Implementasi Gas Murah untuk Industri Belum Optimal
Masih ada industri yang mendapat harga gas di atas 6 dollar AS per MMBTU. Selain itu, ada ketidaksesuaian antara produksi gas dan serapan gas oleh industri dalam negeri.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi harga gas bumi tertentu atau insentif untuk industri masih belum optimal lantaran masih ada sejumlah kendala yang antara lain disebabkan ketidakpastian pasokan. Komisi VII DPR RI meminta Kementerian Energi Sumber Daya Mineral dan Kementerian Perindustrian memperkuat sinkronisasi.
Belum sinkronnya pasokan gas bumi dan kebutuhan industri penerima mengemuka dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR RI dengan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji dan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito, di Jakarta, Selasa (11/4/2023).
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) di Bidang Industri, ada tujuh industri yang mendapat insentif harga 6 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU). Ketujuhnya adalah industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Warsito mengatakan, dalam implementasi HGBT di industri itu, sejumlah kendala yang masih terjadi antara lain masih ada industri yang mendapat harga di atas 6 dollar AS per MMBTU. Kemudian, ada industri yang mengalami pembatasan pasokan gas bumi di bawah volume kontrak.
Tiga wilayah dengan keluh kesah itu adalah Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Jawa Barat. ”(Sebenarnya) itu pengaturan B to B (bisnis ke bisnis)-nya mereka. Kami memonitor evaluasi apakah itu konsisten. Yang dipikir masyarakat rata (dikenai harga 6 dollar AS per MMBTU), tetapi ternyata ada yang lebih tinggi,” ujar Warsito.
Warsito menuturkan, ketentuan harga yang diterima industri, yang juga bergantung dengan ketersediaan pasokan gas, menjadi kewenangan Kementerian ESDM. Pihaknya hanya mengusulkan apa yang disampaikan industri penerima insentif yang berharap harga gas 6 dollar AS per MMBTU.
”Kalau flat (harga gas konsisten) nanti bisa hitung investasinya, kemudian proses produksi lebih efisien atau tidak. Sebab, sifat industri kan seperti itu dan evaluasinyanya jangka panjang,” kata Warsito.
Tutuka menambahkan, kendala-kendala yang terjadi disebabkan adanya ketidakpastian dari produksi gas bumi yang dihasilkan, apakah sesuai proyeksi atau tidak. Selain itu, adanya proyek yang mundur dari jadwal, seperti proyek Jambaran Tiung Biru di Jawa Timur. Hal itu membuat kebutuhan gas yang sudah diperjualbelikan sebelumnya menjadi tidak terpenuhi.
Di sisi lain, imbuh Tutuka, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 121 Tahun 2020 tentang Perubahan Perpres No 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi juga menjelaskan bahwa dalam evaluasi, ada pula pertimbangan kondisi perekonomian dalam negeri. Ada kondisi kecukupan (keuangan negara) terkait dengan pengurangan penerimaan negara.
”Harus ada kecukupan negara. Semangat Perpres No 121/2020 adalah membantu industri-industri yang perlu dibantu. Kalau industri yang kuat-kuat, ya, tidak seperti tu. Jadi, tidak semua dan sifatnya sementara. Apabila sudah dibantu ya sudah, dilepas dan diganti (industri) yang perlu lainnya,” ucap Tutuka.
Koordinasi
Dalam rapat dengar pendapat itu, sejumlah anggota Komisi VII DPR RI meminta Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian melakukan koordinasi dan sinkronisasi terkait HGBT. Perlu ada diskusi kelompok terarah lebih mendalam agar masalah-masalah yang ada dapat tertangani.
Kesimpulan rapat tersebut, antara lain Komisi VII DPR juga mendorong koordinasi, sinkronisasi, dan harmonisasi terkait kebijakan HGBT. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM dan Direktur Jenderal IKFT Kementerian Perindustrian juga didorong untuk menyusun bersama penyelarasan peta jalan migas dan pengembangan industri strategis berbasis gas.
”Komisi VII DPR juga mendesak Kementerian Perindustrian untuk melakukan percepatan penyelesaian peraturan pemerintah terkait pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan industri strategis dalam negeri. Kemudian, selanjutnya didiskusikan dengan Kementerian ESDM,” ucap Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Dony Maryadi Oekon.