Gempa Lagi, Rusak Lagi
Ribuan rumah dan puluhan bangunan publik rusak pascagempa bumi di Banten, 14 Januari 2022. Perlu upaya konkret untuk meningkatkan kualitas bangunan demi mengantisipasi gempa berikutnya.
Gempa bumi berkekuatan M 6,6 di Samudra Hindia sebelah selatan Banten pada 14 Januari 2022 pukul 16.05 WIB menyebabkan ribuan rumah dan puluhan bangunan publik rusak. Kawasan ini menyimpan potensi gempa bumi hingga M 8,8 yang harus diantisipasi.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Abdula Muhari, di Jakarta, Rabu (19/1/2022), mengatakan, 3.078 rumah rusak akibat gempa di Banten tersebut. Sebanyak 395 rumah rusak berat, 692 rusak sedang, dan 1.991 rusak ringan.
Sementara bangunan publik yang rusak adalag 51 gedung sekolah, 17 fasilitas kesehatan, 8 kantor pemerintahan, 3 unit tempat usaha, dan 21 tempat ibadah. ”Selain itu, sedikitnya 2 orang dilaporkan luka berat dan 8 lainnya luka ringan," kata Muhari.
Baca juga : Kegagapan Mitigasi di Atas ”Urat Bumi”
Kerusakan terbanyak terjadi di Kabupaten Pandeglang, meliputi 379 rumah rusak berat, 581 rumah rusak sedang, dan 1.764 rumah rusak ringan. Selain itu, 43 gedung sekolah rusak, termasuk 16 unit puskesmas, 4 kantor desa, 14 tempat ibadah, dan 3 tempat usaha.
Berdasarkan Peta Guncangan Tanah (shakemap) yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dampak guncangan gempa bumi kali ini dirasakan cukup luas. Sebanyak 822 kecamatan atau sekitar 92 kabupaten di sekitar wilayah episenter gempa bumi terdampak. Kekuatan guncangan ini dalam intensitas II hingga VI skala modified mercalli intensity (MMI).
”Kerusakan bangunan ini biasanya bersesuaian dengan kekuatan guncangannya," kata Kepala Subkoordinator Pelayanan Informasi Seismilogi Teknik BMKG Sigit Pramono.
Menurut dia, kerusakan dan keruntuhan bangunan akibat gempa bumi terjadi karena bangunan tidak mampu mengantisipasi getaran tanah (ground motion) yang ditimbulkan. Padahal, besarnya getaran tanah akibat gempa dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu sumber gempa, jalur penjalaran gelombang, dan pengaruh kondisi tanah setempat.
Maka, sumber gempa yang besar dan dekat dengan permukiman akan menimbulkan getaran tanah yang juga besar. Demikian halnya kondisi tanah setempat berupa endapan sedimen tebal dan lunak juga akan menimbulkan fenomena amplifikasi yang memperbesar nilai getaran tanah di permukaan.
Tidak ada sanksi kalau rakyat bangun rumah tidak tahan gempa dan kalau rumah tidak tahan gempa dijual juga tetap ada yang beli.
Sigit mengatakan, peralatan akselerograf di 66 stasiun pengamatan BMKG mencatat, nilai percepatan tanah (PGA) akibat gempa kali ini memiliki nilai yang bervariasi di berbagai lokasi dengan nilai 0,0990 hingga 193,3922 gals.
Stasiun Wonosalam, di Lebak, Banten, yang merupakan stasiun dengan jarak terdekat dari episenter gempa bumi, yaitu sekitar 102,24 km, mencatat nilai percepatan tanah maksimum 93,1078 gals. Namun, nilai terbesar yaitu senilai 193,3922 gals, dirasakan di Cikeusik yang berjarak 105,42 km dari episenter gempa bumi.
Alarm bahaya
Ahli gempa bumi, yang juga Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, mengatakan, potensi gempa bumi di zona penunjaman lempeng Samudra Hindia di selatan Banten dan Jawa Barat bisa jauh lebih besar dari yang terjadi kali ini. ”Berdasarkan Peta Sumber Gempa Bumi Nasional 2017, potensi gempa di segmen ini bisa mencapai M 8,8,” katanya.
Padahal, kenaikan magnitudo gempa bersifat eksponensial. Gempa berkekuatan M 8,8, menurut Irwan, bisa menghasilkan energi sekitar 2.000 kali dari energi gempa berkekuatan M 6,6.
Baca juga : Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascagempa di Banten Segera Dilakukan
Gempa kali ini, tambah Irwan, tidak mengurangi energi yang telah tersimpan. Bahkan, berpotensi meningkatkan tegangannya. ”Gempa kali ini cukup dalam dan berada di tepian bawah zona subduksi, sudah dekat lengan lempeng. Yang paling dikhawatirkan kalau gempanya terjadi persis di zona subduksi dan dangkal. Itu bisa sangat besar dan diikuti tsunami," katanya.
