Tidak Kompaknya Pemerintah soal Kebijakan Harga Gas Industri
Kepastian harga gas yang lebih murah untuk industri pada 2025 ini belum jelas karena beda pendapat antarkementerian.
Pelaku industri manufaktur yang jadi salah satu kontributor perekonomian nasional sedang resah gelisah. Pasalnya, kementerian satu dengan yang lain belum kompak soal kelanjutan program harga gas lebih murah untuk industri melalui program Harga Gas Bumi Tertentu atau HGBT pada 2025.
Beda pandangan masih terjadi antara para pemangku keputusan, yakni Kementerian Perindustrian dengan Kementerian Energi Sumber dan Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan.
Meski masih tersisa kurang dari sembilan bulan lagi, pelaku industri manufaktur sangat menantikan kepastian program ini bisa berlanjut tahun depan. Sebab, dengan HGBT, mereka bisa mendapatkan kepastian pasokan gas dari perusahaan gas yang diperoleh dengan harga lebih murah dari harga pasar dalam negeri.
Ini penting karena pelaku usaha membutuhkan kepastian untuk membuat perencanaan yang matang, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang agar usahanya berkelanjutan.
Baca juga: Industri Cemaskan Dampak Kenaikan Harga Gas Bumi
Kepastian pasokan gas dengan harga yang memadai itu membuat pelaku industri manufaktur bisa meningkatkan efisiensi produksinya. Dengan demikian, hal itu bisa meningkatkan daya saing bisnis baik untuk pasar dalam negeri, melawan produk impor, maupun pasar ekspor.
HGBT membuat pelaku industri bisa mendapatkan pasokan gas dengan harga 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Sementara harga gas pasar di Tanah Air berkisar 8 12 dollar AS-12 dollar AS per MMBTU.
Pelaku usaha membutuhkan kepastian untuk membuat perencanaan yang matang baik jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Mengutip data Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), ongkos gas mencakup 18 persen hingga 70 persen dari total biaya produksi, tergantung jenis sektor industrinya. Adapun industri yang banyak membutuhkan gas antara lain pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca lembaran, dan hulu tekstil. Mengingat besarnya ongkos harga gas, maka tidak heran perbedaan harga 1 dollar AS per MMBTU saja sangat berarti bagi pelaku industri.
Jika dilihat dengan kacamata ekonomi makro yang lebih luas, kebijakan harga gas yang dipatok lebih murah ini tidak hanya dinikmati pelaku industri, tetapi juga perekonomian nasional yang lebih luas.
Mengutip data Kementerian Perindustrian, melalui HGBT 2021 hingga 2023, pemerintah memang seperti kehilangan pendapatan negara dari penjualan gas lebih murah sebesar Rp 51,04 triliun. Namun, karena gas itu dipasok ke industri manufaktur yang punya semangat memproduksi barang agar bernilai lebih, justru negara menerima nilai tambah Rp 157,20 triliun. Ini lebih besar tiga kali lipat dari ”subsidi” yang dikeluarkan negara. Nilai tambah ini berasal dari capaian kinerja ekspor, pendapatan pajak, investasi yang masuk, pengurangan subsidi pupuk, dan lain-lain.
Melalui kebijakan HGBT ini, industri manufaktur bisa menahan laju deindustrialisasi dan perlahan bangkit lagi. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi industri pengolahan terhadap produk domestik bruto pada 2022 mencapai 18,34 persen. Angka ini sedikit membaik pada 2023 menjadi 18,67 persen.
Baca juga: Industri Keramik dan Hulu Tekstil Minta Pemerintah Lanjutkan Subsidi Gas
Kebangkitan salah satunya karena produksi manufaktur Indonesia bisa lebih efisien akibat kebijakan HGBT. Dengan kontribusi industri pengolahan terhadap PDB yang terus meningkat, Indonesia perlahan bisa mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 menjadi negara maju. Adapun salah satu persyaratannya adalah kontribusi industri pengolahan terhadap PDB mencapai 28 persen.
