sanustra tergopoh-gopoh menuju Ruang Tenang sambil memanggil teman Aulia. Kalbu perempuan tersebut meletup-letup sampai perlu ditenangkan. Ia lantas duduk dulu cukup lama sebelum membeberkan masalahnya. Konsultan pajak tersebut nyatanya baru mengecap kejadian pahit karena sang kekasih kerap menyalahkannya. ”Apa salahku? Aku bertanya-tanya sampai sedih, kecewa, dan capek. Aku jadi sadar kalau kurang menyayangi diri sendiri,” katanya.
Mereka yang memasuki Ruang Tenang terlebih dulu disuguhi teh hangat agar lebih santai. Selanjutnya, pengunjung mengenakan penyuara jemala (headphone), merentangkan telapak tangan dan menyentuh pohon, atau memeluknya. Dimediasi suara Diedra Rasyid, pengunjung diminta meniatkan untuk menerima perasaan dalam dirinya.
Waktu menghirup teh saja, ternyata rasanya lebih dalam. Sebelum masuk Ruang Tenang, kepikiran kekuranganku. Aku belum bisa memaafkan dan membahagiakan diri.
Nuansa seni semakin kental dengan diiringi lagu yang dipopulerkan Kunto Aji, ”Jernih”, seraya partisipan melepas penat, kesal, takut, dan ragu. Dupa yang mengepul semakin mengendurkan saraf saat peserta diminta memejamkan mata, menarik napas beberapa kali, dan tersenyum. Tak heran banyak pengunjung begitu tergugah lantaran intonasi, nada, dan volume yang diset sedemikian rupa hingga mereka terhanyut. Siapa pun yang menyimak suara serupa bisikan dengan sedikit gema itu bakal berangsur rileks.
”Rasakan ruang dalam hatimu jadi lebih besar. Lebih ringan dan penuh dengan cinta dan damai. Terima kasih atas bahagia yang telah kamu izinkan. Semoga rasa tenang ini selalu teringat dan terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari kamu”. Demikian penggalan tuturan narator yang menutup rekaman dengan durasi sekitar 5 menit itu.
”Waktu menghirup teh saja, ternyata rasanya lebih dalam. Sebelum masuk Ruang Tenang, kepikiran kekuranganku. Aku belum bisa memaafkan dan membahagiakan diri,” ujar Aulia. Ia kemudian mengenyam pengalaman transendental hingga menyadari sudah terlalu menyakiti diri yang seharusnya tak perlu.
”Orangnya (pacar Aulia) yang enggak bersyukur memilihku. Aku enggak salah apa-apa, tapi dari kemarin mikirin terus sampai denial (menyangkal),” katanya. Aulia sudah sedikit tenang dengan belajar ikhlas, mencintai diri sendiri, dan bertekad untuk bangkit.
Ia pun lebih plong. Aulia lega sudah mencurahkan kegundahan seraya meyakini kemampuannya untuk melewati fase yang berat. ”Meski masih sedikit tergganggu, aku merasa bebas. Sekarang, sudah yakin banyak banget yang sayang sama aku. Aku juga curhat sama yang jaga Ruang Tenang,” ujarnya.
Baca juga: Kaligram Butet Bergenre Baru
Artris Feronika (32) merasakan sensasi serupa. Ia pun menitikkan air mata mengingat persolan-persoalan, terutama pekerjaan yang mengimpitnya. Warga Cilandak, Jakarta, itu terlena dengan keteduhan musik dan ajakan untuk meretas belenggu yang menggayuti benaknya.
Pohon mengikuti
Pegawai perusahaan survei pemasaran tersebut baru diterima di kantornya. Feronika tak menampik tekanan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan pekerjaan, ditambah tabiatnya yang mudah panik. Ia kemudian lebih fokus untuk mengeksplorasi solusi dengan introspeksi.
”Tekanannya lumayan bikin stres. Kepala juga rasanya ramai banget. Aku pengin melepas lelah dan mencoba ikhlas,” ujarnya. Ia memasuki Ruang Tenang lalu mengulurkan satu tangan untuk memegang pohon dan lainnya ditaruh di dada. Feronika perlahan menghela dan mengembuskan napas.
Sekonyong-konyong, ia mendapati keajaiban dengan pohon yang seakan mengikuti ritme respirasinya. Meski beda spesies, mereka bagai menyatu sampai sedih sekaligus bahagia berbaur.”Sedih, tapi juga bahagia dan lega dibebaskan untuk meluapkan perasaan dengan tangisan. Enak banget rasanya,” katanya.
Ia bagai diingatkan bahwa semuanya masih baik-baik saja. Beban meluruh, tangisan pun berpadu dengan senyuman. Tak perlu dipapah, Feronika hanya tercenung sekitar 10 detik sebelum keluar dari Ruang Tenang. ”Awalnya, kayak horor. Bau dupa kencang banget, tapi temanku menenangkan dan minta mencoba. Akhirnya, sesimpel dibikin tenang malah bikin aku nangis,” katanya.
Kehilangan ibu
Ruang Tenang bukan baru-baru ini bercokol di ruang publik. Kreasi tersebut juga sudah diboyong ke Bekasi, Bandung, dan Bali. Di Bekasi, misalnya, instalasi itu dipasang di mal yang dikunjungi sekitar 150 orang. Beberapa partisipan bahkan begitu terbenam dalam intuisinya hingga tak mau keluar dari bilik, menangis kencang, pingsan, tetapi ada juga yang gembira. Ruang Tenang juga pernah diadakan di Menteng, Jakarta, yang diikuti 100 orang selama sehari.
Aku pengin membahagiakan orangtua. Waktu itu, benar-benar kosong sampai enggak punya kekuatan untuk melakukan apa pun.
Ruang Tenang digagas Yusuf Dharmawan yang diawali kedukaan saat kehilangan ibunya pada tahun 2020. Pandemi yang tengah meledak turut memicu kehampaan Iyus, demikian sapaannya. Ia sampai kehilangan tujuan hidupnya. ”Aku pengin membahagiakan orangtua. Waktu itu, benar-benar kosong sampai enggak punya kekuatan untuk melakukan apa pun,” ucapnya.
Berselang satu bulan, Iyus terinspirasi seusai menunaikan shalat Ashar. Ia sebenarnya bingung dengan visi yang begitu jernih. ”Enggak tahu apa yang aku mesti buat, harus menghubungi siapa, dan duit dari mana kalau mau dipamerkan,” ujarnya.
Iyus merogoh kocek sendiri untuk mewujudkan karsanya. Terlebih, banyak orang yang kehilangan tujuan hidupnya seusai pandemi. ”Waktu di Bekasi, aku senang karena 95 persen pengunjung merasakan ketenangan. Mereka mengucapkan terima kasih,” katanya sambil tersenyum.