Menanti Hakim MK Jadi "Corong” Keadilan
Putusan MK pada Senin depan jadi titik balik penting. Perbaiki kesalahan MK dan ujian kelangsungan RI negara hukum.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pakar hukum menilai putusan atas perselisihan hasil pemilihan umum Pemilihan Presiden 2024, yang akan dibacakan pada Senin (22/4/2024), akan menjadi titik balik penting, yaitu untuk memperbaiki kesalahan yang telah diciptakan Mahkamah Konstitusi. Di sisi lain, putusan ini juga akan menjadi ujian bagi keberlangsungan Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi. Untuk itu, putusan yang progresif dari hakim konstitusi sangat dinantikan.
Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, dalam diskusi ”Mencermati Landmark Decision MK” di Jakarta, Jumat (19/4/2024), mengatakan, penyelesaian sengketa Pilpres 2024 memiliki kekhususan tersendiri dan tidak dapat dianggap sebagai penyelesaian sengketa biasa. Karena itu, ia berharap para hakim MK dapat mempertimbangkan faktor-faktor yang melebihi analisis doktrinal semata.
”Artinya, hakim MK tidak sekadar menjadikan diri sebagai corong undang-undang, tetapi tentu saja sebagai the guardian of constitution. MK harus mempertahankan konstitusi. Biarpun langit runtuh, konstitusi harus tetap tegak,” ujar Sulistyowati.
Dalam diskusi, Sulistyowati menyinggung putusan MK yang mengubah persyaratan pencalonan presiden-wakil presiden. Putusan ini melapangkan jalan bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres pada Pilpres 2024, berdampingan dengan capres Prabowo Subianto.
Biarpun langit runtuh, konstitusi harus tetap tegak.
Berdasarkan hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Prabowo-Gibran ditetapkan sebagai capres-cawapres peraih suara terbanyak di Pilpres 2024, dengan raihan 58,58 persen dari suara sah nasional. Kemudian, diikuti pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebesar 24,95 persen dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebesar 16,47 persen.
Baca juga: Harapan Besar Bertumpu di Pundak Delapan Hakim MK
Atas hasil rekapitulasi KPU itu, kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud mengajukan gugatan ke MK. Dalam petitumnya, setidaknya ada dua permohonan mereka kepada para hakim MK. Pertama, mendiskualifikasi Gibran. Kedua, putaran ulang tanpa mengikutsertakan pasangan Prabowo-Gibran.
Proses sidang telah berlangsung sejak akhir Maret 2024 dan kini sudah memasuki tahap rapat permusyawaratan hakim (RPH). Putusan atas PHPU Pilpres 2024, menurut rencana, akan dibacakan para hakim pada 22 April mendatang.
Memulihkan kepercayaan
Sulistyowati melanjutkan, melalui sengketa Pilpres 2024 ini, para hakim tengah diuji sejauh mana bisa menegakkan asas prinsip-prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) sebagaimana Pasal 22E UUD 1945.
Di sisi lain, putusan MK nantinya juga akan menguji fondasi negara hukum Indonesia, termasuk demokrasi, hak asasi manusia, dan mekanisme pengawasan terhadap pemisahan kekuasaan yang tidak hanya terbatas pada trias politica, tetapi juga semua institusi yang dibentuk sejak reformasi.
MK dengan otoritas yang begitu besar bisa mengesampingkan segala macam produk undang-undang yang bertentangan dari asas pemilu di konstitusi.
”Artinya, kita sedang menguji, apakah kita masih negara hukum atau tidak melalui kasus ini. MK dengan otoritas yang begitu besar bisa mengesampingkan segala macam produk undang-undang yang bertentangan dari asas pemilu di konstitusi. Jadi, produk-produk di bawah konstitusi, prosedural, formal, dan substansi, yang tidak sesuai dengan perintah konstitusi itu, harus bisa dikesampingkan,” katanya.