Efisiensi produksi
Pemberian HGBT itu dimulai saat pandemi Covid-19 melanda. Saat itu semua sektor ekonomi terpukul berat, tak terkecuali industri manufaktur. Pemerintah pun mengeluarkan keringanan harga gas yang dijual melalui HGBT.
Aturan HGBT tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 121 Tahun 2020 juncto Perpres No 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Setelah itu, pengaturan jumlah sektor industri, perusahaan apa saja, berapa banyak pasokan, dan harga gas yang diterima itu diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Mineral No 89/2020 tentang Pengguna dan HGBT di Bidang Industri. Kebijakan ini mulai berlaku pada 2021.
Ketika pandemi telah berakhir, HGBT tetap berjalan hingga saat ini. Selama HGBT berlaku, industri manufaktur merasakan efisiensi produksi sehingga mereka bisa lebih berdaya saing menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Aturan HGBT di bidang industri itu pun diperbarui dengan Kepmen ESDM No 134/2021 dan Kepmen ESDM No 91/2023.
Melalui kepmen ESDM yang terbaru itu disebutkan ada 234 perusahaan dari tujuh jenis industri yang memperoleh HGBT hingga 2024. Adapun tujuh jenis industri itu adalah pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, oleokimia, dan sarung tangan karet.
Baca juga: Kenaikan Harga Gas Bisa Turunkan Produksi Beras Nasional hingga 2 Juta Ton
Mereka memperoleh HGBT berkisar 6 6,82 dollar AS-6,82 dollar AS per MMBTU, dari harga aslinya berkisar antara 7 6,82 dollar AS-8 dollar AS per MMBTU. Adapun total gas yang dialokasikan untuk industri sebesar 1.220,95 miliar british thermal unit per hari (BBTUD).
Kemenperin bahkan berencana untuk menambah dan memperluas sektor industri yang bisa memperoleh HGBT ini. Sebab, hampir semua industri memerlukan gas, baik sebagai energi maupun rangkaian proses produksi.
Belum diputuskannya HGBT untuk 2025 ini tak lain karena adanya perbedaan pandangan di dalam tubuh pemerintah sendiri. Kementerian ESDM menilai HGBT ini mengurangi potensi pendapatan negara. Sebab, harga jual gas dipatok rendah daripada harga pasaran.
Hitungan Kementerian ESDM, kebijakan HGBT ini menghilangkan potensi pendapatan negara dari penjualan gas pada 2021 sebesar Rp 16,46 triliun dan 2022 sebesar Rp 12,93 triliun. Persoalan potensi pendapatan negara yang berkurang ini jelas juga jadi perhatian bendahara negara, yakni Kementerian Keuangan.
Selain itu, perusahaan gas yang memasok ke industri ini, sebagian adalah badan usaha milik negara (BUMN), juga dituntut menghasilkan keuntungan agar bisa menyumbang dividen untuk negara. Penjualan gas dengan harga yang lebih murah jelas akan mengurangi pendapatan mereka.
Perbedaan pandangan ini membuat kelanjutan program belum jelas. Apalagi, pembahasan HGBT pada Jumat, 22 Maret lalu, kembali ditunda. Perubahan jadwal mendadak dari Kementerian ESDM membuat Menteri Perindustrian yang sudah punya agenda melantik jajarannya tak bisa hadir dalam rapat koordinasi HGBT. Ketidakhadiran Menteri Perindustrian itu membuat keputusan terkait HGBT ditunda.
Sinergi antara kementerian dan lembaga sangat diperlukan agar tercipta satu visi mendorong pembangunan dan perekonomian nasional. Slogan Indonesia Incorporated sudah sering terdengar. Ini yang perlu diwujudnyatakan.
Baca juga: Manfaat Gas Murah Dirasakan Industri