Belum Ada Solusi Final untuk Mencegah Krisis Pasokan Batubara
Komisi VII DPR mendesak pemerintah segera memiliki solusi final dan permanen guna mencegah krisis pasokan batubara untuk kelistrikan tidak terulang.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga sekarang belum ada solusi final dan permanen dari pemerintah untuk mencegah krisis pasokan batubara bagi pembangkit listrik dalam negeri. Tarik-menarik implementasi kebijakan kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik batubara masih terjadi.
Wakil Ketua Umum Komisi VII DPR Maman Abdurrahman menjelaskan, hasil rapat dengar pendapat dengan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) masih berkutat mencari solusi permanen untuk mengatasi krisis pasokan batubara sektor kelistrikan. Dari solusi permanen itu diharapkan tidak akan ada lagi kejadian larangan ekspor batubara yang diterbitkan pemerintah beberapa waktu lalu.
”Menyeimbangkan kepentingan ekspor batubara untuk devisa negara dan pemenuhan kebutuhan domestik (domestic market obligation/DMO) batubara untuk kelistrikan. Jadi, solusinya mesti komprehensif mengakomodasi dan memfasilitasi semua kepentingan,” ujar Maman saat ditemui seusai rapat dengar pendapat, Selasa (18/1/2022), di Kompleks DPR, Jakarta.
Menurut Maman, dalam rapat dengar pendapat tersebut, Komisi VII DPR juga meminta secara tegas PLN memperbaiki rantai pasok batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). PLN juga diharapkan berkontrak dengan pemegang izin usaha pertambangan (IUP), bukan dengan pedagang, danmengaudit PLN Batubara, anak usaha PLN, secara komprehensif.
Ekspor Batubara Dimulai Bertahap
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, M Ridwan Hisjam,menambahkan, selama rapat berlangsung, muncul kembali usulan agar ada evaluasi pelaksanaan DMO batubara sektor kelistrikan per bulan. Dari hasil evaluasi akan diketahui realisasi pemenuhan kewajiban tersebut. Pemerintah harus memberlakukan sanksi bagi perusahaan batubara yang tidak memenuhi kewajibannya.
Terkait rencana pembentukan BLU batubara yang sempat dibahas dalam rapat kerja dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan diputuskan ditolak oleh Komisi VII DPR, Ridwan mengatakan, rapat pun masih menunggu pemerintah mengeluarkan solusi yang tepat dan matang. ”Kami menunggu konsep solusi dari pemerintah dan harus sesuai dengan kepentingan masyarakat. Kalau mau tetap BLU, namanya jangan BLU. Apa pun konsepnya harus ada landasan hukum, mungkin seperti keputusan presiden,” ujarnya.
Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, saat dihubungi terpisah, berpendapat, yang perlu dilakukan adalah menyempurnakan pelaksanaan kebijakan DMO batubara sektor kelistrikan. Misalnya, membuat jadwal suplai DMO per bulan atau per tiga bulan, bukan 25 persen untuk setahun. Pemerintah juga disarankan memasukkan sanksi larangan ekspor bagi pengusaha yang tidak memenuhi jadwal itu.
Dalam penyempurnaan peraturan pelaksana kebijakan DMO batubara, dia juga memandang perlu ditambahkan kriteria pengusaha dalam kewajiban DMO tersebut. Sebab, karakteristik perusahaan tambang batubara beragam. Sebagai contoh, kemampuan pengusaha memenuhi pasokan dan spesifikasi batubara yang dipersyaratkan PLN berbeda-beda. Oleh karena itu, Kementerian ESDM harus punya sistem pusat data yang selalu menampilkan pembaruan data.