Sulistyowati berpendapat, dalam persidangan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 terdapat masalah paradigmatik karena pendekatan hukum yang digunakan hanya berdasarkan positivisme. Artinya, hukum hanya diposisikan sebagai fakta berupa perintah dan keputusan. Padahal, pendekatan lain juga dibutuhkan, yakni paradigma keadilan substantif yang dapat diakomodasi melalui pendekatan lintas disiplin ilmu.
”Jadi, tantangannya adalah kita membutuhkan hakim MK yang dengan otoritas yang dimilikinya, hanya setingkat di bawah Tuhan, semua harapan akan keadilan substantif, bukan hanya keadilan doktrinal, itu ada di pundak mereka. Oleh karena itu, para hakim harus mengkaji hukum dengan cara yang lebih holistik,” katanya.
Jadi, tantangannya adalah kita membutuhkan hakim MK yang dengan otoritas yang dimilikinya, hanya setingkat di bawah Tuhan, semua harapan akan keadilan substantif, bukan hanya keadilan doktrinal, itu ada di pundak mereka.
Sulistyowati menambahkan bahwa Indonesia harus terus bergerak maju setelah pemilu, dan keberlanjutan negara ini akan ditentukan oleh kemampuan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu, termasuk putusan MK yang kontroversial. ”Oleh karena itu, harapan kita adalah melalui putusan nanti, kita dapat memulihkan kepercayaan dan integritas lembaga negara,” tuturnya.
Corong keadilan
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, berpandangan, MK harus bertanggung jawab atas rentetan kecurangan yang terjadi dalam proses Pilpres 2024. Sebab, semua berawal dari putusan MK yang mengubah persyaratan pencalonan presiden-wakil presiden dan kemudian putusan ini melapangkan jalan bagi Gibran.
”Putusan itu menghasilkan kebiasaan buruk dalam pemilu kita, yakni tindakan kecurangan sehabis-habisnya secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Bagi saya, MK kini ada di persimpangan. Kalau MK menegakkan konstitusi kita secara baik, demokrasi kita berpotensi akan terus membaik. Tetapi, kalau MK mematahkan palu keadilan dalam perkara ini, kita akan memasuki kekelaman untuk menegakkan demokrasi karena semuanya sekarang sudah direkayasa,” ucap Feri.
Namun, Feri meyakini, para hakim MK bukanlah corong undang-undang atau corong hukum, melainkan mereka adalah corong keadilan. Karena itu, para hakim tidak cukup sekadar mengacu pada aturan perundang-undangan, tetapi para hakim harus sampai menemukan keadilan substantif.
”Mana ada dalam proses penyelenggaraan pemilu, aturan main berubah saat pertandingan sedang dimulai hanya untuk karpet merah bagi anak presiden. Peraturan diubah oleh MK, yang salah satu hakimnya adalah paman Gibran. Jadi aneh kalau mahkamah tidak mempertanyakan proses penyelenggaraan pemilu yang adil dalam situasi seperti itu,” tutur Feri.
Ia juga berharap para hakim tidak khawatir dengan anggapan hakim MK tidak berwenang memutus kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif terkait hasil sengketa pemilu dibatalkan. Sebab, ia pernah menemukan ada preseden dalam putusan MK sendiri pada 2008, tepatnya Nomor 41/PHPU.D-VI/2008. MK yang kala itu diketuai Mahfud MD menilai ada pelanggaran yang bertentangan dengan konstitusi dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur periode 2008-2013 sehingga penetapan suara oleh KPU setempat saat itu dibatalkan.
Atas dasar itu, menurut Feri, hakim MK bisa meniru membuat putusan yang progresif semacam itu. ”Kalau mahkamah mengatakan tidak berwenang (menyidangkan kecurangan TSM dalam PHPU Pilpres 2024), apa pertanggungjawaban mahkamah dengan putusan sebelumnya? Tidak ada pelarangan MK untuk menerapkan konsep TSM yang mereka telah ciptakan sendiri,” ucapnya.
