Belum ada kejelasan nasib pembentukan BLU untuk pungutan batubara. Penegakan aturan mengenai DMO batubara lebih diprioritaskan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wacana pemerintah membentuk badan layanan umum atau BLU untuk pungutan batubara hingga kini belum jelas. Rencana ini mencuat di tengah krisis pasokan batubara untuk kebutuhan pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang berujung pada pelarangan ekspor batubara periode 1-31 Januari 2022. BLU diyakini menjadi solusi atas krisis pasokan tersebut.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan, rencana pembentukan BLU batubara masih terus dibahas di tingkat kementerian dan lembaga. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan berbagai masukan dan pendapat dari Komisi VII DPR yang menjadi mitra Kementerian ESDM.
“Mengenai wacana badan layanan umum (BLU) batubara, kami masih membahas detail konsep bersama lintas kementerian/lembaga. Masukan Komisi VII DPR tetap kami jadikan pertimbangan,” kata Ridwan dalam konferensi pers tentang kinerja Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kamis (20/1/2022), di Jakarta.
Rencana pembentukan BLU disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam siaran pers, Senin (10/1). Apabila BLU terbentuk, PLN membeli batubara sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Apabila harga batubara di pasar lebih tinggi ketimbang harga DMO batubara yang 70 dollar AS per ton, selisihnya akan dibayarkan BLU dengan menggunakan dana yang dihimpun dari perusahaan tambang batubara.
Namun, Komisi VII DPR DPR dalam rapat dengar pendapat dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif, Kamis (13/1), menolak rencana pembentukan BLU tersebut. BLU bukan menjadi solusi jitu atas krisis pasokan batubara untuk kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri. Komisi VII DPR menyarankan pemerintah untuk menegakkan aturan pelaksanaan DMO batubara.
Terkait DMO batubara, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, asosiasi menyarankan perlu mekanisme pemantauan pelaksanaan DMO batubara secara berkala, seperti setiap triwulan. Saran lainnya adalah besaran persentase DMO batubara perlu disesuaikan dengan kebutuhan domestik yang riil dan akurat. Selama ini, besaran DMO batubara adalah 25 persen dari kapasitas produksi perusahaan.
“DMO batubara untuk perusahaan yang melebihi kewajibannya dapat dimanfaatkan oleh perusahaan yang masih kurang atau belum memenuhi kewajibannya, tanpa ada biaya transfer,” ucap Hendra.
Sebelumnya, Kementerian ESDM sejak Sabtu (1/1) menyatakan pelarangan ekspor batubara bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tahap kegiatan operasi produksi, IUPK lanjutan operasi kontrak/perjanjian, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara.
Larangan itu ditempuh guna menjamin kebutuhan batubara PLTU PLN dan produsen listrik swasta (IPP). Jika pelarangan ekspor tak diambil, kekurangan pasokan batubara berdampak pada lebih dari 10 juta pelanggan PLN, mulai dari masyarakat umum hingga industri di dalam dan di luar Jawa, Madura, dan Bali.
”Jika larangan ekspor tak dilakukan, hampir 20 PLTU dengan daya sekitar 10.850 megawatt akan padam. Hal ini berpotensi mengganggu kestabilan perekonomian nasional. Saat pasokan batubara untuk pembangkit terpenuhi, bisa ekspor,” kata Ridwan.
Pada tahun 2021, target produksi batubara Indonesia yang ditetapkan pemerintah sebanyak 625 juta ton dengan realisasi 615 juta ton. Sementara realisasi kebutuhan domestik di tahun tersebut sebanyak 133 juta dari target 137,5 juta ton. Adapun tahun ini, pemerintah mematok target produksi batubara 663 juta ton dengan perkiraan kebutuhan dalam negeri sebanyak 165,7 juta ton.