Kepemilikan Klub di Eropa dan Sepak Bola Indonesia
Sejumlah klub Eropa dimiliki oleh para pengusaha Indonesia. Apakah sepak bola Indonesia bisa memetik keuntungan?
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Striker tim Indonesia U-19, Amiruddin Bagus Kahfi (kiri), berusaha menerobos kawalan striker tim Korea Utara U-19, Kim Ju Song, pada laga kualifikasi Piala Asia 2020 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (10/11/2019). Kahfi adalah salah satu jebolan program Garuda Select.
Keberhasilan Como 1907 naik ke kasta tertinggi liga Italia, Serie A, beberapa hari ini mendadak jadi pembicaraan di Indonesia. Hal itu tak lepas dari nama di balik layar keberhasilan Como, Grup Djarum, sebuah kelompok usaha asal Indonesia.
Sejak mayoritas sahamnya dimiliki Djarum pada 2019, Como yang waktu itu berada di Serie D atau divisi keempat Liga Italia langsung melejit ke Serie A dalam waktu lima tahun saja. Djarum bukan kelompok usaha atau orang pertama asal Indonesia yang memiliki klub sepak bola di Italia.
Erick Thohir, yang kini menjadi Ketua Umum PSSI, lebih dulu pernah menjadi pemilik klub Serie A, Inter Milan, sebelum kemudian menjualnya. Tak hanya di Italia, sejumlah pengusaha Indonesia juga menjadi pemilik klub-klub di negara Eropa lain. Bersama Anindya Bakrie, Erick masih menjadi pemegang saham mayoritas klub Inggris, Oxford United, yang bermain di League One, atau divisi ketiga Liga Inggris. Selain itu, ada pengusaha Sofjan Wanandi, yang memiliki saham klub yang bermain di kasta keempat Liga Inggris (League Two), Tranmere Rovers.
Pertanyaannya, adakah dampak positif bagi sepak bola Indonesia dari kepemilikan pengusahanya di klub-klub Eropa?
Kisah pengusaha Jepang ini bisa menjadi contoh, bagaimana kepemilikan klub Eropa bisa menguntungkan sepak bola di ”Negeri Sakura”. Mengutip artikel The Athletic, pada 2017, pemilik perusahaan e-dagang DMM.com mengambil alih klub papan tengah Eropa dengan tujuan menjadi jembatan bagi sepak bola Jepang dengan liga-liga papan atas Eropa. Itu dilakukan setelah melihat prestasi timnas dan nilai pemain Jepang yang stagnan sejak kesuksesan mereka menggelar Piala Dunia 2002.
Mereka membeli klub Belgia, Sint Truiden (STVV), dan kemudian membangun tim dengan tetap menghormati sejarah klub, menyeimbangkan keberadaan antara pemain yang didatangkan dari Jepang dan talenta lokal. Sejumlah pemain yang bermain di level elite Eropa pun dilahirkan dengan cara tersebut.
AFP/PAUL ELLIS
Gelandang Liverpool, Wataru Endo, merayakan gol ke gawang Fulham pada laga Liga Inggris di Anfield, 3 Desember 2023. Endo menjadi salah satu pemain Jepang yang sukses meniti karier di Eropa.
Mereka di antaranya adalah Takehiro Tomiyasu dan Wataru Endo, yang merupakan gelombang pertama pemain Jepang yang didatangkan STVV. Tomiyasu kini menjadi andalan lini belakang Arsenal, sementara Endo adalah tulang punggung lini tengah Liverpool di Liga Inggris. Dengan bermain di kompetisi elite, Tomiyasu dan Endo pun menjadi pemain utama timnas Jepang. Bahkan, Endo memegang ban kapten ”Samurai Biru”.
Keberhasilan skema STVV kemudian membuat sejumlah klub Eropa mencari bakat langsung ke Jepang sehingga semakin banyak pemain asal Negeri Sakura itu yang kemudian bermain di Eropa. Video pemain yang semakin mudah didapatkan menjadikan pencarian bakat bukan lagi halangan. Di tengah harga pemain yang menggila, pemain-pemain berkualitas yang didatangkan langsung dari Jepang bisa berharga relatif murah. Lebih dari 100 pemain Jepang kini bermain di Eropa.
Cara berbeda dilakukan Grup Djarum. Meski memiliki Como, mereka tak bisa langsung begitu saja menggaet pemain dari Indonesia karena aturan federasi soal kontrak pemain asing. Karena itu, mereka lebih fokus pada pembinaan pemain muda. Selain membenahi akademi Como, mereka memiliki program Garuda Select yang diperuntukkan bagi pemain belia asal Indonesia dan sejumlah negara lain. Sejak Garuda Select edisi kedua, latih tanding bersama tim muda Como dilaksanakan (Kompas.id, 30/8/2022).
Pemain lulusan program Garuda Select telah memperkuat tim nasional kelompok umur. Beberapa dari mereka juga pernah dikontrak klub Eropa dan sebagian bermain di Liga 1 Indonesia. Mereka di antaranya Bagas Kaffa dan Bagus Kahfi yang bermain untuk Barito Putera. Kahfi sempat bermain untuk Jong Utrecht, tim cadangan FC Utrecht di Liga Belanda. Tak hanya itu, Como juga merekrut Kurniawan Dwi Yulianto, mantan pemain timnas Indonesia, sebagai salah satu anggota staf pelatih.
Meski dimiliki oleh pengusaha Indonesia, memang tidak serta-merta pesepak bola Indonesia akan mudah menembus menjadi pemain di klub-klub tersebut. Selain karena aturan soal kontrak pemain asing di Eropa, pemilik tentu tak mau asal-asalan mendatangkan pemain.
COMO 1907 MEDIA
CEO Como 1907 Dennis Wise memperkenalkan Thierry Henry (kanan) sebagai pemilik saham minoritas terbaru sekaligus duta jenama klub di Como, Italia, Senin (29/8/2022).
Kalau mereka asal comot, justru akan menjadi bumerang karena pemilik bisa dituduh tidak punya komitmen memajukan klub. Jika performa klub di lapangan buruk, bahkan sampai terdegradasi, valuasi klub pasti bakal anjlok. Jangan lupa, para pemilik itu tetaplah seorang pengusaha yang mencari peluang keuntungan dari industri sepak bola di Eropa.
Belajar dari keberhasilan STVV, harus diakui pula bahwa fondasi persepakbolaan dalam negeri Jepang memang sudah kokoh. Kompetisi dan pembinaan di Jepang telah mampu menghasilkan bibit pemain berkualitas sehingga mereka bisa bersaing dan beradaptasi dengan iklim kompetisi elite Eropa.
Jadi, lagi-lagi kuncinya adalah pembinaan dan pembenahan kompetisi di dalam negeri. Dengan pembinaan dan kompetisi yang mumpuni di Indonesia, diharapkan lahir pemain berbakat yang layak dilirik oleh pemilik klub-klub Eropa, yang pada gilirannya akan menjadi tulang punggung tim ”Garuda”.