Kemungkinan putusan
Jika hakim berani, mereka harus bisa membuktikan kecurangan-kecurangan itu dan pengaruhnya terhadap suara Prabowo-Gibran.
Terlepas dari itu, Feri mencoba menerka-nerka putusan hakim nanti. Pertama, ia pesimistis MK akan mendiskualifikasi Gibran. Sebab, dari delapan hakim MK, di antaranya diangkat atas rekomendasi presiden. Lagi pula, jika MK harus mendiskualifikasi Gibran, artinya pencalonan Prabowo juga gugur. Sebab, keduanya merupakan satu kesatuan.
Kemudian, kedua, Feri juga ragu hakim MK berani memutuskan bahwa ada kecurangan dalam Pilpres 2024. Pun jika hakim berani, mereka harus bisa membuktikan kecurangan-kecurangan itu dan pengaruhnya terhadap suara Prabowo-Gibran. ”Kalau MK memutuskan itu, MK harus menjelaskan bagaimana hitung-hitungannya,” katanya.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Achmad Sodiki, sependapat dengan Feri. Ia berharap hakim bisa lebih progresif dalam memutus sengketa pilpres kali ini. Putusan nanti diharapkan tidak hanya menyinggung soal perselisihan hasil, tetapi juga sejauh mana asas luber jurdil diterapkan dalam proses Pilpres 2024.
”Nanti kita akan lihat, hakim melandasi putusannya sekadar ketentuan perundang-undangan atau konstitusi yang hidup di masyarakat sehingga putusan tersebut lebih progresif. Saya berharap mahkamah tidak menutup mata. Kita harus melihat konstitusi yang hidup. Hakim bukanlah corong undang-undang,” ujar Sodiki.
Sodiki pun memperkirakan sejumlah kemungkinan putusan yang bakal diambil para hakim. Pertama, jika tuntutan pemohon dikabulkan, hakim harus yakin dan mampu membuktikan di mana terjadinya kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif, apakah di seluruh wilayah atau hanya di daerah tertentu.
”Kalau memang ada keyakinan hakim, di satu daerah terjadi kecurangan yang TSM, sekecil apa pun, itu harus diulang. Dengan demikian, mahkamah tidak semata-mata melihat dari sisi jumlah, persentase dari apa yang akan diperoleh, tetapi melihat dari sisi yang lain,” ucap Sodiki.
Kemungkinan kedua ialah perbaikan terhadap putusan MK yang mengubah persyaratan pencalonan presiden-wakil presiden. Namun, ia agak ragu putusan ini bakal diambil oleh hakim. ”Karena, apakah masih mungkin menguji pasal tentang masalah umur wakil presiden dengan pasal lain yang ada di dalam konstitusi? Kalau itu masih mungkin, ya, mungkin bisa diuji lagi,” katanya.
Baca juga: Mahkamah Rakyat Jadi Alternatif Saat Keadilan Pemilu Hadapi Jalan Buntu
Mantan hakim MK ini kemudian menyinggung soal adanya kemungkinan perbaikan dari putusan yang lama atau putusan yang sedang berjalan, salah satunya soal syarat pencalonan kepala daerah. Awalnya, hakim MK pernah memutuskan, eks narapidana boleh maju sebagai calon kepala daerah sehingga tak ada pembatasan mengenai ancaman pidana yang pernah dijalani atau masa jeda.
Namun, setelah itu, MK membuat keputusan baru bahwa eks narapidana masih boleh maju sebagai calon kepala daerah selama ancaman tindak pidana yang pernah dijalani di bawah lima tahun. Selanjutnya, putusan itu diperbaiki kembali.
Yang terbaru, eks narapidana boleh maju sebagai calon kepala daerah selama ancaman tindak pidananya di bawah lima tahun dan mereka harus secara terbuka menyatakan hal tersebut kepada publik.