Jazz yang Kian Tak Berjarak
Genre yang semula dianggap sebagai musiknya orang-orang gedongan telah dihelat di tujuan wisata warga kebanyakan.
Jazz Gunung Slamet 2024 meneguhkan konser yang tak lagi terkurung pagar pembatas atau kru yang bersiaga di depan pentas. Digelar di tengah hamparan rumput dan pepohonan, jazz lebih luwes dengan penonton berpakaian santai. Anak-anak yang ”pecicilan” bahkan dibiarkan naik ke panggung.
Pertunjukan diawali duet pranatacara kocak Alit Jevi Prabangkoro dan Gundhi Anditya yang bercuap-cuap sekitar pukul 19.30. Hujan masih saja rintik-rintik setelah mereda dan menderas selama empat jam silih berganti. Jadwal tak urung tertunda sampai 1,5 jam.
Maklum saja, sudah lumrah bila Jazz Gunung, termasuk Jazz Gunung Slamet, digelar sesuai khitahnya di ruang terbuka. Cuaca yang tak menentu malah kerap jadi kejutan. Tak mau massa menunggu berlama-lama, Cresensia Naibaho langsung tancap gas dengan ”Movin’ to You” yang rancak.
Baca juga : Lokasi Baru Jazz Gunung Terus Dieksplorasi
Ia melandai dengan ”A Letter from Love” diiringi Debesties. Oktet tersebut mengenakan kemeja ala hawai, membawakan lagu kedua dengan melodi sendu. Cresensia ternyata mengulurkan kejutan lantaran lagu itu dan ”Romansa 2.0” baru akan dirilis bersamaan dengan album barunya, akhir Mei nanti.
”Hai yang di ujung sana. Buat yang di depan, wah, kita ternyata dekat banget, ya, Mbak dan Mas,” sapa Cresensia, Sabtu (11/5/2024). Ketakjuban Cresensia memampangkan intimasi pemuja dan pujaannya. Mereka bagai tak berjarak, tanpa dibatasi pagar. Biduanita itu malah sempat beranjak dan merangkul pengagumnya.
Sekitar 1.500 penonton memadati Bumi Perkemahan Palawi, Wana Wisata Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah. Penjabat Bupati Banyumas Hanung Cahyo Saputro saja tak dibedakan dengan duduk di kursi yang sedikit basah seperti pengunjung lain.
Sebagian penonton juga terlihat lesehan beralaskan bantal. Mereka memadati pelataran yang masih lembab meski tak sampai berimpitan. Keakraban berlanjut dengan Nita Aartsen bersama Borderline yang menyuguhkan ”Jali-jali”, tembang yang selalu mereka mainkan sewaktu melanglang ke luar negeri.
Baca juga : Jazz Memikat yang Muda
Konser semakin gemerlap dengan sorotan sekitar 30 lampu. Mosaik lingkaran dari tata cahaya turut menari-nari di sela dedaunan. Baju kelabu metalik Nita lantas merefleksikan kilau bak manik-manik. Istilah anak muda, blink-blink. Hawa seusai hujan menyamankan tubuh dengan kesejukan yang tak menggigit.
Bocah berseliweran
Saat ”Eye of the Universe” menggema, Rega Dauna meliuk-liukkan harmonika, sementara Nita memantaunya di dekat pentas. Lagi-lagi, kedekatan terjalin. Tak lama, Nita beringsut di antara penonton untuk duduk dengan cueknya di rumput yang masih diselimuti titik-titik air, sambil mendekap kaki.
Jazz yang tak berjarak semakin kentara karena para penampil mengobrol dengan santai seraya menunggu giliran mereka di pinggir panggung tanpa barikade. Pengunjung yang kebetulan bersirobok tak bakal kesulitan mengajak mereka berswafoto.
Beberapa bocah terlihat berseliweran hingga naik ke pentas lalu menekan-nekan efek hingga memancing tawa penonton. ”Ayo, Dik. Pencet semua. Anggap PS (Playstation) 4, dibuka, terus bawa pulang,” ucap Gundhi yang mewara sebelum Langthiep & The Boy Friends unjuk kebolehan.
Jazz Gunung Slamet tak lupa merangkul musisi lokal dengan memanggungkan band asal Purwokerto tersebut untuk menyajikan lima kreasinya. Mereka menggandeng dokter bersuara merdu, Bara Pradiansyah Putra, sebelum suasana kian memanas dengan duo legenda yang menyapa penonton. Ermy Kullit dan Mus Mujiono.
