Kemenperin Tetap Usul Perluasan Industri Penerima Harga Gas Khusus
Sektor penerima insentif harga gas industri 6 dollar AS per MMBTU diusulkan ditambah karena dinilai berdampak ganda dan positif bagi investasi. Namun, penerimaan negara sektor migas perlu dijaga agar tidak sampai minus.
Oleh
MEDIANA, agnes theodora
·5 menit baca
Ilustrasi. Instalasi jaringan pipa gas mulai dibangun sekitar kawasan Semarang Utara hingga PLTU Tambaklorok di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (27/5).
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perindustrian tetap mengusulkan perluasan sektor penerima harga gas khusus industri meski penerimaan negara dari hulu migas terancam semakin menurun. Kebijakan itu dinilai mampu menarik investasi di sektor manufaktur serta dapat memberi efek pengganda secara jangka panjang. Wacana ini pun masih terus digodok lintas kementerian.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat, penerimaan negara dari sektor migas menurun 1,2 miliar dollar AS pada tahun 2021 akibat kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) bagi sektor industri sebesar 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Penerimaan negara diperkirakan turun lebih jauh tahun ini apabila industri penerima harga gas khusus ditambah sesuai dengan usulan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Saat dihubungi, Rabu (19/1/2021), Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kemenperin Eko Cahyanto mengatakan, pihaknya tetap mempertahankan usulan kebijakan harga gas murah bagi industri. Tak hanya tujuh sektor yang sekarang menerima insentif tersebut, tetapi diperluas ke sektor lainnya sesuai rencana awal.
"Prinsipnya jangan ada yang tertinggal. Semua harus dapat harga yang sama. Memang ada kepentingan pemerintah untuk pendapatan negara langsung dari hulu, tetapi kami melihatnya lebih ke hilir. Dengan harga gas kompetitif, industri akan tumbuh, lapangan kerja semakin banyak," kata Eko.
Tujuh bidang industri yang saat ini mendapat insentif harga gas adalah pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri yang berlaku sejak April 2020.
Kemenperin pun mengusulkan perluasan penerima harga gas industri itu ke 13 sektor lainnya, yaitu industri ban, makanan dan minuman, pulp dan kertas, logam, permesinan, otomotif, karet remah (crumb rubber), refraktori, elektronika, plastik fleksibel (lembaran), farmasi, semen, serta industri asam amino.
Menurut Eko, insentif harga gas murah itu menjadi daya tarik yang menentukan investasi di sektor manufaktur. Ia mendapat surat dari sejumlah pengelola kawasan industri yang meminta kepastian dari pemerintah atas kebijakan itu.
"Banyak sekali investor yang ingin masuk ke Indonesia, tapi masih menunggu kepastian soal harga gas. Gas bumi ini bagi industri, kan, bukan hanya sekadar untuk bahan bakar, tetapi juga bahan baku," ujar dia.
Diskusi antara Kemenperin, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), SKK Migas, serta Kementerian Keuangan mengenai wacana perluasan penerima harga gas industri ini masih terus dibahas. "Kami terus mencoba menyampaikan agar gas bumi ini bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya," kata Eko.
Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Setiawan mengatakan, dari 13 sektor usulan Kemenperin itu, yang kemungkinan disetujui adalah 10 sektor.
"Kurang lebih ancar-ancarnya baru 10 industri. Ini belum final dan masih terus dibahas. Kami harus menjaga agar dengan harga gas 6 dollar AS itu, penerimaan negara di sektor migas tidak sampai minus" kata Arief dalam konferensi pers, Senin lalu.
Kami harus menjaga agar dengan harga gas 6 dollar AS itu, penerimaan negara di sektor migas tidak sampai minus.
Kajian Kemenperin, dengan harga gas 6 dollar AS per MMBTU, penerimaan negara memang akan berkurang Rp 35,91 triliun. Namun, di sisi lain, insentif itu akan meningkat penerimaan dari berbagai sumber lainnya seperti pajak dan bea masuk dari industri hingga estimasi Rp 57,23 triliun.
Terkait realisasi penyaluran gas bumi khusus yang belum mencapai 100 persen, Eko beralasan sejumlah industri masih tertekan akibat dampak pandemi sehingga penyerapannya belum maksimal. Meski demikian, jika dibandingkan tahun 2020, realisasi serapan pada tahun 2021 justru meningkat, yakni dari 76,8 persen menjadi 81 persen.
Di sisi lain, tidak semua perusahaan, yang sudah mendapat rekomendasi, memperoleh harga gas sesuai yang diatur. "Karena ada alokasi dan kuota, tidak semua kebutuhan perusahaan bisa dipenuhi. Selain itu, jaringan gas juga masih terbatas, tidak sampai ke semua titik," kata Eko.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, kebijakan harga gas tertentu untuk tujuh sektor industri sejauh ini memiliki dampak positif. Di sektor industri pupuk, misalnya, kebijakan itu telah meningkatkan volume produksi dan penjualan sampai sekitar 7,79 persen.
Contoh lain, di sektor industri petrokimia, kebijakan harga gas tertentu mampu meningkatkan produksi dan penjualan ekspor sampai sekitar 400.000 ton per tahun pada 2020.
"Penyesuaian harga gas untuk industri tertentu dan kelistrikan akan tetap berjalan. Sembari itu, kami terus lakukan monitoring implementasi terhadap kebijakan harga gas tertentu yang sudah ada," ujar dia dalam konferensi pers, Rabu. Namun, Tutuka tidak menyebut detail maksud penyesuaian harga itu.
Berhati-hati
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, penyesuaian nilai harga gas tertentu untuk industri perlu berhati-hati. Hal terpenting adalah mendorong efektivitas kebijakan itu sehingga serapan alokasi gas dengan nilai harga gas tertentu bisa optimal.
"Saya kira pemerintah sudah banyak berkorban dengan mengurangi PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Kalau tidak terserap, potensi kerugiannya semakin besar," ujar dia.
Pemerintah sudah banyak berkorban dengan mengurangi PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Kalau tidak terserap, potensi kerugiannya semakin besar.
Pada tahun 2020, Kementerian ESDM menyediakan pasokan gas bumi tertentu sebesar 1.199,8 BBTUD sesuai Keputusan Menteri ESDM No 89/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri, baik langsung dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama maupun melalui Badan Usaha Niaga Gas Bumi. Realisasi penyaluran 76,8 persen sepanjang April-Des 2020.
Tahun 2021, Kementerian ESDM meningkatkan alokasi pasokan gas bumi untuk sektor industri tertentu dari 1.199,8 BBTUD menjadi 1.241 BBTUD melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 134 Tahun 2021 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Realisasi penyalurannya mencapai 81,1 persen.