Irwan menambahkan, beberapa gempa besar yang terjadi di zona subduksi kerap didahului gempa-gempa lebih kecil di pinggiran segmen. Misalnya, gempa disusul tsunami di Tohoku, Jepang, pada September 2011 yang terjadi gempa lebih kecil di bagian bawah subduksi.
”Sebelum gempa 2018 di Palu, ada beberapa gempa lebih kecil. Juga sebelum tsunami Aceh 2004, setahun sebelumnya ada gempa-gempa lebih kecil,” katanya.
Sekalipun belum bisa diketahui dengan pasti kapan gempa utama bisa terjadi, Irwan mengharapkan gempa kali ini bisa jadi alarm untuk meningkatkan kesiapsiagaan. Termasuk memperkuat bangunan agar tahan guncangan dan tata ruang wilayah pesisir yang mengantisipasi bahaya tsunami.
Sebelumnya, kajian oleh tim peneliti dengan penulis pertama S Widiantoro dari Global Geophysics Research Group ITB di jurnal Nature pada 2019 menyebutkan, ketinggian tsunami yang diakibatkan gempa bumi di zona selatan Jawa Barat dan Selat Sunda dapat mencapai 20 meter dan rata-rata 4,5 meter di sepanjang pantai selatan Jawa.
Sigit juga mengingatkan agar gempa kali ini menjadi alarm untuk meningkatkan kesiapsiagaan. ”Para pihak di daerah yang terdampak kali ini tidak boleh lagi abai, harus memperkuat bangunan agar aman gempa. Minimal, struktur bangunannya benar dan tulangannya sesuai standar,” katanya.
Penguatan bangunan
Penguatan bangunan, khususnya bangunan rakyat, menurut Guru Besar Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia Sarwidi, belum menunjukkan perbaikan berarti. ”Survei saya di beberapa daerah, bangunan rakyat yang memenuhi standar bangunan tahan gempa baru sekitar sepertiga dari rumah yang ada,” katanya.
Sarwidi adalah ahli bangunan yang mendesain teknologi bangunan tahan gempa yang disebutnya sistem Barrataga, singkatan dari Bangunan Rakyat Tahan Gempa. Prinsip dasar Barrataga adalah memberi pengikat-pengikat praktis yang biasanya terbuat dari beton untuk memperkokoh bangunan. Selain itu, ia memberi lapisan pasir di bawah fondasi bangunan untuk meredam dampak guncangan gempa bumi (Kompas, 13 Juli 2015).
Menurut dia, rumah-rumah yang didesainnya dengan sistem Barrataga terbukti bertahan saat gempa bumi Yogyakarta 2006. Setelah gempa itu, Sarwidi juga telah melatih tukang dan mandor bangunan di Yogyakarta dan sekitarnya agar membangun rumah mengkuti prinsip aman gempa, tapi hal itu dinilainya belum memadai.
"Kalau rumah rakyat bisa dibangun dengan konstruksi yang baik, umumnya bisa menahan gempa hingga skala IX MMI atau setara maksimal 0,5 gal. Itu terbukti dari bangunan Barrataga yang berada di dekat pusat gempa di Bantul, Yogyakarta pada 2006 lalu," kata dia.
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) bangunan tahan gempa tahun 2012 yang diperbarui pada 2019. Namun, menurut Sarwidi, pedoman ini sulit diterapkan untuk bangunan rakyat karena tidak adanya penegakan hukum.
Baca juga : Kegagalan Mitigasi Bangunan Tahan Gempa
”Tidak ada sanksi kalau rakyat bangun rumah tidak tahan gempa, dan kalau rumah tidak tahan gempa dijual juga tetap ada yang beli,” katanya.
Padahal, bangunan teknis, terutama lima lantai ke atas, sebelum dikeluarkannya izin mendirikan bangunan (IMB) ada tim yang mengoreksi desain dan memantau. ”Namun, kalau bangunan rumah rakyat tidak terpantau,” katanya.
Sarwidi mengusulkan adanya penilaian terhadap kualitas bangunan rakyat sebagaimana dilakukan untuk bangunan teknis lima lantai. Setelah dinilai kualitasnya, bagi yang tidak memenuhi standar aman gempa, berikutnya harus ada penguatan kualitas bangunan.
Jika tidak, gempa-gempa berikutnya yang bisa jadi lebih besar masih akan terus menyebabkan kerusakan bangunan dan korban jiwa.