Revisi UU Mahkamah Konstitusi sarat kepentingan politis. Tidak ada urgensi mengatur masa jabatan hakim konstitusi.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dinilai sarat kepentingan politis. Saat ini tidak ada urgensi mengatur lagi masa jabatan hakim konstitusi
Pemerintah dan DPR dikabarkan telah menyepakati revisi keempat UU MK untuk dibawa ke rapat paripurna terdekat guna disahkan menjadi undang-undang. Revisi UU MK mengatur kembali masa jabatan hakim konstitusi.
Persetujuan untuk membawa rancangan UU MK ke Paripurna DPR diambil dalam rapat tertutup Komisi III DPR dengan pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Hadi Tjahjanto, serta Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Asep Mulyana di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (13/5/2024). Tidak hanya tertutup, rapat juga digelar di luar masa persidangan DPR.
Tentu saja langkah ini mengundang kritik karena bahkan untuk segenting peraturan pengganti undang-undang (perppu) saja, DPR tak membahasnya saat masa reses. Pada saat masa reses, DPR seharusnya menjalankan fungsi pengawasan, bukan fungsi legislasi. Fungsi legislasi seharusnya dilakukan saat masa sidang, sementara DPR baru memasuki masa sidang pada hari Selasa kemarin.
Ada tiga poin revisi dalam RUU MK dengan dua di antaranya mengatur ulang masa jabatan hakim konstitusi, yakni Pasal 23A dan Pasal 87. Berdasarkan draf revisi UU MK yang diperoleh Kompas, Pasal 87 mengatur kelanjutan penugasan hakim konstitusi saat ini, khususnya yang sudah menjabat lebih dari lima tahun, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Arief Hidayat, dan Anwar Usman.
Ketentuan dalam pasal 87 mengatur hakim konstitusi yang sudah menjabat lebih dari lima tahun hanya dapat melanjutkan jabatannya setelah disetujui lembaga pengusul. Jika revisi disahkan, maka apabila ingin melanjutkan jabatannya, Saldi dan Enny harus mendapat persetujuan dari pemerintah, Arief dari DPR, Suhartoyo dan Anwar dari Mahkamah Agung.
Revisi yang mengubah masa jabatan hakim konstitusi kali ini dinilai kental nuansa politisnya karena ada tiga hakim yang menyatakan dissenting opinion atau berbeda pendapat dalam putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden, yakni Saldi, Arief, dan Enny. Revisi UU MK dinilai sebagai upaya untuk memastikan hakim-hakim yang tidak bisa ditundukkan oleh kepentingan politik tersingkir.
Terlebih DPR pernah secara mendadak mengganti hakim konstitusi Aswanto dengan Guntur Hamzah. DPR saat itu menilai Aswanto paling banyak membatalkan undang-undang, padahal dia diusulkan DPR.
Saat ini tak ada urgensi mengatur ulang masa jabatan hakim konstitusi. Revisi kali ini hanya membenarkan asumsi publik bahwa terjadi ”pembersihan” terhadap hakim-hakim yang tak tunduk dengan kemauan pemerintah dan DPR. Apabila hal itu terjadi, MK hanya menjadi alat untuk melegitimasi langkah politik pemerintah. Masukan akademisi agar pembahasan revisi RUU MK ini dihentikan perlu dipertimbangkan.