”Semuanya masih mahasiswa, ya? Kalian maunya tiket yang murah. Kan, lain harganya,” seloroh Ermy disambut gelak penonton. Ia berkolaborasi dengan Mus Mujiono yang berselang-seling mendendangkan hit mereka, di antaranya ”Kasih”, ”Pasrah”, ”Tanda-tanda”, ”Arti Kehidupan”, dan ”Keraguan”.
Aku malah paling senang kalau enggak ada penghalang sama penonton.
Sal Priadi, pemungkas Jazz Gunung Slamet 2024, jelas paling dinanti audiens yang didominasi anak muda. Dibuka dengan ”Dalam Diam”, solois itu tak henti membetot perhatian lewat ”Zuzuzaza”, ”Ada Titik-titik di Ujung Doa”, dan hit terbarunya, ”Dari Planet Lain”.
Kekariban bintang dengan penggemarnya kian gamblang tatkala Sal mendapati seorang perempuan yang berulang tahun. Maka, mengalunlah ”Serta Mulia” seiring magnet sang idola yang menarik kerumunan untuk merangsek. Sudah nyaris tengah malam, tetapi kemeriahan makin menggila.
Mereka tak tahan lagi untuk tak bergoyang, menyanyi, hingga melompat-lompat. Sudah tak terhitung lagi kamera ponsel yang mengarah ke sumber keriuhan. Kesemarakan yang diakui Sal sungguh memukau ketika menjajal debut Jazz Gunung, bahkan sejak ia mengamati set panggungnya.
”Waktu lihat saja, aku sampai enggak sabar untuk mencobanya. Aku malah paling senang kalau enggak ada penghalang sama penonton,” ujarnya. Sal bisa menatap ekspresi khalayak dengan jelas hingga sejumlah wajah yang telah diakrabinya.
”Sudah familiar soalnya aku pernah lihat di kota-kota lain. Berarti, jazz juga kian membumi dengan penikmatnya,” katanya. Jazz yang dulu identik dengan pendengar berbusana perlente telah dibawa ke tengah alam dengan keindahan panoramanya.
Mencuatkan kontras
Pendiri Jazz Gunung, Sigit Pramono, mengamati semakin ramainya pergelaran di destinasi-destinasi yang dipandang tak lazim. ”Sampai rela blusukan sebab orang yang punya kemampuan untuk beli tiket lebih banyak. Diferensiasi. Sebelumnya, kebanyakan di gedung-gedung saja,” ujarnya.
Kini, jazz sudah marak, mulai dari tepi sawah, pantai, sampai berlatarkan candi. Jazz Gunung justru mencuatkan kontras yang istimewa. Genre yang semula dianggap sebagai musiknya orang-orang gedongan telah dihelat di tujuan wisata warga kebanyakan, termasuk kelas menengah bawah.
”Meski asumsinya tak 100 persen demikian karena jazz, kan, sudah menembus lintas ekonomi, generasi, dan usia,” ucapnya. Sigit menambahkan atraksi jazz yang jarang dirongrong kericuhan berkat keantengan peminatnya tanpa mabuk-mabukan hingga tawuran.
Pengamat musik Dimas Ario menilai, tontonan yang mengedepankan keakraban selebritas dengan penyanjungnya menjadi alternatif penggila musik. ”Mereka cari pengalaman unik. Biasanya, bukan artis-artis yang dikejar. Di Jakarta umpamanya, hiburan sudah banyak,” tuturnya.
Sampai rela blusukan sebab orang yang punya kemampuan untuk beli tiket lebih banyak. Diferensiasi. Sebelumnya, kebanyakan di gedung-gedung saja.
Tak heran, sebagian masyarakat urban berburu pertunjukan bernuansa natural. Soal kemungkinan konser tanpa perintang yang memicu insiden tak mengenakkan terhadap penampilnya, Dimas berpendapat, genre-genre musik tertentu diyakini masih aman.
Ia pernah menjadi kurator Program RRRec Fest in the Valley 2023 untuk mengusung band dengan aliran semisal pop, folk, dan tradisional yang berlangsung lancar. ”Tergantung musik dan karakter fans-nya. Salt A Way yang diadakan di pantai, festivalnya juga enggak pakai barier,” katanya.
Alam, sungguh telah mempersatukan. Tanpa sekat.